Telko.id – Untuk dunia mobile, Qualcomm memang jago nya. Dulu jaman CDMA, Qualcomm menjadi raja, karena semua handphone pasti menggunakan chipset keluaran produsen asal Amerika ini. Ketika trend teknologi bergeser, apakah Qualcomm tetap ‘perkasa’ dan bagaimana produsen ini melakukan adaptasi dengan teknologi terkini?
Jika menilik dari evolusi teknologi sendiri, Qualcomm selalu menjadi leader di mobile techonology. Pada awal memang fokus di CDMA atau Code division multiple access, yang kemudian Qualcomm menyebutnya dengan Qualcomm CDMA Technology. Setelah itu akan berevolusi ke WCDMA lalu ke 4G. Bahkan sekarang sudah masuk ke 5G techonology. Secara keseluruhan, semua itu masuk dalam katagori Mobile Technology. Qualcomm menjadi pemegang paten dari banyak teknologi dan mobile tehonology yang ada dan yang akan datang.
Sekarang, mobile technology ini banyak memperngaruhi teknologi dari industri lain. Mobile Technology jadi basic. Lihat saja, saat ini sudah masuk ke IoT atau Internet of Things yang masuk ke industri otomotif, smart home, smart city dan lainnya. Semuanya menggunakan mobile technology. Contoh drone, memang ini bentuknya sebuah kapal kecil, tapi jangan salah, di dalamnya menggunakan chipset Qualcomm, sehingga banyak melakukan berbagai kemampuan.
“Jadi, bisnis Qualcomm tidak hanya bergerak di smartphone saja, sudah merambah ke berbagai bidang lain, dengan teknologi dasarnya adalah mobile technology tersebut,” ujar Shannedy Ong, Country Director Qualcomm Indonesia menjelaskan.
Terlebih, ketika IoT itu sudah mulai mengalami pertumbuhan yang signifikan, maka bisnis mobile technology ini akan menjadi sangat besar sekali. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa tahun 2020 nanti akan ada 20 miliar device yang terkoneksi. Bayangkan, berapa besar bisnis Qualcomm pada tahun 2020 nanti.
“Pada era IoT itu, bukan hanya people connected to people, tetapi people connected to device dan device to device,” ujar Shannedy menggambarkan betapa besar pasar saat era IoT nantinya.Saat ini saja, sudah mulai terjadi konektifitas antara people dan ‘things’ dan konektifitas dengan device. Jadi, semuanya sudah mulai berubah dan nantinya akan menjadi life style dan akan mengubah cara berinteraksi juga. Itu sebabnya, saat itu disebut dengan beyond the people. Bukan lagi connected the people.
Tak heran, Shannedy memperkirakan bahwa Qualcomm akan tetap menjadi pemain utama di ekosistem yang baru tersebut karena basic dari era IoT itu nantinya adalah mobile technology.
Untuk di Indonesia sendiri, IoT ini memang sudah mulai terlihat. Hanya saja, masih belum saling terhubung semua. Dan, boleh dibilang masih sedikit sekali. Perkembangannya juga belum terlalu terasa. Tapi dari pandangan Qualcomm sendiri, perkembangan dari IoT sendiri diluar dugaan. “Misalnya, salah satu operator beberapa waktu lalu sudah mengundang corporate costumer nya yang bergerak dibidang perbankan, logistik, utilities atau energi seperti Perusahaan Gas Negara dan Perusahaan Listrik Negara dan lainnya yang berhubungan dengan infrastruktur juga. Yang semuanya menggunakan networknya dari pihak operator. Di sisi lain, operator saat ini sedang melakukan migrasi dari 2G ke 4G atau dari 3G ke 4G. Migrasi ini, sudah tentu mempengaruhi services yang diberikan operator pada corporate costumer nya,” ujar Shannedy menjelaskan.
