spot_img
Latest Phone

Bocoran Samsung Galaxy Watch8: Desain Baru, Tapi Kecepatan Isi Daya Masih Sama?

Telko.id - Bocoran resmi dari sertifikasi 3C di China...

Garmin Instinct 3 Tactical Edition: Smartwatch Tangguh untuk Misi Ekstrem

Telko.id - Garmin baru saja menghadirkan Instinct 3 –...

ASUS Vivobook S14: Laptop AI 45+ TOPS untuk Produktivitas Tanpa Batas

Telko.id - ASUS Vivobook S14 (S3407QA), laptop terbaru yang...

Garmin vívoactive 6, Tak Sekadar Pintar, Dukung Gaya Hidup Aktif dan Tampil Lebih Gaya

Telko.id - Garmin Indonesia memperkenalkan vívoactive 6, smartwatch wellness...

Lebih Bugar Setelah Lebaran dengan Smartwatch Garmin

Telko.id - Pernahkah Anda merasa tubuh terasa berat dan...
Beranda blog Halaman 1459

Soal Loon, Indonesia Selangkah Lebih Maju dari India

0

Telko.id – Balon internet Google saat ini masih dalam tahap uji coba di Indonesia. Namun implementasi dari program bernama Project Loon itu sudah mendapat ‘lampu hijau’ dari Menkopolhukam Luhut Panjaitan.

Realisasi dari Project Loon di Indonesia juga diharapkan dapat dilakukan pada tahun 2016 ini. Hal ini dimaksudkan agar balon Google dapat langsung dimanfaatkan operator untuk memancarkan internet ke seluruh masyarakat di daerah rural di Indonesia.

Ketika disinggung mengenai perkembangannya Project Loon sejauh ini, Alexander Rusli selaku CEO dari Indosat mengungkapkan saat ini belum selesai masa uji coba. Sebab ada beberapa tes yang harus dilakukan sebelum benar-benar dikomersialkan.

“Belum selesai. Belum semua variabel dites, masih jalan sekarang,” ujarnya kepada Tim Telko.id beberapa waktu lalu.

Baca Juga : Tahun Ini Balon Google Resmi Beroperasi di Langit Indonesia ?

Google ‘Pede’ Komersialisasi Loon Segera Terlaksana

Meski belum di komersialisasikan, nyatanya perkembangan Project Loon di Indonesia bisa dibilang satu langkah dibandingkan dengan di India. Mengapa? Pasalnya Pemerintah India baru-baru ini menolak permintaan Google terkait frekuensi yang digunakan untuk balon internet mereka tersebut.

Dilansir dari TelecomLead (17/5), Pemerintah telah meminta Google India untuk memberikan revisi proposal untuk Proyek Loon mereka, yang bertujuan untuk menyediakan konektivitas internet di pedesaan India, ucap parlemen India pada Rabu, (16/3).

“Masalah itu dibahas dengan semua pemangku kepentingan dan disimpulkan bahwa pita frekuensi 700 hingga 900 Mhz yang akan digunakan dalam uji coba Proyek Loon sedang digunakan oleh operator seluler. Jika dilakukan ujicoba tersebut, hal itu akan menyebabkan gangguan seluler transmisi, “kata Menteri Komunikasi Ravi Shankar Prasad Lok Sabha.

Ia menambahkan, “Revisi usulan dari Google India dengan perubahan pita frekuensi sampai dengan saat ini belum diterima,”

Jika memang benar seperti itu, maka India belum bisa melakukan pengujian Project Loon pada bulan ini. Bukan hanya itu, kecil kemungkinan dari mereka untuk bisa mengkomersialisasikan Project Loon di tahun ini.

Cerita Di Balik 4G LTE Smartfren

0

Telko.id – Ketika Smartfren pertama kali meluncurkan 4G LTE dipertengahan tahun 2015, banyak pihak yang kaget. Bagaimana tidak, tiga operator besar saja belum memiliki layanan ini. Lalu muncul pertanyaan, kenapa Smartfren bisa duluan? Hebat juga Smartfren ini, bisa dapat duluan. Ternyata dibalik itu semua, banyak cerita menariknya.

Merza FachysPresident Director Smartfren Telecom bercerita panjang lebar tentang latar belakang kenapa Smartfren bisa punya layanan 4G LTE lebih dulu dibandingkan operator lain.

Berawal ketika tahun 1998, Indonesia terjadi krisis moneter. Di mana, seluruh pembangunan infrastruktur terhambat. terutama di bidang telekomunikasi. Saat itu harga kabel naik dan menjadi mahal. Begitu juga dengan peralatan lainnya.

Solusinya, agar masyarakat Indonesia tetap dapat menikmati telekomunikasi adalah mengijinkan pembangunan telepon rumah dengan menggunakan wireless. Apa teknologi yang tersedia pada saat itu untuk telekomunikasi wireless? Kalau menggunakan GSM kemahalan. Yang sesuai adalah CDMA. Lalu, CDMA bisa bekerja di frekuensi mana? Pada saat itu, 1900 Mhz yang memungkinkan digunakan. Lalu, mulailah Flexi bangun, diikuti oleh Indosat, Starone. Demikian juga dengan yang lain-lain yang berada di 1900 Mhz. Ketika teknologi GSM berevolusi ke 3G, ternyata 1900 Mhz adalah frekuensi nya 3G.

Pada saat yang sama, operator yang berada di frekuensi yang benar adalah Mobile8, yakni di 800 Mhz, menguasai semua spektrum yang ada. Sebesar 20 Mhz. Lalu, pemerintah minta agar frekuensi itu dibagi. Akhirnya dibagi. Flexi, Esia ikut turun ke 800 Mhz. Mobile 8 yang asalnya punya 10 jadi tinggal 5 Mhz. Indosat lebih dipepet lagi akhirnya hanya punya 3 MHz. Asalnya mau dibagi 5. Supaya Smart juga ikut turun juga. Tapi terlalu sempit. Karena pada saat itu, Flexi sudah mulai berkembang dan Esia juga mulai berkembang. Asalnya, Smart mau dipaksa turun juga, tetapi karena terlalu ‘mempet’ tidak jadi. “Ya sudah, akhirnya di tinggalin dulu,” ujar Merza menceritakan kronologis penataan frekuensi 1900 Mhz pada tahap awal.

