Telko.id – Terhitung sejak 1 April 2016, PT XL Axiata Tbk (XL) telah memperbesar alokasi penggunaan frekuensi 1800MHz dari semula 10MHz menjadi 15Mhz. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kualitas layanan demi kenyamanan pelanggan di jaringan 4G LTE.
Langkah ini, seperti diutarakan Direktur/Chief Services Management XL, Yessie D. Yosetya, merupakan kali pertama dilakukan oleh operator, dan XL adalah pelopornya.
“Ini merupakan bagian dari roadmaps evolusi 4G LTE XL untuk menyediakan layanan 4G LTE yang superior di kota-kota yang kami nilai membutuhkan peningkatan kualitas segera. Selain itu, tentu saja kami ingin memanfaatkan spektrum 1800 MHz secara lebih efektif dan efisien,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (29/4).
Yessie menambahkan, secara teknis apa yang dilakukan XL dalam proyek ini adalah melakukan refarming frekuensi 1800 MHz dari 2G ke LTE, di mana sebelumnya menggunakan lebar pita 10 MHz menjadi 15 MHz untuk 4G LTE di BTS 4G Makro.
Dengan tambahan lebar pita 4G LTE ini akan menambah kapasitas dan kecepatan layanan 4G LTE, yang pada akhirnya akan berdampak positif bagi pelanggan. Kecepatan maksimum di BTS level akan naik dari 75 Mbps menjadi 100 Mbps.
Saat ini, penggunaan pita 15Mhz untuk internet 4G LTE baru dilakukan di 4 kota, yaitu Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Pemilihan ini didasarkan pada kebutuhan di keempat kota tersebut terhadap layanan 4G LTE. Ke depannya, XL telah menyusun rencana pengembangan yang di dalamnya telah mempertimbangkan potensi dan kebutuhan pelanggan di kota-kota lainnya.
Langkah refarming ini juga memungkinkan untuk dilakukan karena antara lain kondisi di mana penetrasi penggunaan smartphone 4G yang tinggi, yang sekaligus mengurangi tingkat penggunaan spektrum 1800 MHz untuk GSM. Karena itu sangat memungkinkan jika kemudian dilakukan refarming 15 MHz untuk layanan LTE, tanpa mengurangi kualitas layanan untuk GSM.
Saat ini, layanan 4G LTE XL telah melayani pelanggan di 58 kota, yang didukung dengan lebih dari 3 ribu BTS 4G. XL menargetkan, hingga akhir tahun 2016, setidaknya 85 kota/area akan terlayani layanan 4G LTE.
Telko.id – F5 Networks mengungkapkan gagasannya untuk menjamin programabilitas dalam penerapan NFV, khususnya yang kini semakin ramai dilakukan operator telekomunikasi di seluruh dunia. NFV semakin ramai diujicobakan oleh operator telekomunikasi karena mampu membantu mereka dalam meraih fleksibilitas kapasitas, memungkinkan prediktabilitas CAPEX, serta mewujudkan penerapan aplikasi dan layanan secara cepat dan fleksibel.
Persaingan dan perubahan yang amat cepat dari offline ke digital membuat operator telekomunikasi harus tetap relevan, meraih efisiensi operasional dan kelincahan layanan, serta terpenting, terus meraih pendapatan di era digital yang baru. Mereka tentu memahami bahwa era NFV ini akan membawa berbagai manfaat seperti pengurangan CAPEX dan OPEX. Namun, manfaat yang lebih menggiurkan bagi penyedia layanan saat ini adalah yang berhubungan dengan penerapan jaringan yang fleksibel, mudah diprogram, serta lincah.
Berdasarkan data dari IDC, Asia Pasifik – termasuk Indonesia – diperkirakan akan menjadi salah satu wilayah utama yang akan menyambut pengadopsian NFV dalam tahun-tahun mendatang. Hampir dua per tiga (64%) operator di 14 pasar dalam wilayah tersebut kini tengah memasuki fase penerapan NFV ke dalam infrastruktur jaringan mereka.
Akan tetapi, para operator telekomunikasi masih terganjal dengan tantangan untuk mengorkestrasi teknologi untuk NFV, yakni dalam mengintegrasikan infrastruktur yang telah ada sebelumnya dengan NFV, serta dalam mendesain ulang proses operasi dengan mengadopsi pengaturan standar yang telah ditetapkan oleh ETSI/NFV-ISG. Meskipun pengaturan tersebut telah menjelaskan perihal Pengaturan dan Orkestrasi dengan gamblang, masih belum ada satu solusi yang mampu menjawab semua tantangan dalam menentukan langkah yang paling efisien untuk mengelola rantai layanan.