Artinya, bisnis operator pun akan berubah. Tidak hanya melayani people, tetapi juga machine to machine. Di mana, corporate costumer operator itu gunakan. Sebagai contoh adalah POS atau point of sales yang sudah pasti akan menggunakan teknologi IoT ke depannya karena akan membuat effisiensi semakin tinggi.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi operator karena harus mengedukasi para costumer nya untuk ikut migrasi. Untuk saat ini, memang masih belum terasa effisiensinya, tapi ke depan, akan lebih berdampak pada perusahaan yang menggunakan. Bagi Qualcomm, hal ini menjadi pasar yang sangat menggiurkan karena perusahaan asal Amerika ini memiliki solusinya. Selain itu juga untuk energi, Gas, dan lainnya.
Untuk PLN misalnya, Shannedy menjelaskan bahwa monitoring akan sangat mudah dilakukan oleh perusahaan listrik tersebut. Termasuk juga melakukan analisa yang dibutuhkan.
Qualcomm sendiri merasa tidak perlu banyak melakukan perubahan dari sisi bisnis nya untuk menyambut era IoT ini. Pasalnya, Qualcomm sudah memiliki segmentasi produk yang sudah memenuhi kebutuhan tersebut. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan para konsumennya.
“Qualcomm memiliki produk dari enty level, mid segmen, high segmen hingga yang premium. Jadi untuk device yang affordable, cukup menggunakan yan entry level. Bahkan, semuanya sudah 4G enable karena sekarang ini sudah waktu nya 4G. Jadi chipset untuk IoT pun sudah 4G. Apalagi, teknologi 4G and beyond ini sangat effisien dalam pengiriman data. Ditambah, life cycle nya juga masih sangat panjang. Hanya saja, untuk IoT, 4G Qualcomm masih di level Cat1. Kalau yang di smartphone sudah Cat4,” ujar Shannedy.
Alasan ada perbedaan di chipset untuk IoT dan smartphone adalah di IoT tidak membutuhkan data trasmited yang besar. Sehingga level Cat1 saja sudah cukup. Jika dikasih yang besar menjadi percuma. Dengan demikian, produk Qualcomm pun akan menjadi cost effisien. Ditambah lagi, chipset untuk IoT jauh lebih sederhana atau simple dibandingkan dengan untuk smartphone. Di mana smartphone merupakan device yang cukup complicated karena ada layar, CPU dan lainnnya.
Sedangkan IoT hanya untuk komunikasi data saja. Baik untuk sinkronise atau transmited saja. Itu sebabnya, baterai pun menjadi lebih awet, bisa mencapai puluhan tahun.
Kondisi yang ada ini menjadikan bisnis Qualcomm juga turut berubah. Di mana, dalam produksi, chipset 2G sudah sangat turun tajam, demikian juga dengan 3G. Sedangkan untuk 4G tumbuh sangat eksponansial.
Berdasarkan data GFK, data Januari 2015 lalu saja peneterasi 4G baru 15% tapi di Maret 2016 penetrasinya sudah lebih dari 45% mendekati 50%. Itu angka untuk sell out dari smartphone. Artinya, pertumbuhannya sangat luar biasa. Hal ini juga mencerminkan bisnis Qualcomm juga karena saat ini, Qualcomm masih pemain utama di industri ini.
Apalagi, chipset Qualcomm sudah multi mode. Di mana, chipset Qualcomm sudah mendukung 4G dan teknologi di bawah nya. Termasuk juga untuk chipset IoT. Terlebih, network dari operator masih belum semuanya 4G. Rata-rata 4G masih di kota besar saja. Sedangkan di kota kecil masih belum. Jadi kalau berada di jaringan bukan 4G, tetap bisa komunikasi karena akan di refer ke 3G.
Qualcomm dan Para Pesaingnya
Tidak dapat dipungkiri, nama Mediatek cukup mengganggu bisnis dari Qualcomm. Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan oleh produsen dari Cina ini cukup agresif dan cepat. Ditambah lagi, harga dari produsen ini boleh dibilang miring. Sehingga, produk keluarannya cukup banyak dilirik oleh para produsen smartphone. Ditambah lagi, para merek global seperti Samsung dan Huawei juga memproduksi chipset sendiri.
