spot_img
Latest Phone

Garmin quatix 8, Smartwatch Maritim dengan Fitur Canggih

Telko.id - Garmin Indonesia resmi meluncurkan quatix 8, smartwatch...

Moto g86 Power 5G: Spek Lengkap dengan Harga Terjangkau

Telko.id - Smartphone terbaru dari Motorola akan segera diluncurkan....

Apple Kembangkan Chatbot AI Sendiri, Saingan ChatGPT

Telko.id – Perusahaan teknologi besar Apple, mulai bergerak mengembangkan...

Pendapatan Apple Naik 10%, Penjualan iPhone Tembus 3 Miliar Unit

Telko.id - Apple mengumumkan hasil keuangan kuartal III 2025...

ASUS Zenbook S16 OLED, Tipis dengan Performa AI Terbaik

Telko.id - ASUS resmi meluncurkan Zenbook S16 OLED (UM5606WA)...
Beranda blog Halaman 1528

Workspace ONE, Solusi VMware Hadapi Tren BYOD

0

Telko.id – salah satu penyedia solusi infrastruktur cloud dan mobilitas bisnis, VMware kembali menghadirkan sebuah solusi baru. Solusi ini dihadirkan oleh VMware untuk menghadapi mega tren Bring your Own Device (BYOD). Seperti diketahui, konsep kerja BYOD di perusahaan menjadikan karyawan bisa bergek bebass dan lebih fleksibel. Tren ini juga menjadikan para karyawan dapat bekerja secara lebih efisien.

Solusi terbaru yang dimaksudkan adalah platform Workspace ONE, yakni digital workspace yang menyuguhkan kemudahan bagi para pengguna nya dan juga menyuguhkan keamanan yang tinggi sekelas enterprise. Digital workspace ini juga diharapkan dapat dapat memenuhi seluruh kebutuhan mobilitas bisnis bagi kalangan end user maupun pekerja IT di perusahaan tersebut.

Bukan hanya untuk karyawan kantor, hadirnya solusi ini juga dapat memberikan kemudahan kepada para profesional IT di sebuah perusahaan untuk mengelola user, perangkat serta aplikasi yang dibutuhkan oleh berbagai departemen di suatu perusahaan. Workspace ONE juga menjanjikan sebuah efisiensi bagi perusahaan dalma hal efisiensi waktu.

Adi Rusli, Senior Director and Country Manager VMware Indonesia mengungkapkan, “Indonesia tercatat memiliki lebih dari 106 juta pelanggan perangkat bergerak saat ini. Sebuah digital workspace dibutuhkan oleh perusahaan untuk memberikan kemudahan bagi pengelola IT dalam menyelenggarakan dan mengelola banyaknya pengguna, perangkat yang berbeda-beda, serta aplikasi yang efisien untuk menyelesaikan berbagai tugas perusahaan,” ucapnya pada saat peluncran solusi ini di Jakarta (23/2).

Adi juga menyebut, VMware workspace ONE ini dapat disesuaikan dengan berbagai skema bisnis perusahaan guna mendukung terciptanya kolaborasi antara berbagai aplikasi milik perusahaan, berbagai perangkat yang banyak digunakan dengan tingkat keamanan yang tinggi.

Workspace ONE memiliki beberapa keunggulan bila dibandinkan dengan solusi serupa yang dihadirkan oleh penyedia lain.Berikut beberapa keunggulan dari Workspace ONE,

  • Platform ini mampu memberikan akses ke aplikasi-aplikasi terbaru perusahaan baik itu aplikasi cloud, mobile dan windows sehingga memberikan kemudahan akses kepada karyawannya.
  • Akses mobile single-sign On sekali sentuh pertama di industri yang dilengkapi dengan patent pending Secure App Token System (SATS).
  • Mendukung berbagai perangkat sehingga sesuai dengan perusahaan yang menerapkan BYOD atau perangkat khusus dari perusahaan.
  • Tampilan antarmuka (user interface) versi sistem operasi mobile (iOS, Android dan Windows 10) sehingga dapat dikonfigurasi dengan laptop, smartphone maupun tablet.
  • Mendukung aplikasi mobile perusahaan sepertiblayaknya aplikasi konsumen yg biasa digunakan seperti evernote, email luar seperti Gmail dan Yahoo, kalender, kontak, konten serta chatting yang dapat dioperasikan dengan mudah.
  • Mendukung aplikasi SaaS pihak ketiga seperti Atlassian Jira, GitHub dan Jenkins yang memungkinkan developer untuk memanfaatkannya lebih jauh.
  • Keamanan yang ketat untuk melindungi bocornya data perusahaan dengan memadukan pengelolaan identitas dan perangkat menggunakan Compliance Check Conditional Access pertama di industri.
  • Penambahan aplikasi keamanan dengan pelacakan lokasi GPS, melakukan blacklist/whitelist, serta plug-in pihak ketiga milik mitra Airwatch® Mobile Security Alliance.

