Telko.id – Dari tahun ke tahun, operator telekomunikasi mendapatkan ijin frekuensi selalu melalui lelang. Namun, itu dalam kondisi operator yang ada di Indonesia masih banyak.
Dengan akan adanya merger XL Axiata dan Smartfren, menurut Merza Fachys, yang sekarang masih menjabat President Director SmartfrenPT Smartfren Telecom dan nanti nya diusulkan menjabat sebagai Director & Chief Regulatory Officer pada perusahaan hasil merger XLSmart menyebutkan lelang frekuensi itu sudah tidak diperlukan.
“Kan nanti jumlah operator nya sudah tinggal 3, jadi lelang frekuensi harus nya sudah tidak dilakukan lagi oleh pemerintah. Pemerintah tinggal lihat saja, program yang diajukan oleh masing-masing operator dalam penggunaan frekuensi tersebut. Apakah sudah sesuai dengan tujuan Asta Cita. Lalu frekuensi dibagi-bagi.,” ujar Merza menjelaskan.
Pasalnya, jika terus melakukan lelang, maka hanya operator yang punya uang saja yang akan mendapatkan frekuensi. Karena lelang itu prinsipnya adalah besar-besar an bayar frekuensi.
Baca juga : Lelang Frekuensi 700 Mhz dan 26 GHz, Tunggu Apa Lagi?
Merza menjelaskan lebih lanjut, misalkan frekuensi frekuesi 700 MHz yang saat ini terdapat pita frekuensi selebar 112 MHz, dari jumlah tersebut yang akan dilelang untuk seluler sebesar 90 MHz.
Jika operator memiliki rencana lebih bagus bisa diberikan lebih besar, misalkan 40 Mhz. Lalu sisa nya dibagi pada operator lainnya.
Jika pemerintah tetap melakukan lelang frekuensi maka beban operator tidak akan berkurang, padahal, saat ini operator itu ibaratnya hanya sebuah jalan tol, dan yang melewati banyak OTT yang sama sekali tidak dikenakan biaya apapun.
Sedangkan operator harus tetap bangun jaringan dan harus memastikan layanan yang diberikan pada para pelanggannya bagus. Dan setiap tahun nya harus membayar BHP atau Biaya Hak Penggunaan frekuensi. Belum lagi Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi (BHP) sebesar 0,5% dari pendapatan kotor perusahaan telekomunikasi.
Selain BHP, ada juga Universal Service Obligation (USO) yang juga merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh penyelenggara telekomunikasi. USO ini harus dibayarkan operator pada pemerintah 1,25% dari pendapatan kotor operator.
Total biaya BHP yang harus dibayarkan perusahaan operator seluler bisa mencapai 12% dari total pendapatan dan diramal terus meningkat 20% pada 2030.
Padahal, di sisi lain peningkatan pendapatan mereka juga cenderung mengalami penurunan.
Oleh karena itu, dalam sebuah diskusi, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pemerintah harus mencari strategi baru untuk mendapatkan pengganti dari BHP ini yang akan menurun.
Heru pun menyarakankan pemerintah untuk mulai meregulasi platform over the top (OTT) dengan cara membebankan sejumlah biaya pada mereka.
“Banyak negara bisa kok mengambil pajak dari OTT. Pajaknya bukan PPN saja, karena PPN kan masyarakat yang bayar. Namun, ada juga pajak penghasilan mereka yang utama, kemudian PPH 21 dan PPH 23,” ujar Heru.
Sayangnya, pemerintah masih punya ‘ide’ untuk memberikan ijin frekuensi ke operator selain melalui lelang.
Bahkan sudah berganti nama dari Kementerian Komunikasi dan Informasi menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital, lalu Dirjen nya pun sudah berganti, lelang ini masih opsi satu-satunya yang akan dilakukan.
Dirjen Infrastruktur Digital Komdigi Wayan Toni Supriyanto memastikan lelang frekuensi akan dilakukan dalam waktu dekat. Namun masih harus berkoordinasi dulu dengan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Keuangan, BPKP dan lainnya untuk melihat harga dasarnya.
“Mudah-mudahan tahun ini kan Januari ya. Nanti baru prosesnya sesuai dengan ketentuan, mungkin kami lakukan lelangan pengadilan frekuensi.” ujar Wayan menjelaskan.
Wacana soal lelang frekuensi 5G di Indonesia sudah direncanakan sejak tahun lalu. Lelang frekuensi direncanakan akan dilakukan bersamaan tiga frekuensi yaitu 700 MHz, 2,6 GHz, dan 26 GHz. Ini dilakukan karena adanya permintaan dari para operator. (Icha)