Kebetulan, Smart tidak ‘nongkrong’ di pas 3G nya, tetapi di pinggirnya 3G. Agak di luar pager. Tidak masuk dalam pager. Tapi di dalam licensi nya Smart, ‘any time governor’ akan memindahkan frekuensi Smart. Itu awal muasal kenapa Smart (sebelum menjadi Smartfren) bisa menggelar 4G terlebih dahulu. “Bukan karena Smartfren brilian,” ujar Merza.

Kemudian, pemerintah melelang 3G satu persatu. Pas sampai pinggir kanan, mepet dengan frekuensi yang dimiliki oleh Smart. Dan yang dapat pada waktu itu adalah Axis. Mulai terjadi ‘keributan’. Tiap hari Axis protes karena Smart menggangu. Jadi, bolak-balik, Smart di tegur kominfo, “hei, frekuensi nya kecilin,”.

Kenapa bisa mengganggu? Teknologi CDMA itu menggunakan frekuensi itu untuk memancarkan sinyal dari BTS ke handset. Sementara GSM yang berada di sebelahnya persis, yang hanya dipisahkan oleh ‘pager’ itu kebalikannya. Dari hanset ke BTS. Power dari BTS sudah pasti besar karena digunakan untuk banyak pengguna. Sedangkan dari handset hanya mili watt saja. “Dihantam dari BTS, jebret.. ya tidak pernah bunyi. Jadi yang namanya Axis, menggunakan 3G tidak pernah sukses, karena diganggu oleh Smart terus.

Merza mengibaratkan, dulu ada tanah kosong, lalu Smart itu memiliki ijin untuk buat usaha karoseri yang selalu ‘berisik’ selama proses produksi. Tiba-tiba, di sebelahnya dibangun Rumah Sakit yang membutuhkan ketenangan. “Hei berisik…”. Nah, keributan itu berlangsung cukup lama. Smart mengecilkan power membuat yang asalnya ada coverage menjadi tidak ada coverage. Lalu, Axis juga tidak happy. Kemudian terjadilah rembukan dan Smart harus pindah. Pindah frekuensi. Perbincangan ini terjadi tahun 2010 – 2011. Pada saat itu WiMax sudah ada di 2300 Mhz.

“Bagi Smart, pindah frekuensi bukan pilihan yang baik karena Smart sudah memiliki pelanggan yang banyak,” ujar Merza.

Pada saat itu, yang kosong adalah frekuensi 2300 Mhz. Dan, itulah satu-satunya frekuensi yang paling memungkinkan untuk Smart di pindahkan. Kenapa tidak dari dulu-dulu pindah? Karena memang tidak ada teknologinya di frekuensi tersebut. Baru, ketika standarisasi 4G diumumkan, teknologi di frekuensi 2300 Mhz pun berkembang.

Jika dari dulu dipindahkan dan hanya ada teknologi WiMax, maka tidak memungkinkan Smart menggunakan frekuensi tersebut karena pelanggan nya sudah terbiasa berhalo-halo, tapi kemudian tidak diberikan layanan suara? Pasti akan marah para pelanggan Smart.

Tapi, Smart juga tidak serta merta mengiyakan permintaan dari pemerintah untuk menggunakan frekuensi 2300 Mhz. Pasalnya, di dunia pada saat itu belum ada yang pakai. Belum ada ekosistemnya. Baru saja distandarisasi.

Itu sebabnya, ketika WiMax tidak berhasil dan pemerintah menetralisir, pemerintah minta dikembalikan frekuensi nya. Walaupun pada saat itu sudah ada 4G. Yang berani hanya Bolt. Bolt berani ‘Futuristic Thing”. Jadi berani jualan. Yang lain tidak berani karena tidak ada ekosistemnya.

Smart ‘dipaksa’ pindah

Tentu apa yang dihadapi oleh Smartfren ini menjadi dilema. Pasalnya, Smartfren sudah melakukan investasi yang sangat besar di CDMA dan harus ‘dibuang’ begitu saja karena tidak akan digunakan lagi ketika pindah ke 2300 Mhz.

“Ketika laporan ke pemenang saham, menjadi cerita yang menarik juga. Lha, mana ada investor yang mau ‘buang’ begitu saja investasi yang sudah dikeluarkan dan besar seperti itu. Sangat alot. Setelah bolak-balik, ujungnya, saya diminta untuk buatkan hitungannya,” ujar Merza menceritakan kronologis kejadiannya pada tahun 2011 lalu itu.

Padahal, saat itu belum ada yang jual peralatan 4G itu. Jadi hitungannya pada saat itu adalah estimasi semua. Berdasarkan bicara dengan para vendor jaringan. Dan, dengan langkah tersebut maka layanan CDMA dari Smartfren akan mati. Tapi paling tidak, jika mengambil pilihan untuk pindah frekuensi, maka kelanjutan dari perusahaan ada, walaupun masih belum jelas akan seperti apa. Sedangkan, jika tidak mengambil pilihan untuk pindah frekuensi, maka sudah dipastikan bisnis akan berhenti. Itulah sebabnya, Smartfrfen mau mengambil langkah untuk pindah frekuensi ini.

Semua itu adalah cerita infromalnya yang terjadi pada tahun 2012 – 2013. Cukup panjang juga waktu yang digunakan untuk bisa mendapat persetujuan dari pemilik saham. Setelah itu baru pemerintah melakukan proses pengesahannya setelah Smart mau.

Proses itu berlangsung, bersamaan dengan mergernya Axis. Blessing in disguise bagi Smartfren. Kenapa? Karena Smartfren tidak perlu terburu untuk pindah dari frekuensi tersebut dan karena frekuensi tersebut juga sudah diambil lagi oleh pemerintah. Alasannya, adalah karena merger, tetapi sebenarnya adalah karena frekuensi itu ‘kotor’ sepanjang Smart hidup. Akhirnya, Smartfren dipindahkan ke 2300 Mhz dan mengaplikasikan 4G. Perpindahan itu harus selesai dalam jangka waktu 2 tahun.

Awalnya, cukup membingungkan juga ketika harus pindah ke 4G di 2300 Mhz. Pasalnya, belum ada operator lain di dunia yang menggunakan teknologi ini. Namun, nasib baik berpihak pada Smartfren. Beberapa waktu setelah itu keputusan pemerintah keluar berkenaan dengan perpindahan frekuensi Smartfren ini, Cina mengumumkan, 2300 Mhz, ditetapkan sebagai frekuensi untuk 4G LTE nya. “Begitu Cina mengumumkan itu, maka kami sangat yakin, bahwa ekosistem pun akan terbentuk dengan cepat,” ujar Merza.