Namun, Qualcomm tetap percaya bahwa sampai saat ini masih menguasai mobile technology. Shannedy mengaku bahwa Qualcomm saat ini sudah menguasai teknologi generasi ke 4 bahkan ke 5. Sedangkan kompetitornya masih menguasai generasi ke dua. Jadi, gap yang terjadi masih besar dan cukup sulit untuk mengejarnya.
“Apalagi, Qualcomm melakukan investasi di bidang reseach and development setiap tahunnya mencapai jutaan US dolar plus-plus,” ujar Shannedy. Bahkan, berdasarkan informasi dari Qualcomm pusat, dari tahun 1985, Qualcomm sudah mengeluarkan $31 miliar untuk Riset dan Pengembangan. Angka yang besar sekali. Dan, R&D ini terus menerus dilakukan secara kesinambungan sehingga akan sulit bagi para pesaing Qualcomm untuk sejajar, atau bahkan melewatinya.
Dengan intensitas R&D yang dilakukan maka dengan cepat Qualcomm dapat memberikan chipset yang terdepan di mobile technology ini. Dan ini akan mempengaruhi pengalaman bagi para usernya. Misalnya, untuk Cat4 thorughput yang dapat dilakukan 150 Mbps, Cat5 bisa mencapai 300 Mbps dan Cat12 bisa mencapai 600 Mbps. Jadi user experience pun akan sangat berbeda.
Hal ini juga yang ingin diedukasi pada konsumen. Di mana internet lelet itu bukan semuanya kesalahan pada operator. Modem yang ada di smartphone juga berpengaruh. Dengan modem yang menggunakan level Cat yang lebih tinggi pasti akan menghasilkan throughput yang lebih baik dan cepat ketimbang level rendah. Terlebih, modem device akan selalu berkomunikasi dengan BTS operator.
Untuk meluruskan persepsi tersebut, Qualcomm juga akan melakukan edukasi juga ke operator. Pasalnya, konsumen dari Qualcomm adalah perusahaan bukan konsumen secara langsung. Qualcomm akan memberikan gambaran atau ujicoba langsungb jika menggunakan chipset Qualcomm dan tidak. Akan jelas terlihat bahwa perfomance berbeda. Selanjutnya, dapat melakukan edukasi ke user secara bersama-sama. Apalagi, operator membutuhkan dukungan juga agar migrasi dari 2G ke 4G ini berjalan mulus.
Saat ini, chipset Qualcomm sudah digunakan oleh 140 lebih perusahaan OEM di seluruh dunia. Untuk yang high end dan premium, Qualcomm masih menjadi pemain utama. Sedangkan untuk entry level dan mid masih kombinasi dengan merek-merek lainnya. Kompetitor terbesar saat ini masih Mediatek. Walaupun sekarang bermunculan juga merek lain seperti Spektrum untuk entry level.
Produsen chipset ini akan berkembang jika memang economic of scale nya tercapai. Jika tidak maka akan sulit untuk maju. Untuk Samsung misalnya, economic of scale nya masuk karena setiap tahun saja, berapa juta smartphone yang diproduksinya. Sehingga dapat menentukan berapa besar investasi yang ditanamkan untuk R&D, sampai menentukan funding of OPEX nya.
Hal ini akan sulit dilakukan oleh produsen chipset yang bermain dengan volume kecil atau menengah karena untuk membuat chipset itu harus berpacu dengan technology evolution. Jadi R&D nya setiap tahun harus menciptakan teknologi baru, jika tidak maka akan sulit untuk berkompetisi.
“Kondisi ini membuat lanskap bisnis di industri chipset ini sudah berbeda dari 5 tahun lalu karena banyak bermunculan merek-merek baru. Tapi di sisi lain, akan mungkin juga terjadi konsolidasi atau bahkan keluar dari bisnis mobile. Itulah pasar. Jika terlalu banyak merek juga nanti akan terjadi persaingan yang tidak sehat,” sahut Shannedy.