Kendati orkestrasi pada NFV telah dipadukan masih ada beberapa pertimbangan utama dalam hal meraih programabilitas di era NFV.
Manfaat dari Ekosistem Hybrid
Para operator telekomunikasi memanfaatkan NFV untuk menjelajahi berbagai kesempatan bisnis dalam menggerakkan infrastruktur cloud, sambil di saat bersamaan menjaga operasional on-premise tetap berjalan dengan lancar. Akan tetapi, masih banyak operator yang terjebak dalam infrastruktur yang telah ada sebelumnya. Mengapa?
Sebab, para operator tersebut harus tetap melayani pelanggan dengan layanan voice, data, dan multimedia. Akan tetapi di balik itu semua, operator sedang menghadapi tantangan yang amat pelik yakni keinginan untuk mengintegrasikan infrastruktur virtualisasi berbasis NFV yang baru dengan infrastruktur yang telah ada sebelumnya.
Itu sebabnya, sangat penting bagi operator sebuah jaminan bahwa integrasi yang akan dilakukannya tersebut berjalan dengan lancar. Dan solusi yang dibangun untuk menyesuaikan kebutuhan mereka mungkin akan lebih cocok untuk skalabilitas dari fungsi jaringan tertentu seperti SSL, IPSec, dan kompresi video. Ekosistem hybrid menawarkan manfaat besar dalam menyikapi berbagai tantangan yang dihadapi operator telekomunikasi.
Gambar 1: NFV memungkinkan layanan pengiriman yang lebih baik dengan memanfaatkan hardware COTS dan pengiriman software melalui cloud
Berbicara Dalam Bahasa Yang Sama
Dengan ekosistem on-premise dan berbasis cloud, menyambut NFV tentu telah menambah kompleksitas dalam operasional bisnis. Pada awal 2012, perbincangan seputar NFV masih membahas tentang standarisasi dan dukungan dari berbagai vendor. Kini, hal tersebut telah berevolusi menjadi bermitra dengan berbagai vendor seperti OpenStack Neutron, Cisco APIC, VMware NSX, dan Microsoft HNV untuk mendukung programabilitas NFV dan efisiensi biaya. Dalam dua tahun, tren telah bergeser dari dukungan protokol menjadi ketersediaan dalam REST API.
Di dalam ekosistem yang kompleks seperti S/Gi networks, operator telekomunikasi kini mencari sebuah titik pusat yang menjadi point dimana APIs diperlukan untuk menyederhanakan proses orkestrasi. REST API menyediakan fleksibilitas untuk IT dalam menemukan solusi yang tepat untuk operasional mereka, sambil di saat yang bersamaan menjamin programabilitas yang tinggi.
Sebuah infrastruktur jaringan adaptif (ANI) mampu mengorkestrasi beberapa (Virtual Network Function) VNF dan elemen-elemen jaringan melalui koleksi metrik kunci real-time, analisis metrik dari beberapa dan elemen berbeda melalui model heuristik yang canggih, serta penyesuaian infrastruktur jaringan untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi berdasarkan kebijakan yang disesuaikan untuk penyedia layanan.
Hal tersebut, memungkinkan operator telekomunikasi untuk mengorkestrasi dan memprovisi layanan dan melaksanakan pemisahan kewajiban untuk tugas-tugas pendistribusian di dalam infrastruktur.
Pengendalian trafik dan rantai layanan yang cerdas tersebut memungkinkan operator telekomunikasi untuk selalu memberikan yang terbaik, mengurangi waktu time to market, serta memungkinkan mereka untuk menggunakan Value Added Service (VAS) dengan biaya seminimal mungkin. Layanan pengendalian VAS seperti parental control, video optimization, dan keamanan membutuhkan fungsi layanan cerdas dan dinamis yang memahami konteks aplikasi dan pelanggan dalam hal trafik data.