Pada 1900 Mhz, Smartfren memiliki 2 kali 6.3 Mhz. Artinya total 13.7 Mhz. Diganti dengan 2300 Mhz, 30 Mhz. “Saya tahu bahwa di 2300Mhz ada 60 MHz. Saya ingin dapat semua,” ujar Merza sampir tersenyum. Tapi ternyata diberi oleh pemerintah 30 Mhz. Diskusi masalah kompensasi ini juga terjadi cukup panjang dan lama.

Sebagai analogi, Merza mencontohkan, jika punya 100 meter persegi tanah di Menteng, lalu dipindahkan ke kawasan BSD, seharusnya tidak memperoleh luas yang sama, tetapi lebih dari 100 meter. Namun, tetap pemerintah memberikan alokasi frekuensi sebesar 30 Mhz pada Smartfren.

Dari frekuensi 1900 Mhz ke 2300 Mhz, ada defisiensi faktor 1.6. Kemudian teknologi TDD dibandingkan dengan FDD, ada defisiensi juga. Totalnya, ada defisiensi mendekati angka tiga. Jadi, kalau Smartfren punya 15 Mhz, maka paling tidak harus punya 45 Mhz. Tapi karena slicing nya LTE itu 20 maka, Smartfren harus punya tiga slice atau 60 Mhz. “Itu yang kami minta pada waktu itu,” ujar Merza.

Yang ke dua, dari nilai ekonomi. Mulai dari kapasitas, jumlah BTS, dan lainnya. Termasuk juga jumlah investasi yang sudah dikeluarkan oleh Smartfren. Semua ‘jurus’ itu dikeluarkan dan dipaparkan sebagai bahan justified.

Jadi sebenarnya, secara akademik, apa yang dipaparkan oleh Smartfren sesuai. Hanya saja, tidak mungkin diberikan semua alokasi frekuensi di 2300 Mhz ini pada Smartfren. Akhirnya, dapat 2 slice, 30 Mhz.

Pendekatannya adalah logika. Ketika tender WiMax waktu itu, adalah 30 Mhz. Tapi WiMax itu, block nya 5 per slice. Walaupun begitu, tetap pemerintah mengalokasikannya adalah 30 Mhz, tidak boleh lebih dari itu.

Kerugian yang dialami oleh Smartfren dengan adanya peralihan frekuensi ini sangat besar. Pertama, investasi yang dilakukan untuk mengimplementasikan CDMA selama ini akan dibuang total. Padahal, selama ini, raport Smartfren masih merah terus. Artinya investasi yang dikeluarkan belum kembali juga. “Dari awal bangun sampai sekarang, Smart Telecom belum pernah biru raportnya,” ujar Merza. Dengan kata lain, investasi itu belum pernah kembali. Tapi sudah harus dibuang.

Kedua, biaya BHP atau Biaya Hak Penggunaan, walaupun sudah harus pindah tetap harus dibayar. Jadi, selama 2 tahun ini, Smartfren tetap membayar BHP untuk 2 frekuensi. Karena kalau kompensasi, termasuk di dalamnya adalah bebas BHP, maka berhadapannya dengan hukum, masuk penjara.

Begitu Smartfren launching layanan 4G LTE di 2300 Mhz dan memperoleh 30 Mhz dari pemerintah, banyak pihak yang membicarakan. Padahal, dibalik itu semua, Smartfren sudah begitu ‘menderita’. Investasi sekitar Rp.10 Triliun yang sudah dikeluarkan untuk membangun jaringan CDMA terancam hilang begitu saja.

Dengan latar belakang itu semua, maka Smartfren akhirnya menjalankan strategi untuk sekaligus membangun jaringan di seluruh Indonesia. Bukan karena sombong, karena dalam waktu satu tahun, semua pelanggan Smartfren harus migrasi ke 2300 Mhz. Kalau tidak di mulai sedini mungkin, tidak akan cukup waktunya. Sebenarnya, Smartfren minta waktu 4 tahun. Tapi diberi waktu oleh pemerintah hanya 2 tahun karena pemerintah juga berkepentingan untuk melakukan lelang blok 11 dan 12 secepatnya.

Dari sejak mendapatkan lisensi yang diperoleh pada tahun 2014. Baru pada bulan Juni 2014, Smartfren memilih vendor yang akan membantu mengimplementasikan jaringan 4G LTEnya.“Pemilihan vendor ini juga cukup sulit,” ujar Merza menjelaskan. Pertama karena Smartfren sendiri belum pengalaman, di mana teknologi 4G LTE ini juga masih baru. Jadi perlu kehati-hatian dalam memilih.

“Jangan sampai membeli barang yang tidak bagus. Untuk itu, kami melakukan fact finding ke Korea ke Cina, untuk melihat network operator lain. Itu semua dilakukan, sebelum mendapat linsensi dan lebih intens lagi ketika sudah mendapatkan lisensi,” ujar Merza lebih lanjut.

Baru setelah itu melakukan penentuan spesifikasi dan lainnya. Baru bulan Desember 2014 melakukan tender. Setidaknya, semua itu dilakukan dalam waktu 6 bulan. Tender dilakukan dengan diikuti 2 perusahaan dari Cina dan 2 perusahaan dan Eropa. Dari keempat perusahaan itu, dua kami pilih pada bulan Desember 2014. Baru pada bulan Juli, Smartfren melakukan ULO atau Uji Laik Operasi. Yang dipilih adalah Nokia dengan ZTE. Dengan total investasi sebesar, 760 juta USD. Dengan perbandingan Timur 40% dan Barat 60%. Untuk Timur dipegang oleh ZTE dan Barat oleh Nokia.

Frekuensi 850 Mhz pun Bermasalah

Masalah yang dihadapi oleh Smartfren belum tuntas. Untuk frekuensi 850 Mhz juga masalah. Seperti di Batam, ada masalah dengan Malaysia dan Singapura. Kenapa kasus? Karena di Malaysia dan Singapura, frekuensi itu digunakan untuk GSM. Di Indonesia, dipergunakan untuk CDMA. Di mana, terjadi tabrakan sinyal. CDMA sudah pasti menang karena yang dipancarkan lebih kuat karena sinyal dipancarkan dari BTS ke ponsel. Sedangakn GSM, sinyal yang dipancarkan dari ponsel yang tentu saja sangat kecil. Akibatnya, GSM di Singapura, di frekuensi 850 Mhz tidak pernah bisa dipakai. Tak pelak, Mobile 8 -waktu itu belum menjadi Smartfren- bolak-balik dikirimin surat oleh Singapura.