Berbicara mengenai harga,VMware Workspace One ini rencananya akan mulai tersedia secara luas pada kuartal ini. Dan solusi yang ditawarkan terdiri dalam berbagai versi diantaranya yaitu edisi standar, advance dan edisi enterprise dengan harga mulai dari USD8 per user per bulan untuk berlangganan cloud dan USD150 per user untuk lisensi on-premises perpetual.

Machina Research: Koneksi 5G IoT Tembus 10 Juta Pada 2024

0

Telko.id – Machina Reasearch belum lama ini mengungkap penelitian pertamanya mengenai kemungkinan adopsi 5G dalam Internet of Things. Menurut riset tersebut, akan ada sekitar 10 juta koneksi IoT global menggunakan 5G pada 2024, sebesar 0,5 persen dari seluruh koneksi IOT seluler. IoT akan menguasai seperempat dari semua koneksi 5G, yang akan berjumlah 41 juta.

Connected car (atau mobil terkoneksi), disebut-sebut akan mendominasi tahap awal peluncuran 5G dalam Internet of Things, yakni sekitar tiga-perempat dari koneksi IoT. Demikian prediksi analis perusahaan, sebagaimana dilaporkan Total Telecom, Selasa (23/2).

“5G di awal-awal kemunculannya sebagian besar adalah tentang konektivitas lebih cepat untuk PC, tablet dan handset, daripada IoT,” kata Matt Hatton, CEO Machina Research.

Ia menambahkan, sebagian besar aplikasi IoT tidak akan menuntut bandwidth tinggi dan jaringan dengan latency rendah yang dijanjikan 5G, tetapi ada beberapa pengecualian.

“Penelitian Machina menunjukkan bahwa sekitar tiga perempat dari 10 juta sambungan IoT pada 2024 akan berada di sektor connected car,” katanya.

Selain itu, perusahaan juga menyoroti CCTV dan signage digital sebagai pengadopsi awal 5G paling potensial.

Machina percaya bahwa pasar Asia yang maju, yakni Jepang dan Korea Selatan akan memimpin jalan dalam teknologi ini pada tahun 2020-21, dengan Eropa, China dan Amerika Utara menyusul beberapa tahun kemudian.

Dorong Adopsi Cloud di Ranah Telko, Ericsson Gandeng AWS

0

Telko.id – Ericsson sepertinya tidak main-main ketika menyebut 5G, IoT dan cloud sebagai agenda utamanya tahun ini. Hal itu dibuktikan perusahaan yang berbasis di Swedia ini dengan menjalin kemitraan global dengan Amazon Web Services (AWS). Tujuannya adalah mendorong adopsi cloud di kalangan operator.

Dilansir dari ETTech, Selasa (23/2), kerjasama yang diumumkan dalam ajang Mobile World Congress yang saat ini tengah berlangsung di Barcelona, Spanyol ini merupakan bagian dari dorongan yang lebih luas dari Ericsson untuk mengajak penyedia layanan telekomunikasi untuk mengadopsi layanan cloud ketimbang mengandalkan sepenuhnya pada pengoperasian komputer internal mereka yang membantu mereka untuk menjalankan layanan mobile yang lebih efisien.

Ericsson akan menyediakan perangkat lunak yang membantu penyedia layanan telekomunikasi untuk memanfaatkan layanan cloud Amazon sambil memungkinkan mereka untuk mengontrol data pelanggannya untuk persyaratan lokalisasi dan melestarikan enkripsi data penuh.

Selain perangkat lunak, Ericsson juga mengatakan bahwa mereka akan membentuk tim global ahli dalam menggunakan AWS Cloud. Selain itu, perusahaan juga akan membangun “cloud innovation centers,” dimana beberapa staf-nya akan datang dari Swedia, pun demikian tenaga kerjanya. Semua sistemnya, tentu saja akan dijalankan oleh Amazon Web Services.