Gambar 2: REST API mampu mengorkestrasi ekosistem yang kompleks, mengelilingi gambaran penuh dari pengiriman NFV kepada penyedia layanan
Gambar 2: REST API mampu mengorkestrasi ekosistem yang kompleks, mengelilingi gambaran penuh dari pengiriman NFV kepada penyedia layanan
Meraih Kesuksesan Di Era NFV
Sebuah infrastruktur tervirtualisasi menawarkan framework demi meraih arsitektur jaringan yang skalabel, dapat diandalkan, serta fleksibel kepada operator telekomunikasi. Akan tetapi, virtualisasi dari layanan dan aplikasi dengan pemanfaatan VNF bukan berarti semua manfaat tersebut dapat tersampaikan dengan sendirinya.
Gambar 3: Rantai layanan tradisional VS rantai layanan cerdas dengan F5
Application Delivery Controllers (ADC) amat diperlukan untuk skalabilitas dan keandalan dari trafik. Pembatasan kinerja dari hardware commercial-off-the shelf (COTS) melawan platform hardware yang dioptimalkan untuk vendor membuat penyedia layanan perlu mengombinasikan sumber daya tradisional dengan ranah virtual, melalui teknologi load balancing.
Hal tersebut juga menyediakan deteksi kesalahan secara otomatis, desain high availability melalui model aktif/standby, serta fleksibilitas untuk menambah atau mengurangi sumber daya di dalam ranah virtual tanpa adanya disrupsi layanan.
Faktor penting dalam meraih kesuksesan di ekosistem NFV adalah penyedia layanan perlu menjamin trafik mudah di konfigurasi ulang dan dapat berjalan secara konsisten. Terpenting, penyedia layanan harus mengadopsi layanan yang mampu menghadirkan segala fungsi-fungsi tersebut secara bersamaan untuk berasa pada platform yang terunifikasi dengan keahlian yang tepat untuk meningkatkan operasional para operator telekomunikasi. (Icha)
Telko.id – Kinerja Pay yang merupakan platform e-commerce yang berasal dari Indonesia, menyapa Tanah Air dengan membawa solusi ‘Triple Play’.
Triple Play yang dimaksud disini adalah tiga layanan utama yang disediakan oleh e-commerce ini, yang mana layanan tersebut merupakan yang pertama di Indonesia.
Tiga solusi yang dimaksud adalah Pay, Play dan Buy yang tentunya memiliki solusi yang berbeda.
Pay adalah solusi pembayaran yang dihadirkan oleh Kinerjapay untuk mendukung bisnis e-commerce Tanah Air. Meski belum menjalin kerjasama dengan marketplace lainnya, namun Denny Raharjo selaku CEO dari Kinerja Pay mengaku optimis jikalau solusi ini bisa menjadi pemecah masalah prmbayaran e-commerce yang saat ini masih menghinggapi para pelaku e-commerce di Indonesia.
“Kinerja Pay hadir di Indonesia untuk memberikan solusi pembayaran yang aman dalam bertransaksi di e-commerce. Sementara ini masih digunakan oleh marketplace kita, dan belum digunakan oleh marketplace lainnya,” ujar Denny Raharjo, pada saat jumpa media di salah satu Restaurant di Jakarta (29/4).
Sekadar informasi, Alasan masyarakat indonesia enggan mencoba ecommerce adalah maslah pembayaran yang rumit, dengan sedikitnya pengguna bank account serta kredit card.
Solusi berikutnya adalah Play. KinerjaPay menghadirkan sebuah game di dalam e-commerce mereka. Game ini ditujukan untuk promosi kepada calon pembeli dan bersifat seperti loyalty program. Pengunjung akan mendapatkan sebuah poin yang berguna untuk berbelanja di Kinerja Pay sebagai reward dari game tersebut.
Untuk solusi terakhir adalah Buy. Sebagai platform e-commerce, Kinerja Pay juga menyediakan berbagai barang layaknya sebuah e-commerce pada umum nya. Kinerja Pay juga berperan sebagai intermediator, serta menyediakan pemesanan voucher seperti tiket pesawat, hotel ataupun tiket nonton. Sampai dengan saat ini, Denny mengungkapkan bahwa pemesanan Voucher menjadi yang terlaris dari e-commerce mereka.
Sampai dengan bulan April 2016, Kinerja Pay mengklaim telah menjaring sebanyak 36 ribu active user, memproses 170 ribu lebih transaksi, serta menyediakan lebih dari 15 ribu produk, dengan lebih dari 1600 merchant.