Akhirnya, karena tidak selesai juga masalahnya, Singapura mengirim surat pada ITU dan organisasi tersebut memutuskan bahwa Indonesia tidak boleh menggunakan CDMA di frekuensi 850 Mhz di semua wilayah perbatasan. Dengan adanya surat itu maka Mobile 8 pun, yang memiliki 4 channel di frekuensi 850 Mhz, hanya bisa menggunakan 1 channel saja. “Ini memang pelajaran penting juga untuk Indonesia. Di mana, setiap negara itu harus melakukan pemberitahuan pada ITU tentang penggunaan frekuensi. Jika sudah declear duluan, maka negara lain tidak bisa mengganggu gugat,” ujar Merza.

Hal itu membuat Mobile 8 tidak dapat berkembang di Batam, Riau dan wilayah sekitarnya karena hanya punya 1 channel. Apalagi, kalau di teknologi CDMA itu, antara voice dan data itu dipisah. Satu channel untuk voice dan satu lagi untuk channel. “Lalu, dengan hanya punya satu channel maka kita tidak berbisnis,” ujar Merza menjelaskan. Sehingga, Mobile 8 memilih hanya melayani voice saja di wilayah perbatasn tersebut.

Hal lain adalah dalam penataan frekuensi 850 Mhz. Ide pertama kali datang dari Indosat. Waktu itu, Starone milik Indosat itu, kurang tumbuh dengan baik. Itu sebabnya Indosat minta ijin pada pemerintah. CDMA nya untuk dijadikan GSM. Tapi, kalau diijinkan, nasib Indosat juga akan terganggu oleh Mobile 8 yang waktu itu sudah menjadi Smartfren karena bersebelahan. Jalan satu-satunya adalah di wilayah itu harus menggunakan teknologi GSM. Caranya adalah ‘merayu’ Smartfren agar bergeser dan berdekatan dengan Esia. Jadi, keduanya masih bisa menggunakan teknologi CDMA. Sedangkan Telkom di pindah untuk berdekatan dengan Indosat. Yang akhirnya frekuensi Telkom Flexi diambil oleh Telkomsel dan jadi GSM.

Kenapa pemilik Smartfren mau waktu itu? Karena ada Esia, di mana operator ini kesulitan keuangan. Jadi ada potensi Smartfren untuk ambil alih. Akhirnya, mau. Setelah bicara dengan orang teknik pun tidak masalah. Tidak perlu ada investasi lagi. Setelah itu di proses lah.

Ternyata, setelah berjalan, muncul masalah. Di mana, handset Smartfren, Andromax yang sudah dibuat dan disubsidi oleh Smartfren, selama ini banyak ‘dibajak’ oleh pengguna operator lain. Sehingga diputuskan lah, membuat handset yang hanya mampu digunakan dengan jaringan Smartfren. Padahal, Smartfren sudah harus pindah. Jadi, proses migrasi yang harus dilakukan oleh Smartfren pun terkendala karena handset milik pelanggan smartfren tidak bisa bekerja di jaringan 850 Mhz. Paling tidak, saat ini masih ada 2 juta pelanggan Smartfren yang menggunakan ponsel CDMA. Dengan waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah hanya 2 tahun, maka Smartfren pun harus agresif mendorong para pelanggannya untuk migrasi.

Disisi lain, ada Esia, di mana saat itu sedang kesulitaan keuangan karena tidak mampu membayar BHP. Akhirnya, Merza membawa konsep konsolidasi pada pemerintah untuk menjadikan Smartfren sebagai penyelenggara jaringan, sedangkan Bakrie hanya sebagai penyelenggara jasa. Jadi, seluruh jaringan Bakrie harus diberikan ke Smartfren. Selanjutnya, Smartfren yang bertanggung jawab untuk membangun jaringan termasuk membayar biaya frekuensi. Secara hukum dan peraturan semua nya ada. Jadi, tidak masalah. Total frekuensi Smartfren di 850 Mhz punya 10 Mhz.

Memang jika dilihat dari luar, Smartfren ini sangat menarik, karena memiliki 30 Mhz di 2300Mhz, dan 10 Mhz di frekuensi 850 Mhz. Kemudian, Smartfren bisa duluan memberikan layanan 4G LTE. Namun, di dalamnya, banyak PR yang harus dilakukan. Masih harus mendorong agar para pelangganya untuk migrasi. Dan kini, waktu yang diberikan oleh pemerintah tidak sampai satu tahun lagi.

Akan kah, persoalan frekuensi ini selesai? Masih belum. Pasalnya, untuk 5G, yang rencanaya akan diadopsi tahun 2020 mendatang masih belum keluar standarisasinya. (Icha/Hamzah)

 

Kominfo Belum Blokir Aplikasi Grab dan Uber

0

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara melihat bahwa aplikasi pemesanan transportasi pada aplikasi online adalah elemen yang netral dan tidak bisa disalahkan. Untuk itu, ia menyatakan belum akan memblokir aplikasi transportasi berbasis online seperti Uber dan Grab Car sebagaimana rekomendasi dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Rudiantara menuturkan, pihaknya akan selalu mendorong inovasi dan kreativitas masyarakat Indonesia dalam hal apapun tanpa terkecuali pembuatan aplikasi dan semacamnya. Namun, Ia menegaskan dalam kurun waktu dekat ini, Ia akan membuat semacam aturan ringan yang mengatur mengenai ekonomi digital.

“Begini, justru kita mendorong yang namanya inovasi dan kreativitas. Jadi, regulasi itu yang dibutuhkan, apalagi untuk konteks digital ekonomi adalah light touch regulation. Kita tidak heavy regulated, light touch regulation sebetulnya dalam bentuk kebijakan-kebijakan, dan saya lebih senang kepada safe regulated dari industri,” kata Rudiantara di Menara Kadin Jakarta, Selasa 15 Maret 2016.

Ia juga mengungkapkan, ketika membuat sebuah peraturan, Pemerintah sejatinya tidak akan mengeluarkan aturan yang memberatkan. Seiring dengan perkembangan teknologi, aturan itu akan dibuat secara tidak kaku, sehingga tidak mematikan kreativitas anak bangsa.

“Contohnya untuk start up tidak perlu minta izin kepada Kominfo, tetapi nanti kalau mau menjalankan start up untuk melayani publik harus ada akreditasi, karena yang paling mengetahui bisnis proses di lapangan adalah yang membuat aplikasi, atau industri yang lebih mengetahui,” Tambahnya.

