spot_img
Latest Phone

OpenAI Siapkan Browser dengan AI, Saingan Google Chrome

Telko.id - OpenAI sebagai induk perusahaan dari ChatGPT sedang...

TECNO Luncurkan POVA 7 Series, Desain Futuristik dan Performa Gaming AI

Telko.id - TECNO resmi meluncurkan POVA 7 Series di...

Google Akhirnya Gabungkan Android dan ChromeOS, Apa Kelebihannya?

Telko.id - Google secara resmi mengonfirmasi rencana besar mereka...

Garmin Venu X1 Resmi Dirilis: Smartwatch Teringan dengan Layar 2 Inci

Telko.id - Garmin Indonesia secara resmi meluncurkan Venu X1,...

OPPO Reno14 Pro Berbekal MediaTek Dimensity 8450, Performa Lebih Cepat

Telko.id - OPPO resmi memperkenalkan Reno14 Pro sebagai smartphone...

ARTIKEL TERKAIT

ATSI Kirim Surat ke Presiden Prabowo Minta Turunkan Biaya Regulasi

Telko.id – Industri telekomunikasi tidak sedang baik-baik saja. Terbukti, Asosiasi Penyelenggaraan Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) kembali mengirim kan surat ke Presiden. Jika dulu ke Presiden Joko Widodo, kali ini melayangkan surat untuk Presiden Prabowo.

Langkah ini dilakukan bersama APJII, Apjatel, dan Askalsi yang isi suratnya merupakan sebuah permohonan khusus untuk meminta peninjauan ulang beban biaya regulasi yang mencapai lebih dari 12% dari pendapatan operator.

Ketika era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, pelaku industri telah mengirimkan surat serupa tanpa respon memadai. Kini, di bawah kepemimpinan baru, mereka kembali bersuara lantang.

“Industri telekomunikasi sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Presiden sendiri ingin membangun pendidikan digital, tapi bagaimana mungkin tercapai jika industrinya terjepit?” tegas Marwan O. Baasir, Direktur Eksekutif ATSI saat ditemui Telko.id.

Biaya regulasi yang dimaksud mencakup BHP frekuensi dan kontribusi USO 1,25%—dua komponen yang dinilai terlalu berat di tengah gempuran layanan OTT (seperti Netflix atau Zoom) yang tak terbebani aturan serupa.

Padahal, menurut standar GSMA (asosiasi operator global), batas wajar biaya regulasi seharusnya di bawah 10%.

Dilema Regulasi vs Inovasi Digital

Persoalan ini ibarat lingkaran setan. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan pendapatan dari sektor telekomunikasi untuk membangun infrastruktur. Di sisi lain, beban tinggi justru menghambat operator berinovasi atau menurunkan harga layanan.

“Kami ingin industri yang sehat dan kuat, tapi prinsip perpajakan harus dipertimbangkan ulang,” tambah Marwan.

Faktanya, tantangan tak hanya datang dari dalam negeri. Pelaku industri dalam Selular Award 2025 mengungkap, gempuran teknologi AI dan layanan digital asing semakin mempersempit margin keuntungan operator lokal.

Tanpa kebijakan yang mendukung industri telekomunikasi, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan daya saing di kancah global.

Harapan di Era Prabowo-Gibran

Surat tersebut bukan sekadar protes, melainkan warning keras dari industri telekomunikasi. Jika tak ada perubahan kebijakan, bisa dipastikan harga layanan telekomunikasi—termasuk paket data—akan semakin mahal.

Padahal, seperti diungkapkan dalam trend industri telco 2023, kebutuhan masyarakat akan konektivitas justru meningkat eksponensial pasca-pandemi.

Pertanyaannya kini: akankah Prabowo mendengarkan keluhan ini? Atau Indonesia akan terus terjebak dalam paradigma lama yang memandang telekomunikasi sebagai “sapi perah” ketimbang tulang punggung transformasi digital?.

Satu hal yang pasti: tanpa langkah nyata, mimpi pendidikan digital dan pemerataan internet cepat hanyalah utopia. Dan masyarakat—termasuk Anda—yang akan menanggung konsekuensinya melalui tagihan yang semakin membengkak. (Icha)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

ARTIKEL TERBARU