“Kami mulai ini di Australia dalam kemitraan dengan Telstra,” kata Anders Lindblad, Kepala unit bisnis awan dan IP Ericsson seperti dikutip Total Telecom.

“Penyedia layanan telah datang kepada kami dan menanyakan bagaimana mereka dapat menggunakan platform (awan) ini… untuk meningkatkan infrastruktur mereka,” jelas Terry Wise, wakil presiden ekosistem mitra worldwide AWS.

Ia menambahkan, Ericsson adalah pasangan yang sempurna bagi AWS dalam inisiatif ini. Dan penjanjian ini akan membantu AWS dalam mempercepat pertumbuhan bisnis layanan telekomunikasi awannya.

Tak Mau Ketinggalan, Facebook Ikut Kembangkan 5G

0

Telko.id – Belum juga tuntas segala urusan Facebook dengan inisiatif terakhirnya – yang menjanjikan internet gratis ke daerah rural di belahan bumi ini – kini perusahaan yang digawangi Mark Zuckerberg itu kembali membuat berita. Lebih tepatnya hari Minggu kemarin, Facebook telah meluncurkan sebuah inisiatif teranyar yang diberi nama Telecom Infra Project (TIP). Menggandeng beberapa perusahaan besar seperti Deutsche Telekom, SK Telecom, Intel, dan Nokia, inisiatif ini dirancang untuk membantu membangun jaringan nirkabel generasi berikutnya.

Dilansir dari technologyreview, Selasa (23/2), Facebook dan beberapa mitranya ini mencoba mempercepat proses itu dengan membuat desain dari peralatan jaringan nirkabel open source. Mereka berharap perusahaan-perusahaan akan berbagi informasi dan mempercepat tingkat di mana jaringan baru dapat dibangun dan diaktifkan.

Sebelumnya, kita telah mendengar banyak obrolan mengenai berapa lama lagi hingga jaringan ultrafast 5G tiba. Konsensus saat ini adalah awal 2019, meskipun ada rencana untuk menggelarnya pertama kali, baik di ajang Piala Dunia 2018 di Rusia maupun Olimpiade Musim Dingin 2018 di Korea Selatan.

Dalam sebuah posting di situsnya, Facebook mengatakan bahwa dengan orang-orang semakin intensif berbagi media, seperti video definisi tinggi dan bahkan pengalaman virtual reality di masa depan, infrastruktur telekomunikasi tradisional “tidak bergerak secepat kebutuhan orang.”

Facebook, Intel, dan Nokia telah berjanji untuk menyumbangkan referensi desain awal proyek tersebut untuk meningkatkan jaringan komunikasi 5G yang dapat diterapkan operator saat mereka membutuhkannya.

Menurut Kepala Insinyur Facebook, Jay Parikh, proyek ini akan “menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam biaya dan efisiensi operasional baik untuk penyebaran di daerah pedesaan maupun perkotaan.”

Saat ini, Facebook dan kawan-kawan telah meluncurkan pilot studi berdasarkan prinsip-prinsip di balik TIP untuk menghubungkan sebuah desa kecil di Filipina, yang sebelumnya tidak memiliki cakupan selular, dengan internet. Pun demikian dengan beberapa daerah pedesaan di Skotlandia.

5G Hadir, Operator Jualan Solusi?

0

Telko.id – Pada ajang MWC tahun ini banyak operator besar dunia yang menghadirkan solusi terkait 5G. Namun, perlu diketahui bahwa penawaran layanan 5G kepada konsumen sebenarnya tidak melulu soal kecepatan pada konektivitas, melainkan pada solusi layanan secara M2M.

Hal ini juga menjadi fokus yang diulang beberapa kali di dua panel terpisah pada ajang Mobile World Congress 2016 yang berlangsung di Barcelona, Spanyol.

Pada dua panel tentang bagaimana 5G akan menciptakan nilai bagi konsumen, Bruno Jacobfeuerborn, CTO dari Deutsche Telekom, mengingatkan bahwa konteks konsumen secara radikal akan berubah dalam beberapa tahun ke depan. Konsumen tidak hanya terhubung pada satu perangkat saja, melainkan mereka sudah jauh lebih terhubung ke berbagai perangkat, entah itu smartphone, wearable device, peralatan rumah tangga, mobil dan lain-lain. Bahkan, banyak dari mereka yang akan menjadi “digital natives” dan memiliki harapan yang sama sekali berbeda dari generasi sebelumnya kepada penyelenggara telekomunikasi.