Namun, ketika tim Telko.id mencoba mengakses situs ini melalui web ataupun aplikasi, ternyata Kinerja Pay tidak dapat diakses dan mengalami ‘down server’. Terkait hal ini, Edwin Witarsa selaku Chairman dari Kinerja Pay menjelaskan bahwa platform mereka sedang dalam proses perbaikan.
“Problem yg sedang kita alami adalah ketika kami mulai masuk ke google dan facebook untuk advertising, karena banyak yg akses, database dan server kami ternyata overload dan sedang kami upayakan untuk update,” Edwin Witarsa mengklaim.
Sayang sekali tidak bisa diakses, namun dengan business model yang seperti ini, bukan tidak mungkin jika Kinerja Pay bisa menjelma menjadi platform e-commerce besar. Hal ini terlihat dari nama Kinerja Pay yang telah ‘mejeng’ di Bursa Efek Amerika Serikat dengan nama KPAY.
Telko.id – Teknologi 4G LTE memang kini sedang menjadi jualan utama operator telekomunikasi di Indonesia. Maklum, ini teknologi baru dan menawarkan kecepatan akses internet yang jauh lebih baik dibandingkan dengan 3G. Namun, 4G LTE ini akan tumbuh lebih cepat lagi jika ekosistem pendukung juga terbantuk. Sayangnya, ekosistem 4G yang harus dipenuhi yakni Device, Network dan Aplikasi, ternyata sampai saat ini masih belum bisa dibilang ideal.
Network
Dari sisi network, memang operator telekomunikasi sudah berlomba membangun jaringan. Hampir disetiap kota besar sudah dilayani oleh 4G LTE. Masyarakat tinggal pilih saja, operator mana yang sudah aktif layanan 4G LTE nya. Walaupun belum menyeluruh, tetapi sudah mulai merata, khususnya di kota besar. Dengan berjalannya waktu, akan semakin melebar jangkauannya. Artinya, dari sisi network, tidak terlalu banyak masalah. Tinggal beli perangkat, bangun dan jaringan 4G sudah bisa diberikan.
Untuk frekuensi juga tinggal menunggu aturan dari pemerintah saja. Namun, di awal, operator sudah mendapatkan frekuensi di 1800 Mhz yang dapat digunakan untuk melayani pelanggannya.
Device
Yang masih sulit untuk dibentuk ekosistemnya adalah dari sisi device. Untuk memasok smartphone yang dapat berjalan di jaringan 4G, pemerintah mengeluarkan aturan bahwa smartphone harus memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri sebesar 30% per Januari 2017. Bagi perangkat 4G yang tidak memenuhi 30 persen komponen lokal (TKDN) dilarang masuk ke Indonesia.
Tak heran, banyak produsen smartphone berbondong-bondong buat pabrik atau menggandeng produsen smartphone tanpa merek atau OEM atau Original Equipment Manufacturer. Walau demikian, tetap saja, untuk memenuhi aturan pemerintah ini masih sangat sulit. Pasalnya, ekosistem pendukung kandungan lokal ini, boleh dibilang sangat minim. Misalnya, tidak ada suplier lokal untuk layar, IC, main board dan lainnya. Buntutnya, tetap saja, harus impor. Jika ekosistem pendukung tidak diberikan dukungan dari pemerintah maka masalah TKDN ini nantinya akan sulit dipenuhi oleh para produsen. Jikapun dilepas ke pasar begitu saja, bisa saja akan terbentuk, tapi pasti akan membutuhkan waktu lama.
Advan misalnya, saat ini sudah memiliki pabrik dengan kapasitas 32 ribu unit/hari. Namun, untuk masalah TKDN, sampai saat ini masih belum bisa dipenuhi. “Saat ini, Advan baru bisa memenuhi TKDN 20%,” ujar Tjandra Lianto, Direktur Marketing Advan menjelaskan dalam talkshow Indonesia Technology Forum 2016. Padahal, Advan adalah merek smartphone yang mampu merangsek ke pasar sebanyak 2,8 juta unit smartphone ditahun 2015 lalu. Dari total smartphone yang beredar di Indonesia yang mencapai 19 jutaan smartphone.