Kemudian, Ia juga mengungkapkan perlu adanya perlindungan konsumen. “Yang kedua harus ada perlindungan konsumen, dicek penagihannya harus ada, dan di situ pemerintah lebih sebagai enabler, atau harus sebagai fasilitator dan memberikan kebijakan, dan isitilahnya yang kita siapkan adalah light touch regulation,”

Pria yang disapa Chief RA ini juga mengharapkan pelaku usaha transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing) dan konvensional dapat berusaha dan bekerja secara berdampingan tanpa ada kisruh di lapangan.

“Kami ingin keduanya untuk hidup berdampingan (co-exist). Kita sedang urai masalah transportasi ini. Jadi, jangan ngomong blokir atau tidak dulu,” ucap pria yang kerap disapa Chief RA ini.

Sementara itu, Hari ini (16/3), Rudiantara akan bertemu dengan Menteri Koperasi Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga membahas permasalahan Koperasi Grab Car. Sekedar informasi, Grab Car saat ini sedang mengurus bentuk koperasi dan Kemenkominfo akan fasilitasi teman-teman aplikasi ini untuk perizinannya.

Sekedar informmasi, Chief RA menyarankan agar Taksi Online segera membentuk koperasi. Hal ini dimaskudkan agar mereka dapat sesuai dengan regulasi transportasi.

Telkomtelstra Siap ‘Tarung’ Di Bisnis Cloud Untuk Perusahaan via Private Cloud

0

Telko.id – Berdasarkan laporan dari Gartner dalam publikasinya “Public Cloud Services, Worlwide, 2013-2019, 4Q15‟, bahwa peluang bisnis Cloud di Indonesia saat ini sudah dalam kondisi matang. Hal ini dijadikan pondasi oleh perusahaan dalam membangun, mengelola dan menciptakan nilai bisnis baru kepada pelanggan mereka, serta meningkatkan efisiensi biaya melalui model layanan Cloud.

Untuk IT Outsourcing diperkirakan akan tumbuh pesat pada pasar service management di Indonesia hingga 5 tahun ke depan. Khusus untuk Cloud, pasar di Indonesia diperkirakan akan tumbuh dari US$ 287 juta menjadi US$ 430 juta sampai akhir tahun 2018 dengan CAGR sebesar 19%.

Tentu melihat angka tersebut menjanjikan sebuah peluang bisnis. Tak heran, Telkomtelstra, perusahaan patungan antara Telkom Indonesia dan Telstra Corporation Limited pun berminat untuk ikut ‘bertarung’ di pasar tersebut. Caranya dengan meluncurkan layanan infrastruktur data center terbarunya yakni Private Cloud khusus untuk perusahaan Indonesia.

Produk unggulan ini akan melengkapi produk Managed Cloud Service Telkomtelstra sebelumnya, yang terdiri dari Software as a Service (SaaS), Managed Solution Services, yang terintegrasi dalam network berjangkauan luas, berkapabilitas tingkat dunia dan keahlian lokal.

Dengan menggunakan Private Cloud dari Telkomtelstra, perusahaan dan organisasi di Indonesia dapat lebih fokus dalam mengembangkan bisnis, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, berinovasi – serta menciptakan keuntungan kompetitif.

Erik Meijer, Presiden Direktur Telkomtelstra menyatakan, “kami sangat bangga dengan kapabilitas Telkomtelstra dalam menyediakan Private Cloud Service yang menjadi pemimpin pasar kepada perusahaan di Indonesia”.

Lebih lanjut, Erik juga menyatakan bahwa Telkomtelstra akan menggunakan kapabilitas network yang sangat luas milik Telkom termasuk dengan infrastruktur domestiknya dan keahlian teknologi Telstra, untuk melayani organisasi lokal dengan penawaran Managed Cloud, yang bertujuan untuk membantu perusahaan Indonesia lebih fokus pada bisnis nya dan melakukan apa yang harus dilakukan dengan lebih baik.

Dengan menggunakan Cloud Private, perusahaan akan dibantu dalam mengamankan aplikasi dan data bisnis penting sehingga secara total biaya juga akan menurun. Terlebih lagi, Telkomtelstra menyediakan layanan Cloud dengan infrastruktur di dalam negeri yang bertujuan untuk memenuhi regulasi pemerintah tentang penyimpanan dan integritas data di Indonesia.

Private Cloud ini melengkapi layanan SaaS Telkomtelstra sebelumnya. Private Cloud dapat menjadi solusi untuk meminimalkan resiko di dalam operasi IT organisasi – membutuhkan pengamanan khusus, tata kelola, manajemen dan alat untuk memastikan visibilitas dan kontrol pada setiap tingkat layanan.

Dalam waktu dekat, Telkomtelstra juga akan menawarkan pilihan kepada pelanggan untuk mengkombinasikan aplikasi Private dan Public Cloud berupa solusi Hybrid Cloud yang memungkinkan fleksibilitas lebih besar dari operasi bisnis, pengelolaan infrastruktur dan pengendalian biaya.

Dengan dirilisnya produk ini, Telkomtelstra menghadirkan ke pasar Indonesia sebuah kemampuan untuk meningkatkan teknologi “in the Cloud”, untuk mendorong lebih maju bisnis di Indonesia ke masa depan digital. Bermitra dengan provider terkemuka dunia, seperti VCE, Telkomtelstra akan menyediakan platform pengelolaan end-to-end, memberikan pelanggan sebuah layanan lengkap mulai dari jaringan sampai ke dalam Cloud – membantu pertumbuhan organisasi melalui cara yang efisien dan fleksibel.

“Dan, sekarang adalah waktu yang tepat bagi bisnis di Indonesia untuk mentransformasi diri mereka secara digital dan makin memudahkan mereka untuk bersaing di pasar global,” ujar Erik menjelaskan. (Icha)

Kembangkan IOT, Sk Telecom Investasikan 84 Juta Dollar

0

Telko.id – SK Telecom telah memutuskan untuk melakukan investasi sekitar $ 84 juta selama dua tahun untuk memperluas dan mendalami cakupan bisnis Internet of Things (IOT) mereka.

Operator telekomunikasi asal Korea Selatan ini berencana untuk membangun nasional Low-Power Wide-Area Network (LPWAN) dalam tahun ini, dengan mengembangkan modul IOT-berdedikasi, dan upgrade platform yang ThingPlug IOT untuk menawarkan layanan IOT yang inovatif.