“Digital Natives sadar bahwa mereka memerlukan konektivitas, namun mereka tidak fokus terhadap hal tersebut. Mereka akan memiliki harapan yang jauh lebih tinggi dari pengalaman digital,” ucap Bruno seperti dilansir dari laman TelecomAsia (23/2).

Ia juga mengungkapkan, bahwa 5G sejatinya merupakan teknologi yang engelola kehidupan konsumen digital, konektivitas, perangkat dan layanan serta menyediakan perlindungan untuk privasi dan keamanan.

Sementara itu, CTO Turkcell, Ilker Kuruoz mengatakan bahwa perusahaan seluler tidak akan mampu menjual 5G sebagai sebuah teknologi dengan cara yang sama seperti pada jaringan 3G dan 4G.

“Mendorong generasi sebagai payung dari sebuah merek adalah langkah penting, tetapi dari sudut pandang konsumen. Ini bukan tentang konektivitas, ini tentang layanan. Jadi industri dapat fokus pada branding layanan yang dimungkinkan oleh 5G, dan bukan hanya mengenai konektivitas saja,” ujarnya.

Hal senada diutarakan oleh Ralph de la Vega, Vice Chairman AT&T dan CEO AT&T untuk Solusi Bisnis dan AT&T Internasional. Ia mengaku setuju bahwa konektivitas memng penting, namun tidak akan menjadi ‘nilai jual’ bagi calon pelanggan 5G.

“Kami tidak bisa menjual konektivitas, kami harus menjual solusi karena hal ini akan membuat 5G lebih kompetitif dan sukses,” tuturnya.

Banyak yang beranggapan bahwa layanan 5G hanya tentang kecepatan 20Gbps saja. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengguna memerlukan kecepatan seperti itu hanya sekedar untuk streaming film, dan bersosial media? Nantinya, bukan tidak mungkin jika layanan dari teknologi 5G akan digunakan untuk mengembangkan robot atau menggerakan sebuah mobil dari jarak jauh. Kita tunggu saja. [ak/if]

ZTE Tahun Ini Targetkan Jualan ‘Pre-5G’ di Asia dan Eropa

0

Telko.id – Era 5G memang masih 4 tahun lagi. Itupun masih belum terang benderang untuk standarisasinya. Menjelang itu, teknologi Pre-5G menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kecepatan koneksi sebelum akhirnya masuk ke era 5G yang sesungguhnya.

Potensi pasar inilah yang disasar oleh ZTE dalam tahun ini. Termasuk di dalamnya teknologi massive MIMO, UDN (ultra-dense networks) dan MUSA (multi-user shared access). “Tahun ini, ‘pre-5G’ adalah teknologi kunci,” kata Zhang Jianguo, GM divisi operasi produk nirkabel ZTE menjelaskan, di ajang Mobile World Congress di Barcelona, ​​Spanyol, seperti yang dilansir dari RCR Wireless. Setidaknya, pada tahun ini, ZTE akan memasakan produk yang mendukung Pre-5G technologi ini di 10 negara dan region di Asia dan Eropa pada 2016 ini.

Pre-5G, adalah teknologi antara dari 4G yang saat ini sudah berjalan dengan 5G. Dengan mengkombinasikan teknologi 5G dan produk terminal 4G dan menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan 4G. Menurut Zhang Hianguo, General Manager ZTE departemen langkah menengah antara teknologi saat ini 4G dan 5G, teknologi 5G menggabungkan dengan produk terminal 4G yang ada untuk memungkinkan kecepatan lebih cepat.

Zhang Jianguo, General Manager Wireless Product Operation Department ZTE menyebutkan bahwa koneksi dari Pre-5G ini bisa mencapai empat sampai lima kali dari kecepatan internet 4G saat ini. ZTE pun kabarnya, tidak lama lagi sudah akan menyelesaikan Uji coba jaringan Pre-5G di daratan Cina. Selanjutnya, Jianguo juga mengatakan bahwa BTS Massive MIMO ZTE akan tersedia secara komersial di Cina pada semester dua tahun ini.

