spot_img
Latest Phone

Oppo Campus Ambassador, Siapkan Talenta Muda di Bidang Teknologi dan Digital

Telko.id – Oppo Indonesia memperkenalkan program terbaru Oppo Campus...

Huawei Watch D2, Bisa Pantau Tekanan Darah 24 Jam

Telko.id - Huawei resmi menghadirkan Huawei Watch D2 di...

Yuk Bikin Galaxy Z Flip6 Jadi Stand Out dengan Flipsuit Case

Telko.id - Huawei resmi memperkenalkan Huawei MatePad Pro 12.2-inch,...

Oppo Pad Air2

Oppo Reno11 Pro (China)

ARTIKEL TERKAIT

Menkominfo: Tarif Data Harus Terjangkau dan Kualitas Layanan Pun Harus Terjaga

Telko.id – Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna seluler terbesar di dunia. Studi dari GSM Intelligence (Oktober 2016) menyebut bahwa hingga 2020 nanti akan lebih dari 241 juta mobile subscriber riil di Indonesia. Dari angka tersebut sekitar 36-37% telah menggunakan internet mobile.

Di sisi lain tren pemakaian ponsel cerdas juga terus meningkat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Dengan karakteristik sebagai negara kepulauan, pasar Indonesia sangat membutuhkan komunikasi yang terjangkau (affordable) termasuk komunikasi data yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian digital di masa datang.

Menurut Menkominfo Rudiantara, keterjangkauan itu tidak hanya keberadaan layanan tetapi juga tawaran layanan dengan harga yang terjangkau. Meski tak terjangkau, kualitas layanan (quality of services) tak harus dikorbankan. Yang paling dibutuhkan pelanggan seluler saat ini adalah layanan data yang stabil dan terjangkau. Dalam kacamata regulasi, pemerintah memang tidak ikut dalam penentuan tarif layanan data. Tapi, pemerintah harus mampu memberi ekosistem bisnis yang terbaik agar tarif layanan data dapat terjangkau bagi masyarakat. Diperlukan penyelesaian formula yang sesuai terkait tarif jasa yang ditawarkan penyelenggara jaringan bergerak seluler termasuk untuk suara, SMS, dan data.

‘’Dari sisi penyelenggara jasa seluler, keuntungan bisnis memang menjadi orientasi. Tetapi karena iklim bisnis yang sangat kompetitif, operator harus selalu melihat bagaimana kondisi persaingan di lapangan. Khusus layanan data, operator yang pendapatannya bergeser dari suara dan SMS ke data harus merumuskan tarif data yang mestinya harus terjangkau oleh seluruh masyarakat. Tentu tidak diharamkan melakukan promo-promo untuk menarik pelanggan tetapi kembali lagi kepentingan konsumen harus dikedepankan. Mereka berhak memperoleh layanan dengan tarif data terjangkau dan kualitas yang baik,’’ ungkap Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika pada acara seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF).

Sedangkan menurut Ketua YLKI, Tulus Abadi, dari kacamata pengguna, layanan data sebaiknya tidak membuat pengguna dalam posisi memilih sesuatu yang pahit karena tak ada layanan lain yang tersedia. Kalau penyelenggara jasa seluler masih menggunakan mindset seperti ini, cepat atau lambat akan terlibas dari persaingan. Contoh paling nyata adalah bagaimana “memaksa” konsumen untuk merasakan bundling dengan konten-konten tertentu yang nyatanya konten tersebut tidak sesuai dengan keinginan penggunanya. Pengguna terkesan hanya menjadi obyek jualan semata tanpa mengindahkan bahwa tak semua orang suka dengan konten yang dibundling dalam paket jualan data.

Sedangkan menurut komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia BRTI, Ketut Prihadi, dari sisi ekosistem bisnis semua harus diuntungkan atau win-win solution. Penyelenggara jasa seluler harus mendapatkan keuntungan dari bisnis mobile data agar layanan data tetap berlangsung. Di sisi lain, penyelenggara jasa seluler juga harus melakukan efisiensi agar harga jual data ke konsumen dapat memenuhi keterjangkauan konsumen. Ketika ekosistem itu berjalan dengan baik, tentu masyarakat banyak akan diuntungkan karena mereka akan memperoleh layanan mobile data dengan kecepatan maksimal dan harga terjangkau.

