Telko.id – Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika repubrik Indonesia pernah menyebutkan akan melelang frekuensi 700 Mhz tahun ini. Tapi bisa kah dilakukan?
Pasalnya, proses perencanaan lelang frekuensi 700 Mhz ini masih panjang. Masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui termasuk berkomunikasi dengan badan frekuensi dunia.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penataan Sumber Daya Kemenkominfo, Denny Setiawan dalam diskusi Seluler Business Forum, Jakarta, Senin (13/11/2023).
“Saat ini proses lelang frekuensi 700 Mhz baru masuk ke tahap konsultasi publik terkait Peraturan Menteri. Setelah PM ini jadi, Kemenkominfo masih harus menyusun PM terkait Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan melaporkan dalam sidang onferensi Komunikasi Radio Dunia,” ujar Denny menjelaskan.
Baca juga : Frekuensi 700 Mhz Siap Dilelang, Ini Rancangan Aturannya!
“Jadi, saya tidak bisa bilang kapan, saya usahakan secepatnya,” tegas Denny.
Sebelumnya, Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Penggunaan Spektrum Frekuensi 700 MHz dan 26 GHz sudah dibagikan ke publik pada Selasa (3/10/2023).
Adapun hal ini akan mengatur lima hal utama. Pertama, penetapan penggunaan pita frekuensi 700 MHz dengan rentang 703-748 MHz yang berpasangan dengan 758-803 MHz. Kemudian untuk pita frekuensi 2,6 GHz dengan rentang 24,25-25,85 GHz.
“Pengguna akan bebas untuk memilih teknologi yang akan digunakan pada kedua pita frekuensi. Kemudian, RPM tersebut juga mengatur potensi kewajiban tambahan bagi pemegang Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) pada pita frekuensi 700 MHz,” tulis siaran pers Kemenkominfo, dikutip Selasa (3/10/2023).
Namun, memang Kemenkominfo tidak menjelaskan kewajiban tambahan dalam peraturan tersebut. Lebih lanjut, akan ada kewajiban koordinasi bagi pemegang pita 26 GHz untuk memitigasi potensi harmful interference dengan prosedur yang lebih sederhana, yakni dengan sinkronisasi moda transmisi Time Division Duplex (TDD).
Terakhir, RPM akan mengatur kewajiban refarming apabila terjadi kondisi penetapan IPFR yang tidak berdampingan (non-contiguous).
Lelang 700 Mhz Tidak Jaminan 5G Moncer, Kok?
Dengan adanya lelang frekuensi 700 Mhz ini saja, 5G di Indonesia masih dipertanyakan keberadaanya. Pasalnya, frekuensi yang baru saja selesai dikosongkan dengan adanya analog switch off (ASO) menghasilkan digital dividen sebesar 112 MHz, di mana 90 MHz untuk keperluan layanan telekomunikasi, tidak cukup jika dibagi pada beberapa operato.
Pita selebar 90 Mhz ini, kalau pemenang lelang nya 1 operator, tidak masalah. “Kalau satu operator cukup, karena untuk layanan 5G membutuhkan lebar pita 100 MHz, tapi kalau dibagi-bagi, maka berpotensi bikin 5G rasa 4G,” ujar Sigit Puspito Wigati Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel pada kesempatan yang sama.
Baca juga : Tarik Ulur Pola ‘Lelang Frekuensi’ Demi Industri Telko Lebih Efektif
“Jika pun satu operator, harus diikat dengan kewajiban (gelar) 5G, kewajiban spektrum sharing, itu cukup terobosan cukup menarik. Karena spektrum sharing sejak jadi aturan itu belum terpakai kan,” tuturnya.
Sayangnya, pemerintah terlihat tidak setuju jika frekuensi 700 Mhz hanya untuk 1 operator. “Lelang akan menjadi lebih baik jika dimenangkan oleh dua operator, bukan satu ataupun tiga operator. Belajar dari Singapura, jika lelang ini dimenangkan hanya oleh satu orang operator, hal ini akan merepotkan. Hal ini dikarenakan ekspektasi yang terkadang terlalu tinggi dan sulit untuk dipenuhi operator pemenang,” sahut Denny.