Jianguo juga menjelaskan bahwa fokus utama perusahaan pada tahun 2016 ini adalah untuk meningkatkan kepuasan pelanggan di pasar, di mana jaringan berkualitas yang sudah terpasang menjadi lebih baik lagi dalam pelayanannya. Selain itu, ZTE juga berencana untuk mengoptimalkan posisi pasar melalui solusi yang berbeda dan meningkatkan kemampuan pemasaran serta memperluas layanan pada segmen enterprise dan segmen “Internet of Things”.

ZTE juga akan melakukan uji jaringan 5G di pasar dosmestik Cina pada awal 2018 dan akan memasarkan teknologi tersebut setelahnya.

Pasar 5G sendiri, berdasarkan hasil riset dari Juniper Research akan menjadi pasar utama dan akan memberikan revenue untuk network operator hingga 100 juta US$ di 2020. Angka tersebut akan meningkat signifikan hingga mencapai 65 juta US$ pada tahun 2025. (Icha)

Ericsson Jembatani OTT dan Operator

0

Telko.id – Layanan OCC milik Ericsson bertujuan menjembatani kesenjangan antara operator jaringan, dan layanan OTT dengan mengekspos kemampuan dari OSS dan BSS operator untuk pemain OTT dan sebaliknya.

Perusahaan infrastruktur telekomunikasi asal Swedia, Ericsson telah meluncurkan OTT Cloud Connect (OCC) yakni sebuah layanan cloud yang terbuka dan memungkinkan operator seluler di seluruh dunia untuk ‘connect’ ke beberapa pemain OTT serta memberikan layanan baru dan kreatif untuk pengguna mereka.

Layanan OCC Ericsson ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara operator jaringan, dan layanan OTT dengan mengekspos kemampuan OSS dan BSS milik operator untuk pemain OTT dan sebaliknya. Hal ini membawa kesederhanaan untuk kolaborasi antara OTT dan operator.

Solusi ini juga akan memungkinkan mereka menawarkan fitur aplikasi khusus yang unik untuk end user guna mendapatkan pengalaman yang lebih baik.

“Kolaborasi antara operator dan penyedia OTT, akan menjadi kunci seperti yang kita lihat pada layanan inovatif baru yang diperkenalkan terhadap end user ini,”

Ericsson juga sangat mendukung pendekatan ini dan mereka percaya kami berada di tempat yang manis untuk memainkan peran enabler untuk membuat kolaborasi ini terjadi. Kami sangat bullish tentang platform OCC dan sangat senang telah terintegrasi dengan YouTube sebagai platform video pertama. Kami berharap untuk orientasi lebih banyak penyedia OTT “kata Diomedes Kastanis, Head of Technology, Business Unit Support Solutions, Ericsson seperti dikutip dari laman ETTelecom (23/2).

Platform OCC adalah sebuah platform terbuka yang memungkinkan setiap pemain OTT untuk memberikan fitur inovatif bagi pengguna berdasarkan integrasi dengan kemampuan jaringan operator tertentu. Hal ini bertindak sebagai platform gateway yang abstrak terhadap kompleksitas jaringan masing-masing operator dan menyediakan integrasi sederhana untuk pemain OTT dan aplikasi mereka.

Ericsson bekerja sama dengan Google sebagai salah satu mitra pertama untuk mendapatkan ‘on boarded’ pada platform OCC. Integrasi ini nantinya akan memungkinkan Google untuk membawa fitur dan layanan yang inovatif untuk produk-produk seperti YouTube dan dapat menjaring pengguna dalam jumlah besar dengan memanfaatkan skala yang disediakan oleh  OCC.

Nantinya, Ericsson akan terus membawa pemain OTT tambahan ke platform OCC untuk kepentingan satu interface umum atau platform untuk operator yang berpartisipasi dan pemain OTT.

“Lingkungan Ponsel memperkenalkan sejumlah kompleksitas, tetapi juga berbagai peluang juga hadir untuk memberikan pengalaman berkualitas bagi pengguna,” ucap Jay Akkad, Sr Product Manager YouTube Emerging Markets.

Ericsson OTT Cloud Connect sejatinya ‘menempa’ kolaborasi antara operator dan penyedia OTT untuk memecahkan beberapa kompleksitas dan membuka pintu untuk inovasi serta memberikan kesempatan untuk meningkatkan layanan.

“Kami percaya inisiatif seperti ini akan mempercepat inovasi antara operator dan penyedia OTT, dan kami berharap dapat bekerja dengan operator pada fitur-fitur baru serta layanan kepada pengguna,” tutup Akkad.