“Melalui strategi IOT kami yang meliputi jaringan, platform dan perangkat, SK Telecom akan memimpin pertumbuhan industri IOT,” kata Lee Hyung-hee, presiden dan chief operating officer dari SK Telecom seperti dilaporkan oleh TelecomLead (16/3).

Pemerintah dalam hal ini Kementrian Sains, ICT dan Perencanaan Masa Depan Korea memutuskan untuk merevisi daya pancar maksimum untuk pita frekuensi 900MHz dari 10mW sampai 200mW untuk memelihara industri IOT. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu operator jaringan telekomunikasi ini mengatasi keterbatasan yang disebabkan oleh daya pancar rendah dan untuk setidaknya mengtasi permasalahan dasar bagi banyak layanan IOT baru.

Teknologi LPWA akan memungkinkan SK Telecom untuk fokus pada model bisnis baru seperti metering, pelacakan lokasi dan monitoring serta kontrol layanan karena menghemat daya baterai dan biaya untuk konektivitas.

Selain itu, SK Telecom akan menyiapkan IOT Control Center untuk mengelola peralatan jaringan dan perangkat IOT. IOT Control Center akan memantau status real-time dari jaringan IOT nasional dan semua perangkat yang terhubung untuk mengoptimalkan operasi.

Selain itu, SK Telecom akan mengembangkan modul IOT dedicated yang dapat tertanam dalam perangkat IOT. Hal ini juga berguna untuk membuka Application Programming Interfaces (API) dari modul ini kepada perusahaan pihak ketiga. Perusahaan akan menyediakan modul IOT secara gratis kepada para UKM dan memungkinkan UKM tersebut untuk menguji layanan mereka.

3 UK Harapkan Konsolidasi dengan O2 UK

0

Telko.id – Hutchison pusat berharap agar mendapatkan dukungan dari European Commision untuk penggabungan 3 UK dan O2 UK dengan penawaran pemberian sepertiga dari kapasitas jaringan entitas yang diusulkan untuk persaingan, dengan mengharapkan permintaan pelanggan yang lebih besar, seperti dilaporkan oleh MobileWorldLive (16/3).

Sementara itu, Komisi menginginkan penciptaan jaringan lagi untuk mengimbangi kombinasi antara 3 dan O2, namun terkait hal tersebut Hutchison  menolak untuk melakukan ini.

Sekedar informasi, penggabungan 3 UK dan Telefonica O2 akan menciptakan sebuah operator terbesar di Inggris, serta mengurangi jumlah operator dari empat menjadi tiga (tidak termasuk MVNOs). Hal ini tentunya dapat semakin meningkatkan skala ekonomi pada industri Telko di Inggris.

Posisi Hutchison sendiri berada di bawah dua operator besar. Sementara dengan tiga operator, tentunya akan lebih menciptakan kompetisi yang lebih sehat dan memberikan nilai lebih baik bagi konsumen.

Namun, Komisi Eropa tampaknya tidak mungkin untuk menerima proposisi seperti itu, dengan alasan bahwa operator lebih sedikit sama dengan harga yang lebih tinggi.

Batas waktu untuk keputusan akhir tentang kesepakatan tersebut adalah 22 April mendatang. Dikarenakan waktu yang semakin mendekat, sehingga diperkirakan akan memunculkan ketegangan antara kedua belah pihak ketika mereka mencoba untuk mencapai kesepakatan.

Hutch berpendapat bahwa penawarannya lebih realistis daripada penciptaan jaringan yang terpisah secara full-blown, yang akan membutuhkan investasi yang cukup besar. menurut berbagai sumber.

Sementara itu, dengan menawarkan sekitar 30 persen dari total kapasitas jaringan entitas yang diusulkan tampaknya akan menjadi senjata utama Hutchison untuk regulator. Kapasitas bisa diberikan kepada salah satu rival atau dibagi menjadi sama rata melalui  kepemilikan bersama.

Penawaran tersebut juga dianggap secara permanen untuk melawan kritik dari pengaturan grosir jangka pendek atau perjanjian MVNO.

Berbicara mengenai konsolidasi, di Indonesia sendiri justru Pemerintah dalam hal ini Kominfo, menargetkan akan tercipta konsolidasi dari para Operator di Indonesia. Dengan hanya 4 operator seluler setelah konsolidasi, diharapkan akan tercipta skala ekonomi serta efisiensi dari tiap-tiap operator.

Dengan 4 Operator, juga diharapkan akan menambah pemasukan dari tiap operator terkait dengan layanan yang mereka berikan. Diharapkan, proses konsolidasi ini akan tercipta pada tahun 2019 mendatang.

Menginjakan Kaki di Indonesia, Cloudera Sasar Industri Telko

0

Telko.id – Salah satu penyedia solusi pengelolaan dan analisis big data menggunakan platform hadoop yakni Cloudera mulai menjajaki bisnis mereka di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung mereka langsung menyasar tiga industri besr di Indonesia seperti Telekomunikasi, Keuangan serta Retail.

Dengan hadirnya fenomena big data di seluruh dunia termasuk Indonesia, Cloudera mengungkapkan optimisme mereka untuk menyasar tiga sektor bisnis tersebut. terutama sektor Telko, yang mana industri ini terkait dalam pengolahan data dalam jumlah besar dan juga kebutuhan data analitik serta user profiling.

Di Temui pada Jumpa Pers di salah Grand Hyatt, Jakarta, Joseph lee selaku Managing Director Asean & India Cloudera mengugkapkan bahwa bukan hanya Industri telko saja yang menjadi sasaran market mereka, hadirnya fenomena smart city di Indonesia juga akan dimanfaatkan oleh Cloudera untuk mulai memperkenalan diri di Indonesia. Ia juga menyebut bahwa Industri Telko adalah pelanggan nomor satu dari cloudera dengan top 3 telko global di dunia menggunakan jasa dari Cloudera.

Sementara itu, Cloudera juga sejatinya telah berpartner dengan salah satu operator terbesar di Indonesia  yakni Telkomsel. Lee menyebut, “Telkomsel juga merupakan klien kami dan menggunakan jasa kami untuk mendukung perkembangan perusahaan melalui layanan voice dan SMS untuk memberikan penawaran kepada pelangan terkait layanan broadband terbaru, ” ujarnya kepada tim Telko.id (15/3).

Telkomsel awalnya menerapkan Cloudera Enterprise untuk melaukan extract, transform, dan load (ETL) data operasi dari data warehouse mereka untuk diolah. Cloudera juga memberikan efisiensi dari segi biaya dan waktu untuk mewujudkan sebuah wawasan tentang bisnis Telkomsel.