Selain itu, 5G ini tidak hanya membutuhkan frekuensi di low band saja, seperti frekuensi 700 Mhz ini, tetapi juga middle band dan juga high band.
“untuk low band sudah jelas, 700 Mhz, high band juga sudah, yakni 26 Ghz, nah yang masih belum jelas ini adalah midle band,” ujar Sigit Puspito Wigati Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel pada kesempatan yang sama.
Karena sesuai dengan teknologinya, 700 Mhz ini dapat mengcover dengan jarak yang cukup luas, sedangkan high band hanya 100-200 m saja, kemampuan untuk coverage nya. Hanya cocok untuk private network saja. “Jadi untuk mendapatkan layanan 5G yang mumpuni, harus lengkap,” ujar Sigit menambahkan.
Kominfo bentuk task force
Nah persoalan lelang ini belum berhenti disitu saja. Masih ada masalah lain yakni keinginan operator tentang regulatory charge dipertimbangkan untuk dievaluasi lagi.
Pasalnya, saat ini regulatory charge saat ini sudah mencapai 12% yang selayaknya, berada di 10% agar para operator ini lebih leluasa untuk bisa memperkuat jaringannya.
Bahkan, hal ini juga sempat menjadi perhatian dari GSMA terkait tingginya harga lelang frekuensi maupun biaya tahunan frekuensi. Organisasi dunia inipun memberi masukan pada pemerintah daerah untuk mengevaluasinya.
“Beberapa hari yang lalu, Menteri Kominfo didampingi staff khusus dan Dirjen SDPPI & Dirjen PPI telah melakukan diskusi dengan seluruh management Opsel dan Optel untuk Membahas Insentif yang akan diberikan kepada Industri Telekomunikasi,” ujar Merza Fachys, Wakil Ketua Umum ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia.
Hasilnya, pada pertemuan tersebut Menkominfo telah menugaskan Dirjen SDPPI dan PPI untuk Membentuk Task Force Insentif PNBP bagi Industri Telekomunikasi.
“Saat ini masih persiapan pembentukan Tim TF yang diusulkan terdiri dari Kominfo, Opsel, Telkom, Kemenkeu, BPKP, Akademisi dan lain-lain,” sahut Merza menambahkan.
Harapannya, untuk Alokasi Spektrum baru dapat sesuai dengan rekomendasi 3gpp. Lalu, untuk Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Eksisting dapat diturunkan minimal 20% dan next flat sampai masa laku Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) berakhir.
Selain itu, operator selular yang bergabung di ATSI ini berharap Harga Reserved Price dapat lebih murah, terjangkau dan dibawah harga pasar. Dengan kesehatan industri sebagai perhatiannya.
Operator juga berharap Harga Seleksi atau lelang yang memberlakukan Up Front Fee atau Uff dapat dihapuskan. Lalu Annual Fee (AF) maksimal kurang dari 1x harga terendah. Kemudian installment 0% sampai tahun ke-3, 40% tahun ke-4 to ke-6 kemudian normal sampai tahun ke-10.
Harapan lainnya adalah adanya faktor pengurang yang diterapkan secara multi years dengan alasan semua biaya CAPEX dan OPEX ditanggung operator seluler untuk kompensasi/kewajiban tambahan.
Selain itu, diharapkan juga ada kebijakan intensif untuk industry yang sifatnya untuk penyehatan industry dan peningkatan layanan dan bukan konversi yang akan membebani.
Operator seluler juga berharap banyak pada Task Force yang dibentuk oleh Kemenkominfo agar fokus dulu pada short term untuk penyehatan Industri dan rasionalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selanjutnya, untuk seleksi 700 Mhz dan mid band, ATSI mengusulkan agar kominfo mempertimbangkan rekomendasi GSMA dan optimalisasi PP43 dan PM turunannya untuk penyehatan Industri ,meningkatkan multi plier efek dan mendukung transformasi digital ekonomi. (Icha)