Selain itu, untuk membangun ekosistem di bagian device ini ada beberapa faktor yang perlu dipenuhi oleh produsen smartphone. Pertama, harga harus terjangkau. Di mana, berdasarkan survei yang dilakukan Advan, harga terjangkau ini berkisar Rp.1 juta hingga Rp.3 juta. Kedua, fitur dan benefit dari produk. Ketiga, ditribusi channel yang merata di seluruh Indonesia. Ke empat, after sales service yang tersebar.
Jika kita disuruh untuk membangun ekosistem pendukung juga, sangat berat. Untuk bangun pabrik saja, untuk 1 line membutuhkan dana sekitar 10 triliun. Jadi memang sebaiknya ada yang membangun atau mengadakan komponen yang dibutuhkan oleh kami, produsen smatphone agar dapat memenuhi TKDN yang menjadi peraturan pemerintah,” ujar Tjandra menambahkan.
Aplikasi
Memang, pemerintah menyebutkan bahwa TKDN 30% ini tidak hanya hardware saja. Bisa dipenuhi dengan memasukan aplikasi lokal ke dalam smartphone 4G yang akan diluncurkan. Namun, ternyata developer lokal ini banyak yang belum dilirik oleh para produsen smartphone.
“Kebanyakan para produsen smartphone inginnya bekerjasama dalam hal marekting dan share biaya marketing. Lah, kita ini startup, dana kita ya tidak akan cukup untuk itu. Malah kita cari yang gratis,” ujar Calvin Kizana, Founder & CEO Picmix, menceritakan ketika akan bekerjasama dengan produsen smartphone.
Selain itu, para produsen smartphone juga selalu bertanya, “bisa dikecilin ndak aplikasinya”. Calvin juga menambahkan bahwa pertanyaan itu muncul karena memori smartphone tidak cukup untuk menampung aplikasi tersebut. Maklum saja, produsen harus secermat mungkin dalam perhitungan kemampuan smartphone yang akan diluncurkan agar dari sisi harga masih afordable atau terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Jadi, muncul lah versi light.
Sebenarnya, bagi developer lokal, embeded di smartphone tidak terlalu menyenangkan hasilnya. Pasalnya, berdasarkan pengalaman David Wayne Ika, Founder & CEO Kurio, orang Indonesia memang senang install. Tapi, pengalaman yang diperoleh harus menyenangkan. “Jika pengalamannya menyenangkan baru pelanggan itu akan awet. Fenomena itu terlihat jelas pada pelanggan yang menggunakan smartphone android. Sedangkan, pengguna iOs, tidak terlalu senang install. Tapi begitu dia install, maka akan terus menggunakan aplikasi yang diinstalnya itu,” ahut David menjelaskan. (Icha)
Telko. id – Dalam sebuah survei yang dilakukan Maret lalu, UCWeb menemukan bahwa 76.4% dari 2.829 pengguna internet mobile yang dijadikan responden, mengakui bahwa mereka berbelanja secara online setidaknya sekali dalam sebulan dan membelanjakan rata-rata sebesar Rp. 100.000 setiap bulannya.
Tingginya penetrasi smartphone, disinyalir menjadi landasan tingginya minat orang berbelanja secara online. Pasalnya, dalam survei tersebut ditemukan bahwa sebagian besar belanja online di Indonesia dilakukan pada perangkat mobile, yakni 87.4%.
“Dengan semakin banyaknya pengguna Internet Indonesia yang mulai mengadopsi belanja secara online sebagai bagian dari gaya hidup, sebagian besar dari mereka telah menganut ide ‘mobile first’. Hal ini meyakinkan kami pada value kami terhadap industri e-commerce lokal yang terus meluas,” kata Kenny General Manager Global Markets, Alibaba mobile business group dalam keterangan resminya, (29/4).
Hal inilah yang kemudian mendorong UCWeb, sebagai penyedia perangkat lunak dan layanan internet mobile untuk memperkenalkan UC Cradle Program, yang bertujuan untuk meningkatkan para pelaku bisnis e-commerce Indonesia.
“Melalui kolaborasi dengan para pelaku e-commerce di Indonesia, kami dapat menghasilkan nilai tambah kepada para pengguna kami dan pada saat yang bersamaan menyediakan dukungan besar bagi para mitra pelaku bisnis online kami,” tambah Kenny.
Masih dalam survei yang sama, UCWeb juga menemukan bahwa 72,2% dari orang yang berbelanja secara online biasanya menghabiskan paling tidak 1 jam untuk berbelanja.