Sumbangan bisnis chipset Qualcomm sendiri chipset masih cukup besar dibandingkan dengan bisnis Qualcomm Lisenced. Perbandingkannya, 70% untuk chipset dan 30% untuk Qualcomm Lisenced.
Trend Downgrade 4G ke 3G oleh Vendor
Di pasar, saat ini banyak vendor yang coba mengakali aturan pemerintah tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri khusus untuk smartphone 4G. Di mana, menurut aturan harus mencapai 30% di tahun 2017 mendatang. Tapi saat ini, mulai banyak yang mengakali dengan mematikan layanan 4G nya sehingga smarthphone dijual dengan kondisi 3G. Namun, dengan sangat mudah dapat diaktifkan lagi. Apalagi, ada petunjuk nya untuk mengakifkan.
Menurut Shannedy, hal ini memang sangat mudah dilakukan. Tergantung dari OEM atau Original Equipment Manufacturer mendesain produknya karena chispet dari Qualcomm memang sudah multi mode. Jadi downgrade tersebut bisa saja dilakukan. “Secara hardware maupun Software juga dapat didesain sedemikian rupa dan OEM ini memiliki cara sendiri. Tidak perlu ada campur tangan dari Qualcomm,” ujar Shannedy menjelaskan. Shannedy menambahkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh OEM ini sangat disayangkan karena teknologi yang ada di chipset tidak maksimal digunakan.
Langkah OEM tersebut, di nilai oleh Shannedy juga dapat dilihat sebagai keseriusan dari OEM berbisnis di Indonesia. Jika ingin berbisnis di Indonesia, sudah tentu harus memenuhi aturan yang berlaku. Untuk itu, dapat saja bekerja sama dengan lokal manufaktur, sehingga aturan yang ada bisa dipenuhi. Apalagi, jika dilihat OEM lain, bisa melakukannya.
Dari pihak Qualcomm sendiri melihat bahwa apapun aturan yang diterapkan oleh pemerintah akan didukung dan berharap masalah TKDN ini dapat berjalan smooth. Bahkan dari pihak Qualcomm berencana untuk
TKIDN ini ada 2 komponen yakni hardware dan software. Sayang, yang banyak dibicarakan adalah software application. Padahal yang lebih penting adalah software developmentnya atau brain ware nya. Sama seperti smartphone canggih kalau tidak punya operating system menjadi bukan apa-apa. Nah, di chipset, perlu adanya akses ke brainware atau software develompent nya Qualcomm.
Untuk itu, Qualcomm akan melakukan approach ke produsen smartphone lokal atau ODM (Original Design Manufacturer) sehingga dapat mengakses software developmentnya Qualcomm. Jika sudah ada kerjasama, maka produsen smartphone lokal bisa mengakses source code, kernel dan lainnya, dan dapat melakukan pengembangan yang sesuai dengan Indonesia. “Hal ini menurut kami sangat penting karena brainware nya adalah di software develoment itu,” tutur Shannedy.
Jika para ODM di Indonesia sudah kerjasama langsung dengan Qualcomm maka mobile industri di Indonesia pun akan tumbuh lebih pesat lagi. Apalagi, Qualcomm memiliki hampir semua paten di mobile technology. “Inilah langkah dari Qualcomm untuk membantu tumbuh kembang industri mobile di Indonesia. Terlebih untuk masalah TKDN. Jadi kalau mau diaplikasikan tahun depan TKDN 30%, sangat bisa,” Shannedy.
Sumber daya manusia di Indonesia pun sudah bisa melakukannya. Jadi, tidak membutuhkan SDM dari luar negeri. Dan, yang dilakukan bukan sekedar user interface saja, tetapi bisa lebih dalam lagi karena punya source code dan bisa masuk sampai kernel.
“Hal ini akan mengubah lanskap industri mobile di Indonesia. Secara SDM sudah banyak tersedia, tapi untuk akses ke teknologinya Qualcomm, ini harus melakukan sign out sebagai direct lisence nya Qualcomm,” ujar Shannedy menjelaskan. Dengan demikian bisa mengakses keseluruh teknologi milik Qualcomm.