3 Faktor Penting Data Center Untuk IoT Ready

0

Telko.id – Tahun 2020, berdasarkan data dari perusahaan analis Gartner, akan ada lebih dari 26 miliar perangkat yang saling terhubung. Termasuk juga wearable technology, peralatan elektronik di rumah-rumah, dan banyak lagi. Hal ini akan sangat mempengaruhi pasar data center, karena penerapan IoT akan menghasilkan sejumlah besar data yang perlu diproses dan dianalisis secara real time. Untuk itu banyak perusahaan membutuhkan solusi agar tetap mampu mengikuti perubahan tersebut.

Besarnya koneksi jaringan dan jumlah perangkat elektronik yang saling terhubung menciptakan permintaan yang lebih tinggi untuk kapasitas data center. Namun, hal ini menimbulkan tantangan khusus bagi data center, terutama di bidang infrastruktur, keamanan, kapasitas data, manajemen storage, server dan jaringan data center. Oleh karena itu, untuk dapat secara proaktif memenuhi berbagai prioritas bisnis yang terkait dengan IT, pemilik dan pengelola data center harus melihat lebih jauh manajemen kapasitas data center mereka.

“Ada tiga bidang utama yang perlu diperhatikan bagi para perusahaan data center yakni data center yang lebih fleksibel dan agile, teroptimalisasi secara penuh, dan dukungan Data Center Infrastructure Management (DCIM) yang memadai,” ujar Astri R Dharmawan, Business Vice President Schneider Electric IT Indonesia – Malaysia – Brunei menjelaskan.

Pada fokus yang pertama, untuk membangun data center dibutuhkan solusi data center prefabrikasi modular yang akan menghemat waktu secara signifikan. Dengan sistem tersebut, akan sangat mudah dan diandalkan dalam pembangunannya karena sudah dirakit dan diuji di pabrik – dalam kondisi yang sangat terkendali – dibandingkan merakit komponen di lapangan.

Lebih lanjut lagi, fenomena IoT dan big data kini turut mendorong munculnya platform Edge Computing yang mampu mendistribusikan beban data lebih dekat dengan perangkat sehingga mengurangi lambatnya komunikasi data melalui jaringan (latency) hingga 10 kali lipat dibandingkan jika menggunakan jaringan biasa. Data center untuk mendukung edge computing umumnya hadir dalam tiga bentuk yaitu: perangkat gateway atau embedded, Micro Data Center yang terdiri dari 1 hingga 10 rak, serta regional data center.

Selanjutnya, agar data center dapat berjalan optimal, perusahaan juga membutuhkan Data Center Lifecycle Services untuk membantu perusahaan mengantisipasi dan melakukan efisiensi atas kebutuhan energi yang lebih tinggi akibat besarnya jumlah data yang harus diproses. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan assessment terhadap infrastruktur data center yang ada supaya dapat dikumpulkan data mengenai kondisi infrastruktur data center saat ini.

Informasi tersebut dibutuhkan untuk menilai apakah kapasitas yang ada sekarang sudah cukup efisien dan bila ada perubahan kapasitas, seberapa besar penambahan kapasitas yang dibutuhkan. Selain itu, layanan assessment ini juga dapat membantu pelanggan merencanakan kebutuhan infrastruktur IT mereka sampai beberapa tahun ke depan, sesuai dengan rencana pengembangan bisnis ke depan.

Fokus terakhir yang juga sangat penting adalah kehadiran DCIM yang memungkinkan pelanggan untuk melakukan monitoring perangkat di dalam data center agar semua ancaman yang dapat menyebabkan downtime di data center seperti ancaman panas, kebocoran air, kelembaban, api dan lain lain dapat segera dideteksi (real time), bahkan dari jarak jauh.

Mengenai DCIM, Astri mengungkapkan, “Untuk mengintegrasikan seluruh komponen data center dan memudahkan monitoring, software DCIM legendaris dari Schneider Electric, StruxureWare™ menggabungkan berbagai aplikasi software yang sekarang menjadi pemimpin pasar sehingga mempermudah konvergensi sistem.

Solusi ini menghasilkan informasi yang langsung dapat ditindaklanjuti baik itu oleh pengguna yang sudah expert, maupun tim IT dan tim pemeliharaan fasilitas untuk memastikan data center terus beroperasi dengan siaga dan efisien.”