Alasan paling populer untuk berbelanja secara online adalah kenyamanan berbelanja di manapun dan kapanpun, disamping promo-promo penjualan (contohnya, promo musiman atau hari libur/ besar), serta kebutuhan tak berkala, seperti misalnya, membeli hadiah dalam waktu singkat untuk teman yang berjarak jauh.
Biasanya, kebanyakan orang yang berbelanja secara online melakukannya antara pukul 6 sore hingga 10 malam. Dengan situs-situs toko belanja online konvensional masih tetap menjadi pilihan utama, sedangkan pilihan paling tidak populer adalah melalui forum online dan situs-situs iklan.
Alasan utama yang menurunkan motivasi orang yang berbelanja secara online untuk mengunduh aplikasi belanja adalah mereka bisa berbelanja secara online melalui browser (49%). Dua alasan lainnya adalah karena mereka sudah banyak memiliki aplikasi (37,3%) dan khawatir aplikasi belanja tersebut menghabiskan kapasitas penyimpanan perangkat mobile mereka (26%).
Sementara ada 5 hal yang mendorong para pengguna untuk melakukan pembelian secara online, meliputi fitur perbandingan harga antar-platform belanja online, proses pembayaran yang aman, info terbaru tentang diskon di seluruh situs belanja online, info terbaru tentang produk-produk baru di seluruh situs belanja online, dan akses sekali jalan ke seluruh platform belanja online
Telko.id – Sebelumnya kita mengenal Facebook hanya sebagai media sosial. Kini, dengan segala proyek ambisius perusahaan yang ingin menghubungkan dunia, kita pun mengenal Facebook dengan internetnya. Mereka ingin membuat semua orang melakukan segala sesuatu di halamannya. Facebook pun seolah menjadi orang tua yang benci jika anaknya keluar rumah.
Lantas, apakah dengan semua ketersediaan ini orang menjadi lebih percaya pada Facenbook?
Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan Huffington Post/YouGov, diketahui bahwa masih ada sedikit pekerjaan rumah yang harus dilakukan Facbook.
28% dari 1.000 responden yang disurvei antara 22 dan 25 April mengatakan bahwa mereka ‘sama sekali tidak’ percaya dengan Facebook dan datanya. 34% mengatakan mereka ‘tidak terlalu’ percaya pada Facebook.
Namun, itu hanya 62% orang.
Lalu apa itu artinya 38% orang ‘sangat’ percaya pada Facebook? Tidak juga tampaknya. 3% merupakan jumlah yang ‘sangat percaya’ pada Facebook. 32% mengatakan ‘agak’ percaya pada Facebook, sementara sisanya 3% mengaku ‘tidak yakin’.
Facebook menolak untuk berkomentar terkait jajak pendapat ini. Namun, polling ini bisa menjadi indikasi bahwa Facebook tidak sepenuhnya didukung pengguna dalam setiap kegiatannya.
Tapi, apakah itu berarti kita patut untuk benar-benar mengeluhkan Facebook?
Koreksi kami jika salah, kitalah yang memutuskan untuk menerima tawaran Facebook dengan ruang bebasnya yang memungkinkan kita bisa menipu “teman-teman” dan membuat mereka percaya bahwa kita bahagia.
Kitalah yang menikmati ruang bebas itu hingga kemudian hampir tidak bisa melepaskan diri darinya. Dan kita jugalah orang-orang yang tidak ingin repot-repot memikirkan bagaimana Facebook mencari uang. Apa ada yang perlu dikoreksi?
Telko.id – Sementara ‘kematian’ 2G masih menjadi tanda tanya di Indonesia – dengan masih begitu banyaknya pengguna yang berada di jaringan tersebut – sejumlah negara telah mulai mewanti-wanti pengguna 2G-nya untuk segera bermigrasi. Di AS misalnya, operator AT&T mengumumkan bahwa perusahaan akan mematikan atau menutup jaringan 2G pada akhir tahun.
Transisi pelanggan dari jaringan 2G sendiri sebenarnya telah mulai dilakukan perusahaan sejak setahun terakhir, dengan sekitar enam juta pelanggan dipindahkan dari basis 2G saat itu. Alasannya tentu saja tidak semata karena 2G sudah terlalu lambat (dibanding teknologi penerusnya) untuk pengguna saat ini, tetapi juga karena biaya.
