Telko.id – Lembaga Sensor Film (LSF) nampaknya tidak setuju dengan kehadiran layanan streaming film asal Amerika Serikat, Netflix. Ada beberapa alasan mengapa layanan streaming yang usianya belum genap satu minggu di Indonesia itu diminta untuk diblokir kehadirannya di Indonesia. Ahmad Yani Basuki, Selaku ketua LSF mengungkapkan telah menyaksikan beberapa film di layanan streaming ini bersama para anggota yang lain, dan mereka mengaku sangat tidak setuju apabila layanan streaming ini tetap hadir di Indonesia.
Ahmad juga mengungkapkan, bahwa di antara film-film Netflix ada yang tidak layak tayang. “Ada yang pernah kami tolak sensornya saat akan tayang di bioskop,” tuturnya saat ditemui wartawan pada Senin (12/1).
Beberapa alasan yang mengharuskan layanan Netflix diblokir diantaranya terjadi unsur kekerasan, judi, dan penyalahgunaan narkotik. Bukan hanya itu, adegan pornografi juga kerap hadir pada beberapa Film yang disuguhkan oleh Netflix. Beberapa hal lain seperti, pertentangan suku, agama serta Ras juga sering ditonjolkan dalam conten streaming tersebut.
Sekedar informasi, Jika satu film terlalu banyak menampilkan adegan tersebut, maka LSF tak hanya akan memotong pita film melainkan menolak sensor dan otomatis mencegah penayangannya.
Ahmad juga menyebutkan, bahwa dalam Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan bahwa tiap film yang akan dipertontonkan pada khalayak harus mengantongi surat tanda sensor dari LSF. Sementara, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat itu sama sekali belum mengajukan permohonan sensor untuk film-film yang ditayangkannya.
“Tanpa memenuhi ketentuan tersebut, kami akan merekomendasikan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir layanan tersebut,” tuturnya.
Sampai dengan saat ini, Netflix juga belum mengantongi izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Layanan Streaming Netflix hadir di Indonesia pada tanggal 7 Januari lalu. Perusahaan streaming asal Amerika Serikat ini pun bertekad untuk memperluas pasar mereka dengan merambah ke beberapa negara di Asia Tenggara. Pernyataan tersebut tergambar dari pernyataan Co-Founder mereka Reed Hasting pada ajang CES 2016 beberapa waktu lalu.
Well, kita tunggu saja bagaimana tindakan dari Chief RA sebagai pemimpin di Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam menanggapi kasus ini.