Untuk itu, lanjut Ketut BRTI sedang menyusun revisi/pengganti dari PM 9/2008, di mana tarif untuk layanan data akan diatur menggunakan formula.

Adapun materi pokok yang akan diatur dalam RPM adalah sebagi berikut :

  1. Komponen biaya elemen jaringan (network element cost)merupakan biaya penggunaan jasa penggunaan akses internet.
  2. Biaya penggunaan layanan akses internet berupa biaya yang dibebankan oleh Penyelenggara kepada Pengguna untuk setiap penggunaan layanan akses internet.
  3. Biaya penggunaan akses internet sudah termasuk biaya elemen jaringan sewa bandwidth internasional.
  4. Komponen biaya aktivitas layanan retail merupakan biaya aktivasi dan/atau biaya berlangganan.
  5. Komponen Profit margin merupakan tingkat keuntungan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.

Network Sharing Sebagai Solusi?

Disadari  bahwa saat ini masih terjadi  ketimpangan akses internet, terutama di kawasan Indonesia Timur. Selain akses internet yang terbatas di kota-kota besar, layanan telekomunikasi juga kebanyakan dikuasai operator dominan sehingga masyarakat tak punya pilihan.

Pemerintah dan badan regulasi semestinya harus cepat melakukan formula kebijakan. Salah satunya dengan mempercepat proyek Palapa Ring dan menerapkan sharing capacity (network sharing). Kedua Formula tersebut diyakini bisa menyelesaikan persoalan tarif data yang dinilai mahal oleh konsumen.

“Adalah merupakan kewajiban pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur telekomunikasi (serat optic) di luar Jawa (Palapa Ring) serta meningkatkan jumlah dan pemakaian telepon dan kecepatan pengiriman data untuk peningkatan perekonomian dan sekaligus demi ketahanan nasional,” ungkap Menkominfo Rudiantara.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi antara lain melalui proyek palapa ring dengan menggunakan Sistem Komunikasi Kabel Laut dan Serat Optik (SKKL dan SKSO) untuk menyebarkan layanan broadband di seluruh wilayah Indonesia dengan skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).

“Manfaat kebijakan ini antara lain adalah ketahanan nasional, pemerataan infrastruktur telekomunikasi, penyediaan jasa akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tersebar di seluruh wilayah indonesia. Kebijakan ini sangat tepat karena sebaran infrastruktur saat ini hanya berpusat di Jawa. Kebijakan ini tentu tidak bermanfaat maksimal apabila penggunaan infrastruktur tersebut tidak optimal (under capacity) sehingga perlu pula peningkatan jumlah telepon seluler/pintar serta penggunaannya,” jelas Chief RA, sapaan akrab Rudiantara.

Namun, dalam praktiknya, sebagian besar KPBU atas pembangunan infrastruktur telekomunikasi di luar di luar pulau jawa (80 persen) dilakukan oleh satu operator telekomunikasi. Pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai (market leader)  oleh satu operator, yakni Telkomsel (sekitar 37 persen pangsa pasar). Di bawah Telkomsel terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo (23 persen) danXL Axiata (14 persen).

Dibawah tiga operato tersebut terdapat empat operator lagi, seperti Ceria, 3 Hutchinson, Smartfren, dan Bakrie Telecom. Struktur pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli.

Struktur pasar demikian diiringi adanya keengganan untuk berbagai kapasitas (Sharing capacity) dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya.

Dalam struktur pasar yang demikian, dibutuhkan regulasi yang harus dapat mengatur persaingan usaha yang memastikan peningkatan manfaat bagi para pemangku kepentingan.

Bagi masyarakat sebagai konsumen kepentingan utamanya adalah tarif yang lebih lebih murah dan layanan yang lebih baik. Bagi pemerintah, kepentingan utamanya adalah peningkatan peran industri telekomunikasi, terutama untuk kesatuan wilayah dan perekonomian. Bagi industri telekomunikasi, kepentingan utama adalah pengaturan persaingan usaha yang sehat, efisiensi industry, mendorong inovasi dan investasi, serta peningkatan kualitas dan return usaha yang lebih baik.

Solusinya? Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53/2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan. Kedua peraturan tersebut tidak memadai lagi dengan perkembangan saat ini. Jika hal itu tidak segera dilakukan, polemic tariff data mahal akan terus berlanjut. (Icha)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

ARTIKEL TERBARU