Namun, ketika disinggung lebih dalam mengenai kerjasama ini serta keterkaitan Telkom Group dalam kerjasama dengan Telkomsel, Joseph Lee tidak mau berkomentar lebih dalam terkit hal tersebut.

Sekedar informasi, Hadoop sendiri merupakan sebuah ekosistem komponen open source yang secara fundamental merubah cara perusahaan dalam menyiman, memproses serta menganalisis data dalam jumlah besar. Tidak seperti sistem traisional, Hadoop memungkinkan beberapa jenis beban kerja analitik pada data yang sama secara realtime.

Sementara itu, yang menjadi perbedaan antara Cloudera dengan penyedia solusi serupa adalah Cloudera Enterprise membuat Hadoop menjadi lebih cepat, mudah dan aman sehingga para pelanggan dapat berfokus pada hasil, tentunya dengan biaya kepemilikan platform yang lebih terjankau oleh kalangan bisnis.

Cloudera juga telah berpartner dengan beberapa raksasa telko di luar negeri. Sebut saja True dan British telecom (BT), dengan BT akhirnya mendeploy Cludera data Hub untuk meningkatkan kecepatan data serta memberikan nilai lebih kepada pelanggan.

Dengan membawa manajemen data ke dalam multi-tenant lingkungan produksi dalam Hadoop, BT sekarang dapat memiliki pandangan terpadu dari pelanggan dan secara signifikan mengurangi jangka waktu pengolahan data.

Well, Kita tunggu saja bagaimana sepak terjang mereka, menghadapi persaingan dari penyedia sejenis lainnya yang sudah lebih dulu ada disini.

Sprint Jajaki Wireless Backhaul Untuk Potong Biaya

0

Telko.id – Setiap operator pasti selalu memutar otak membangun arsitektur jaringannya agar dapat efisiensi biaya. Namun di sisi lain, kenyaman pelanggan harus tetap nomor satu. Hal ini juga dilakukan oleh Sprint. Di mana, operator ini akan melakukan penjajak untuk melakukan perubahan besar yakni dengan melakukan upgrade jaringan. Diharapkan dengan langkah ini dapat memotong biaya perusahaan secara keseluruhan.

Salah satu biaya terbesar yang dikeluarkan oleh Sprint saat ini adalah biaya yang terkait dengan penyebaran small cell adalah backhaul, koneksi yang membawa lalu lintas jaringan mobile dari situs sel kembali ke inti jaringan. Itu sebabnya, Sprint akan mengurangi biaya tersebut untuk sejumlah situs dengan menggunakan wireless backhaul.

Backhaul ini sangat banyak berfungsi, terutama ketika akan melakukan perubahan pada jaringan,” ujar Tarek Robbiati, CFO Sprint menjelaskan. Lebih lanjut, Tarek menyatakan bahwa Sprint akan memiliki jaringan yang begitu pada. Tapi dibagian lain, untuk mencapai kapasitas yang dibutuhkan, maka kami juga harus memikirkan kembali strategi backhaul yang diterapkan. Dan itu akan menggunakan mix ethernet, fiber dan wireless backhaul agar kami tetap dapat menurunkan biaya.

Biasanya, operator menggunakan line-of-sight wireless backhaul. Terutama untuk memenuhi kebutuhan di wilayah pedesaan yang jaringan tidak terjangkau oleh Fiber. Padahal, yang ingin dilakukan oleh Sprint adalah menyebarkan puluhan ribu small cell. Yang rata-rata area yang disasar tidak memilki akses fiber yang sudah pastinya akan menambah biaya setiap penyebarannya secara signifikan. Itu sebabnya, Sprint harus melakukan atur ulang arsitektur jaringannya dengan mengimplementasikan wireless backhaul. Langkah ini akan menghemat biaya yang dikeluarkan oleh Sprint hingga 1 miliar US$ setiap tahunnya, seperti yang diungkapkan oleh Walter Piecyk, analis dari BTIG Research

“Sprint bisa menghemat 600 juta US$ hingga 1,2 miliar US$ untuk penambahan jaringan setiap tahunnya jika menggunakan wireless, bukan fiber,” tulis Piecyk dalam sebuah catatan penelitian yang dilansir dari RCR Wireless. Lebih lanjut, Pieck menjelaskan bahwa angka tersebut berdasarkan asumsi penggunaan backhaul tradisional yang membutuhkan biaya 1000 US$ per bulan dan Sprint membutuhkan backhaul untuk yang bisa menangani 50.000 sampai 100.000 small cell. Namun sejauh ini, masih sedikit laporan yang menyebutkan penyebaran small cell oleh Sprint.

Hanya saja, Softbank sebagai pemilik Sprint dari Jepang menyebutkan bahwa operator ini akan melakukan penggunaan spektrum 2.5 GHz yang sebelumnya digunakan untuk jaringan WiMAX.

Selanjutnya muncul pertanyaan, siapa yang akan menjadi vendor Sprint untuk melakukan perubahan ke wireless backhaul? Kemungkinan jawaban tersebut datang dari Jepang, di mana Softbank sudah melakukan ujicoba teknologi small cell dengan Airspan, perusahaan dari Florida. Ke dua perusahaan tersebut sudah melakukan uji coba dengan koordinasi multipoint technology untuk LTE small cell dan rencananya, untuk implementasi tersebut akan menggunakan Airspan wireless Ibridge backhaul solutions.

Airspan pun sudah memiliki produk yang disebut AirSynergy yang dirancang untuk mendukung wireless backhaul. Sayang, perusahaan belum menanggapi informasi tentang produk yang akan digunakan dan vendor yang dipilih untuk mengimplementasi kebutuhannya.

Piecyk melihat bahwa radio untuk wireless backhaul yang digunakan oleh Sprint harus dapat di dedikasikan ke dalam spektrum 2.5 GHz ke backhaul. Dan, hal itu tidak dapat dilakukan oleh operator lain karena Sprint memiliki spektrum yang cukup. Lebih lanjut Piecyk menilai bahwa apa yang dilakukan Sprint ini, selain akan mengurangi biaya, wireless backhaul juga akan mempercepat implementasi small cell ke pasar.