“Melalui berbagai solusi inovatif data center yang kami tawarkan, kami akan terus berkomitmen untuk membantu meningkatkan daya saing pelanggan kami di tengah pertumbuhan IoT, khususnya dalam berdaptasi dengan perubahan teknologi yang sangat dinamis. Semoga acara hari ini dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya penggunaan data center yang fleksibel, dapat diandalkan, namun sangat efisien dari segi biaya dan pengoperasian,” tutup Astri. (Icha)

Inovasi Digital Berbasis 4G LTE Jadi Fokus XL di 2016

0

Telko. id – Melanjutkan agenda transformasi yang telah diterapkan sejak tahun lalu, PT XL Axiata (XL) akan fokus pada pengembangan layanan 4G LTE di tahun 2016. Hal ini sejalan dengan salah satu target perusahaan, yaitu menciptakan peluang pertumbuhan bisnis baru (re-invent). Peluang-peluang baru tersebut akan berbasis pada teknologi digital, melalui pemanfaatan layanan internet cepat 4G LTE.

Presiden Direktur XL, Dian Siswarini  mengatakan dalam keterangan resminya, sejumlah rencana telah disiapkan XL, mulai dari penyediaan jaringan 4G LTE yang mumpuni, penyiapan ekosistem yang komplit, hingga menyiapkan sejumlah program yang sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan penggunaan pelanggan atas layanan data yang diharapkan.

“Salah satu program yang kini telah mulai memasyarakat adalah kampanye marketing iinternet on, worries off’ serta ‘4G LTE on, worries off’,” katanya.

Sebagai informasi, agenda transformasi bisnis yang dijalankan oleh XL diimplementasikan melalui strategi 3R yang telah berjalan sejak awal tahun 2015. Strategi 3R ini sendiri meliputi “Revamp, Rise & Reinvent.” Revamp, berarti mengubah model bisnis pencapaian jumlah pelanggan (dari “volume” ke “value”), strategi distribusi serta meningkatkan profitabilitas produk. Rise, berarti meningkatkan nilai brand XL melalui strategi dual-brand dengan AXIS untuk menyasar segmen pasar yang berbeda. Sementara Reinvent, berarti membangun dan menumbuhkan berbagai inovasi-inovasi bisnis.

Transformasi bisnis ini dilakukan XL untuk merespon dinamika perubahan pasar yang sangat dinamis dan fokus untuk menciptakan nilai-nilai sehingga XL dapat membangun bisnis yang lebih berkelanjutan ke depannya.

Menurut Dian, langkah utamanya adalah  XL harus bisa meyakinkan pelanggan dan masyarakat bahwa layanan internet cepat 4G LTE XL adalah yang paling berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah dan hanya cukup dikatakan, namun harus dibuktikan. Untuk itulah, XL sangat serius menyiapkan semua syarat untuk bisa meyakinkan pelanggan dan masyarakat. Dari capex atau belanja modal kurang dari Rp 7 triliun yang disiapkan untuk 2016 ini, mayoritas dialokasikan untuk mendukung bisnis layanan Data termasuk memuluskan rencana pengembangan 4G LTE.

Langkah selanjutnya adalah, XL akan berusaha mendorong kepemilikan smartphone 4G LTE oleh pelanggan. XL berharap tahun ini pelanggannya yang menggunakan layanan 4G bisa mencapai sekitar 9 juta pelanggan atau tiga kali lipat pelanggan 4G di akhir tahun 2015.

Dengan demikian, akan semakin mudah bagi XL untuk membuktikan sekaligus memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan atas tersedianya layanan internet cepat yang kaya manfaat. Untuk itu, XL akan terus menyelenggarakan program bundling ponsel 4G LTE yang menarik dan mampu menjangkau semua lapisan pelanggan.

Selain itu, XL juga akan terus mendorong dan mempermudah pelanggan untuk mengganti kartu SIM lama dengan SIM 4G LTE. Saat ini lebih dari 3 juta pelanggan XL yang telah menggunakan SIM 4G LTE.

Kemudian, XL akan terus melanjutkan perluasan layanan 4G LTE ke kota-kota dan area yang belum tersentuh internet cepat. Hingga akhir tahun 2016 nanti, XL memiliki target setidaknya sebanyak 85 kota sudah terlayani.

