Telko.id – Bayangkan, suatu hari Anda tidak bisa lagi melakukan panggilan suara atau video melalui WhatsApp. Hanya teks yang bisa dikirim.
Itulah skenario yang mungkin terjadi jika rencana pemerintah untuk membatasi layanan dasar telekomunikasi di aplikasi seperti WhatsApp, Skype, dan Facetime benar-benar diterapkan.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mempertimbangkan aturan baru yang akan membatasi layanan panggilan berbasis Voice over Internet Protocol (VoIP).
Langkah ini bukan tanpa alasan. Denny Setiawan, Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, menyebut Uni Emirat Arab sebagai contoh negara yang sudah menerapkan kebijakan serupa. Di sana, layanan teks WhatsApp tetap berjalan, tetapi panggilan suara dan video diblokir.
Lantas, mengapa pemerintah ingin membatasi layanan yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari jutaan orang ini?
Jawabannya terletak pada ketidakseimbangan kontribusi antara operator seluler dan penyedia layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp dan Instagram.
Mengapa WhatsApp Call dan Video Call Jadi Sorotan?
Denny Setiawan menjelaskan bahwa operator seluler telah mengeluarkan biaya besar untuk membangun infrastruktur telekomunikasi.
Namun, penyedia layanan OTT seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook tidak berkontribusi secara finansial, meski menikmati keuntungan dari meningkatnya penggunaan internet.
“Sekarang kan nggak ada kontribusi dari teman-teman OTT itu, berdarah-darah yang bangun investasi itu operator seluler,” ujarnya.
ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia) juga mendukung langkah ini. Marwan O. Baasir, Direktur Eksekutif ATSI, mengatakan bahwa regulasi terhadap OTT diperlukan karena bisnis model mereka harus disesuaikan. “Dulu itu nyaris diwajibkan, sekarang kita dukung (aturan OTT),” ungkapnya.
Baca Juga:
Bagaimana Nasib Pengguna WhatsApp?
Meski rencana ini masih dalam tahap wacana, dampaknya bisa sangat luas. WhatsApp, yang selama ini menjadi andalan untuk komunikasi murah, mungkin tidak lagi bisa digunakan untuk panggilan suara atau video.
Namun, Denny menegaskan bahwa pemerintah akan mencari jalan tengah agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi. “Kita cari jalan tengah, bagaimana (memenuhi) layanan masyarakat, tetap butuh kan WA ini,” jelasnya.
Jika aturan ini benar-benar diterapkan, pengguna mungkin harus kembali mengandalkan layanan telepon tradisional atau beralih ke aplikasi lain yang belum terkena pembatasan.
Namun, seperti yang terjadi saat pembatasan akses WhatsApp selama demo 22 Mei, kebijakan ini bisa menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Selain itu, regulasi ini juga bisa memengaruhi penyebaran informasi. Seperti yang pernah dilakukan WhatsApp dengan membatasi fitur berbagi pesan untuk mengurangi hoax, pembatasan panggilan bisa berdampak pada cara orang berkomunikasi.
Proses Panjang Menuju Regulasi
Denny menegaskan bahwa rencana ini masih dalam tahap awal dan memerlukan diskusi panjang dengan berbagai pihak. “Masih wacana, masih diskusi,” ujarnya. Artinya, belum ada kepastian kapan atau apakah kebijakan ini benar-benar akan diterapkan.
Jika melihat pengalaman sebelumnya, seperti pembatasan akses WhatsApp dan Facebook di masa lalu, kebijakan semacam ini bisa berubah tergantung pada respons publik dan pertimbangan ekonomi.
Yang jelas, rencana ini membuka diskusi tentang bagaimana seharusnya pembagian keuntungan dalam ekosistem digital.
Di satu sisi, operator seluler merasa dirugikan karena harus menanggung biaya infrastruktur. Di sisi lain, pengguna mengandalkan layanan OTT untuk komunikasi yang terjangkau.
Apakah Indonesia akan mengikuti jejak Uni Emirat Arab? Ataukah akan ditemukan solusi lain yang lebih adil bagi semua pihak? Jawabannya masih harus menunggu hasil diskusi dan kajian lebih lanjut. (Icha)