“Dari sudut pandang Sprint, jika akan menempatkan puluhan ribu small cell akan membutuhkan waktu untuk menemukan perusahaan telepon atau perusahaan kabel atau Zayo atau Crown Castle atau siapa pun itu untuk mendapatkan fiber atau tipe lain untuk koneksi fixed,” ujar Piecyk menjelaskan. Namun, ke depan ketika lalu lintas sudah bertambah, Sprint juga akan membutuhkan fiber backhaul. Namun, untuk saat ini, wireless backhaul bisa menjadi langkah yang cerdas. Langkah inipun akan memungkinkan Sprint mendapatkan perhatian dan memberikan kecepatan yang dibutuhkan oleh para pelanggan mereka.

Untuk saat ini saja, beberapa analis melihat bahwa Sprint sudah memiliki potensi yang baik dan terlihat juga progress ke depannya yang menjanjikan. Seperti yang dikatakan oleh Roger Entner dari Recon Analytics yang mengatakan Sprint sudah menawarkan koneksi lebih cepat dari pesaingnya di pasar. Di mana Sprint Spark telah dikerahkan. Entner berpikir kecepatan jaringan akan menjadi fokus utama untuk Sprint tahun ini.

Tetapi fokus Sprint pada kecepatan jaringan telah diimbangi oleh dorongan berkelanjutan untuk memotong biaya. Saat ini, Sprint masih memiliki hutang lebih dari 30 miliar US$ dan belum berubah sejak 2014. (Icha)

 

F5 Networks: 42% Kekhawatiran Pengguna Aplikasi Datang dari Keamanan

Telko.id – Meningkatnya penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, yang salah satunya ditandai dengan semakin luasnya penggunaan aplikasi – apapun aktivitas yang dilakukan – secara tidak langsung memunculkan kekhawatiran tersediri di benak pengguna aplikasi. Salah satunya, terkait isu keamanan.

Menurut hasil survei yang dilakukan F5 Networks terhadap sejumlah perusahaan di dunia, dimana 53 persen diantaranya berasal dari Asia Pasifik, diketahui bahwa kekahwatiran utama dari perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut dalam menerapkan aplikasi adalah berasal dari faktor keamanan.

“Dari beberapa hal yang dikhawatirkan perusahaan di Asia Pasifik ketika menerapkan aplikasi, 42 persen diantaranya adalah soal keamanan,” ungkap Andre Iswanto, Manager Field System Engineer F5 Netwoks saat ditemui tim Telko.id di Jakarta, Selasa (15/3).

Kekhawatiran lainnya, seperti ditambahkan Andre, datang dari berbagai sumber, diantaranya ketersediaan, yang menempati posisi kedua dengan 30 persen; identitas/akses, yakni sebanyak 13 persen; kinerja, dengan persentase 10 persen; dan terakhir mobilitas, dengan angka terendah 6 persen.

“Dengan segala sesuatunya terkoneksi seperti sekarang ini, tantangan terbesar buat kita adalah bagaimana melindungi data itu agar selalu aman, dan tidak sampai diakses oleh orang-orang yang tidak berkepentingan,” lanjut Andre.

Selain mengungkap data-data di atas, survei yang dilakukan F5 Networks ini juga menyingung soal titik akses mana saja dalam perusahaan yang paling sering mendapatkan serangan, entah itu client, inbound request, ataupun outbound traffic.

Sekitar seperempat responsen mengatakan bahwa mereka hanya ‘kadang-kadang’ saja melindungi ketiga titik akses tersebut. Kondisi yang identik juga terjadi di wilayah Amerika Utara, ketika disinggung dengan masalah serupa. Data juga mengungkapkan bahwa lebih dari setengah responden menyatakan bahwa mereka selalu melindungi client dan inbound request. Selain itu, data juga mengungkapkan bahwa 12 persen dari perusahaan-perusahaan di wilayah Asia Pasifik tidak pernah melindungi outbound traffic.

San Miguel – Telstra Batal Joint Venture

0

Telko.id – Bulan Agustus tahun lalu, antara San Miguel Corp, dan perusahaan telekomunikasi terbesar Australia, Telstra Corp telah melakukan pembicaraan untuk melakukan kerjasama joint venture di Filipan. Sayang, dengan berjalannya waktu, rencana investasi sebesar 1 miliar US$ yang sempat disampaikan untuk usaha patungan tersebut pun kandas ditengah jalan.

“Kami berdua, SMC dan Telstra sudah berusaha kerja keras agar kerjasama tersebut dapat terwujud. Namun ada beberapa masalah yang kami hadapi sehingga, kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Namun, saya yakin, langkah ini adalah yang terbaik untuk semua pihak,” kata Ramon Ang, Presiden dan COO SMC dalam penyataannya yang dilansir dari Phillipine Star.

“Meskipun jumlah investasi yang akan ditanamkan besar dan sudah ada niat baik dari semua pihak, namun, kami hanya mampu sampai di sini dan tidak memungkinkan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya,” kata Andrew Penn, Chief Executive Officer Telstra dalam sebuah pernyataannya.

Walau demikian, Ang mengatakan bahwa SMC masih berniat untuk menggelar jaringan telekomunikasi bersama dengan int4ernet kecepatan tinggi. “Dengan masuknya SMC dalam pasar telekomunikasi pasti akan menjadi sesuatu yang menggairahkan indutsri karena ketika kami meluncurkan layanan atau produk, konsumen akan mendapatkan keuntungan dari yang lebih baik, layanan yang lebih murah, “kata Ang.

Lebih lanjut, Ang juga menyatakan bahwa SMC tetap akan membuka peluang untuk usaha patungan lainnya. Perusahaan pun tidak terburu-buru untuk dapat menjalin kesepakatan dalam bisnis telekomunikasi yang baru. “Yang penting adalah bahwa kita memberikan masyarakat Filipina pilihan yang lebih baik kata Ang lebih lanjut.

Sementara itu, Philippine Long Distance Telephone Co (PLDT) dan Globe Telecom Inc berharap untuk mendapatkan dorongan masuknya pemain ketiga dalam industri,” kata Fitch Ratings.

Dalam jangka menengah hingga jangka panjang, Fitch mengatakan ancaman persaingan yang lebih besar tetap datang dari SMC. Apakah nantinya akan membangun jaringan sendiri, seperti yang sudah dijadwalkan atau dengan melakukan peluang kerjasama lain di masa depan.

Saat ini, SMC memegang sebagian besar spektrum 700 Megahertz (Mhz) yang sebenarnya sangat diincar oleh pemain lainnya yang sudah ada karena karena cakupannya lebih luas dan kemampuan untuk penetrasi ke gedung lebih baik.

Fitch mengatakan masuknya konglomerat di pasar diharapkan memiliki dampak yang lebih besar terhadap profitabilitas industri dalam jangka panjang. (Icha)