Shannedy juga menambahkan bahwa persepsi bahwa software itu adalah application itu salah menurut Shannedy. Semua orang bisa mendevelop application. Itu hanya merupakan salah satu dari ekosistem saja. Applikasi itu bisa masuk jika hardware dan software development nya sudah ada. Bahkan, tanpa didorong pun, atau di trigger pun aplikasi akan masuk. Tapi, untuk mobile industri ini growth yang dibutuhkan adalah hardware dan software developmen itu.
Untuk merek global, memang sudah memiliki direct lisence tapi kalau mau memenuhi TKDN, tetap saja harus memiliki SDM lokal karena TKDN itu, di develop di lokal dengan menggunakan SDM lokal.
Masalah TKDN ini masih membingungkan. Pasalnya, dari 30% TKDN, yang 80% adalah software apps dan 20% adalah hardware atau bahkan software apps 100%. Sedangkan untuk software development masuk dalam hardsware. Qualcomm menyarankan agar software development ini menjadi variable tersendiri agar tidak membingungkan. Apalagi, potensi software development ini untuk menumbuh kembangkan mobile industri di Indonesia sangat besar. “Jadi, kita harus membawa lokal-lokal ODM ini untuk mendevelop user interface diatas OS, seperti Android atau iOS agar industri mobile di Indonesia pun berkembang. Para lokal ODM ini akan sangat memungkinkan membuat UI sendiri yang disesuaikan dengan lokal taste,” tutur Shannedy.
Menurut Shannedy, langkah ini harus didorong juga oleh pemerintah sehingga ODM mau melakukannya. Jika hal ini bisa dilakukan maka pengembangan ke depan akan sangat banyak sekali. Lokal ODM tingga menyediakan lokal enginering. Dan, hal ini tidak akan sulit karena sebenarnya sudah banyak lokal enginering yang bisa melakukannya.
Pasar di Indonesia Sangat Sexy
Pasar Indonesia memang sangat besar dan potensial marketnya masih sangat banyak. Bahkan terbesar di south east Asia. Jadi wajar jika banyak ODM dan OEM dari Cina yang tertarik untuk berbisnis di Indonesia. Dan sudah tentu, hal ini juga menjadi pasar yang baik bagi Qualcomm.
“Walaupun untuk masuk ke Indonesia ini cukup sulit. Perlu investasi besar. Ditambah lagi, persaingannya sangat ketat dan complicated,” ujar Shannedy menilai. Di tambah sekarang ini banyak barang OEM yang masuk ke Indonesia.
TKDN adalah menjadi faktor kunci untuk ‘mengerem’ masuknya OEM Cina ke Indonesia. “Jika tidak, pasar Indonesia akan habis di lahap oleh OEM Cina,” ujar Shannedy menambahkan.
Apalagi, di Indonesia, masalah black market masih menjadi isu yang belum bisa dituntaskan oleh pemerintah. Dan, jika pemerintah serius dengan masalah TKDN maka black market ini harus di ‘babat’ habis. Jika tidak maka akan banyak para pemain yang serius akan ‘marah’ karena sudah melakukan investasi jutaan dolar tetapi pararel import masih terjadi.
Dari sisi harga sudah tentu akan kalah karena tidak masuk dengan channel yang legal. Lalu, buat apa mendukung program pemerintah kalau ‘lobang’ ini masih terbuka lebar. ‘Lobang’ ini, sekarang malah terbuka lebar karena adanya e-commerce. Coba saja lihat dari harga yang ditawarkan. Sangat luar biasa lebih murah ketimbang produk yang masuk secara legal.
“Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah sinkronisasi antar departemen. Jadi, program yang dicanangkan oleh pemerintah juga bisa berjalan lancar. Mana bagian Departemen Perdagangan, mana bagian Departemen Perindustrian, mana juga bagian Departemen Komunikasi dan Informatika,” ujar Shannedy memberi masukan. (Icha)