Telko.id – Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan telah melakukan pertemuan dengan Bos SpaceX Elon Musk di Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Dalam pertemuan itu, Luhut menyebutkan bahwa Starlink berpotensi untuk masuk wilayah Indonesia guna membantu ketersediaan akses internet di wilayah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur telekomunikasi di daratan.
“Kami juga berdiskusi terkait ketertarikan Elon untuk bekerjasama membangun jaringan internet murah di timur Indonesia lewat satelit Starlink-nya yang populer itu,” ujar Luhut dalam postingan akun Instagram miliknya belum lama ini.
Sebenarnya, satelti Starlink yang merupakan satelit orbit bumi rendah (Low Earth Orbit/LEO) ini sudah hadir di Indonesia, berduet dengan Telkomsat, anak perusahaan TelkomGroup sejak Juni 2022.
Baca juga : Target Layanan Satelit Satria-1 Diturunkan, Ini Alasannya!
Sesuai dengan izin yang telah diberikan oleh regulator, layanan Starlink di Indonesia melalui Telkomsat diperuntukkan untuk melengkapi layanan berbasis backhaul, sehingga dapat menjembatani kesenjangan infrastruktur backhaul yang ada di Indonesia guna mendukung percepatan digitalisasi yang lebih massif.
Walau demikian, tetap saja, kehadiran dari Starlink ini membuat para operator telekomunikasi lainnya, ‘gundah gulana. Pasalnya, kehadiran satelit milik Elon Musk ini diperkirakan akan merusak bisnis telekomunikasi di Indonesia. Padahal, operator telekomunikasi lokal sudah investasi banyak.
Kekhawatiran itu sempat disampaikan oleh Dian Siswarini, CEO XL Axiata (EXCL), beberapa waktu yang lalu. “Kalau Elon Musk muncul, sudah masuk ke sini [Indonesia] dan kita tidak mendapatkan lapangan bermain yang sama. Wah, itu mungkin bisa menggusur operator seluler lokal,” ujarnya.
Dian Siswarini berharap pemerintah dapat segera merumuskan regulasi yang melindungi operator seluler dalam negeri, sehingga industri telekomunikasi dalam negeri dapat tetap berkelanjutan dan bersaing secara adil.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sukaca Purwokardjono, Chief Marketing Officer Smartfren. “Walaupun namanya teknologi tidak bisa dicegah, tetapi tetap kami operator berharap ada regulasi yang jelas dari pemerintah sehingga kami dapat berbisnis juga dengan baik,” ujarnya.
Ya, kehadiran Starlink ini memang menjadi alternative bagi ketersediaan infrastruktur internet di Indonesia. Apalagi, dengan kondisi Indonesia sebagai negara Kepulauan, tentu sangat sulit menyediakan akses internetnya.
Keberadaan satelit SATRIA-1 milik pemerintah yang masih harus proses agar dapat melayani masyarakat sendiri, tidak cukup kapasitasnya.
Satelit Satria-1 memiliki kapasitas 150Gbps yang diklaim mampu menghadirkan sinyal internet di 150.000 titik layanan publik yang katanya akan diturunkan juga menjadi 50 ribu titik. Kecepatan akses internetnya 3-4 Mbps. Dan itu, akan dipergunakan bukan untuk 1 orang, bisa jadi satu kampung atau wilayah. Pastinya, akan sengat lemot.
Kemampuan Starlink
Starlink, menggunakan teknologi yang berbeda dengan SATRIA-1. Satelit milik SpaceX yang juga dimiliki oleh Elon Musk merupakan satelit dengan umur 5 tahun, berbeda dengan SATRIA-1 yang 25 tahun.
Versi satelit V2 Starlink saat ini memiliki berat sekitar 1.760 lbs (800 kilogram) saat diluncurkan, hampir tiga kali lebih berat dari satelit generasi lama (berbobot 573 lbs atau 260 kg), menurut Spaceflight Now. Lalu, satelit ini pun mengorbit sekitar 342 mil (550 kilometer) di atas Bumi.
Dan, SapaceX pun menargetkan akan mengorbitkan 42 ribu satelit untuk melayani akses internet secara dunia. Pada Juli 2023, terdapat 4.519 satelit Starlink di orbit, 4.487 di antaranya sudah beroperasi.
Tak Boleh Layani Masyarakat Secara Langsung!
Pengamat telekomunikasi dari ITB, Ridwan Effendi, seperti dikutip dari detik, menilai seharusnya Starlink tidak boleh menyediakan akses internet langsung ke masyarakat.
“Jadi, akses tetap diberikan oleh operator seluler nasional, Starlink menyediakan backhaul misalnya, sehingga dana masyarakat terserap oleh operator nasional, negara mendapatkan pajak dari situ, masyarakat, negara, dan operator nasional jadi untung juga, bukan hanya Starlink saja yang untung,” tutur Ridwan.
“Kalau Starlink diberikan akses langsung ke masyarakat, praktis hanya Starlink saja yang untung,” ucapnya menambahkan.
Selain itu, masuknya Starlink di Indonesia juga untuk menjaga persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi. Dengan bekerjasama dengan operator seluler dalam negeri, maka akan saling menguntungkan sama lain.
“Jika mereka diberikan izin untuk memberikan layanan internet langsung kepada pengguna di Indonesia, kita tidak akan dapat apa-apa untuk negara seperti pajak atau yang lainnya,” ungkap mantan Komisioner BRTI ini. (Icha)