Pengembangan area layanan 4G LTE XL juga akan sejalan dengan program kerjasama XL – Indosat Ooredo dalam berbagi jaringan (network sharing) yang secara efektif telah dilaksanakan sejak Desember 2015 lalu.

Secara teknis, pada tahap awal, kerjasama ini baru sebatas network sharing pada radio access network. Kedua pihak berkomitmen melanjutkan kerjasama ini dengan dukungan Pemerintah dengan harapan kerjasama dapat diperluas menjadi core network sharing yang akan lebih meningkatkan penghematan yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk dapat melayani pelanggan pengguna LTE lebih banyak, tentunya dengan kecepatan data yang tinggi dan pengalaman penggunaan layanan yang lebih baik.

CEO Nokia Tegaskan ‘Comeback’ ke Industri Ponsel

0

Telko.id – Setelah merasakan kejayaan di pasar ponsel, nama besar Nokia sempat tenggelam dan merubah mode bisnisnya dann lebih berfokus sebagai vendor jaringan dan telekomunikasi. Langkah tersebut terbukti ampuh jika melihat banyaknya operator seluler di seluruh dunia yang menggunakan jasa mereka untuk menghadirkan layanan 4G, VoLTE hingga LTE Advanced dengan Carier Aggregation (CA) nya.

Namun, Nokia juga sempat dikabarkan akan kembali masuk ke pasar ponsel pada 2016 ini. Sayangnya hal tersebut belum diketahui pasti kapan waktu persis nya perusahaan ini akan kembali merambah bisnis ini.

Pada ajang Mobile world Congress (MWC) di Barcelona, Perusahaan asal Finlandia ini kembali menekankan bahwa pihaknya sedang dalam tahap ‘On Progress’ pada rencana untuk menjual smartphone. Hanya saja tidak tahu kapan.

“Kami tidak bisa menyebutkan waktu karena kami tak terburu-buru,” ucap Chief Executive Nokia Rajeev Suri seperti dikutip dari laman Cnet (22/2). Selain itu, Suri juga menyebutkan hal itu bisa terjadi pada tahun 2016 ini atau mungkin bisa lebih lama lagi.

Seperti diketahui, pada 2014 silam, Nokia menjual bisnis device kepada Microsoft sebesar USD7,2 miliar. Sejak itu, ia memperoleh kemabli hak menjual smartphone dengan merek Nokia. Namun, Setelah proses pengakuisisian mereka kembali merilis sebuah tablet dengan OS Android. Sementara itu, pada Juli lalu Nokia memberikan signal bahwa mereka akan kembali memasuki pasar ponsel pada 2016, namun hingga kini mereka belum meluncurkan produk ponsel pintarnya lagi.

Sekedar Informasi, Masa kejayaan Nokia di dunia mobile dimulai pada awal 1990-an dan berlangsung selama 20 tahun dengan device unggulan mereka seperti Nokia 3210 dan 3310 yang sempat menjadi primadona dikala itu. Namun, seiring dengan hadirnya Iphone pada tahn 2007, serta hadirnya primadona baru yang bernama Blackberry, Nokia terkesan lambat dalam bertransformasi sehingga mereka harus dikesampingkan dalam persaingan ponsel pintar hingga saat ini.

Sementara itu, Rajeev Suri baru-baru ini kembali menegaskan, bahwa Nokia ingin menunggu partner yang tepat dan tidak terburu-buru kembali ke pasar mobile. Ia sebelumnya juga mengatakan, bahwa mereka tidak akan membuat ponsel, melainkan akan memberikan linsensi merek Nokia ke produsen.

Nokia percaya bahwa mereka masih memiliki potensi untuk membuat dampak pada dunia smartphone, dan kemungkinan terbesar untuk melakukannya adalah dengan menghadirkan perangkat premium. “Pengakuan merek masih sangat tinggi di semua pasar utama, dan kami pikir itu merupakan model bisnis yang baik,”tukasnya.

Saat ini mungkin Nokia tidak dalam industri Smartphone, namun mereka masih berada dalam lingkaran infrastruktur yang mendukung smartphone. Sejak mengakuisisi perusahaan teknologi Alcatel-Lucent, Nokia telah berfokus untuk membangun jaringan mobile 5G jaringan dan bersiap-siap untuk ‘menyerang’ dunia menggunakan connected device dan bukan tidak mungkin smartphone premium juga menjadi senjata mereka untuk bertahta di ranah 5G.