Menurut CTO AT&T, John Stevens, masih ada banyak biaya dibutuhkan hanya untuk mengoperasikan satu jaringan 2G. Oleh karenanya, perusahaan ingin menghemat itu dan menggunakannya untuk terus memperkuat EBITDA bisnis nirkabel-nya.
Setelah jaringan 2G tersebut ditutup, itu kemudian akan ditata ulang untuk membantu memenuhi tingginya permintaan data.
Selain AT&T, beberapa operator seluler lain juga telah melakukan hal yang sama sebelumnya. Pada tahun 2014, T-Mobile mengumumkan bahwa mereka menutup jaringan 2G EDGE 1.9GHz dan menggantinya dengan spektrum LTE. Pada 2021, Verizon akan menutup jaringan 2G dan 3G mereka untuk membuat lebih banyak ruang bagi layanan 4G LTE. AT&T sendiri pada awalnya berencana menutup jaringan 2G tahun depan, tetapi kemudian jadwal dimajukan.
Saat ini, tak ubahnya Verizon yang telah mulai menguji 5G, AT&T pun melakukan hal serupa. Keduanya perusahaan ingin membuktikan kehebatan 5G, yang konon mampu memberikan kecepatan 100 kali lebih cepat dari 4G. Dengan teknologi ini, pengguna bahkan dapat mengunduh film full-length hanya dalam hitungan detik.
Telko.id – Menkominfo Rudiantara meminta para Kepala Daerah yang hadir dalam kegiatan MoU antara Kemkominfo dan Kemendagri tentang Percepatan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Komunikasi dan Informatika, untuk ikut turut serta dalam membantu proyek Palapa Ring sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan pemaparan ringkas mengenai Proyek Palapa Ring di hadapan pimpinan daerah yang hadir. Ia juga menjelaskan bagaimana ketimpangan akses telekomunikasi dan internet di negara ini masih sangat jauh.
“Di Jakarta saat ini kita sudah bisa menikmati kecepatan internet hingga 10 Mbps, yang membuat Jakarta naik peringkat menjadi nomor dua se-ASEAN setelah Singapura. Namun saudara-saudara kita di Maluku, Papua, masih 300 Kbps kecepatannya,” papar Rudiantara, seperti tertuang dalam laman resmi Kominfo (29/04).
Pria yang kerap disapa Chief RA ini menyebutkan, bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan ini adalah karena kurangnya infrastruktur yang memadai di wilayah tersebut. Hal ini tergambar dari 514 kabupaten dan kota yang ada, baru 400 yang terhubung dengan broadband.
“Dari 114 itu, setelah kita bicarakan dengan operator, setengahnya nanti akan dibangun oleh operator. Operator itu tidak punya kewajiban untuk membangun BTS di daerah yang tidak feasible secara bisnis. Tapi operator punya dana Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Services Obligation), ini yang harus dikembalikan ke masyarakat di daerah yang boleh dikatakan secara keuangan tidak feasible,” ujar Rudiantara.
Menurut Menkominfo, terdapat 57 daerah yang sama sekali tidak feasible secara bisnis, yang tidak akan sanggup dibangun oleh operator jika untuk tujuan bisnis. “Tapi secara Nasional, kita harus jaga NKRI ini. NKRI bukan hanya Jakarta dan Jawa, NKRI itu dari Sabang sampai Merauke. Jadi betul-betul kita harus bangun,” tutur Rudiantara.
Proyek Palapa Ring adalah salah satu cara pemerintah menjaga perataan pembangunan. Menkominfo menjelaskan, proyek Palapa Ring Paket Barat dan Paket Tengah diperkirakan akan selesai pada pertengahan 2018. Sementara untuk Paket Timur, saat ini masih dalam proses tender, namun diperkirakan kontraknya akan ditandatangani pada bulan September dan diharapkan juga akan selesai pada akhir 2018. Proyek tersebut diharapkan dapat membantu penyempitan gap (kesenjangan) masyarakat secara ekonomi. “Inilah yang disebut NKRI,” tegas Menkominfo.
Oleh karena itu, lanjut Menteri, pemerintah pusat sangat butuh bantuan dari pemerintah daerah dan kota untuk mempermudah izin pembangunan tersebut. Nantinya Kemkominfo juga akan mengadakan roadshow ke masing-masing pemerintah daerah dan kota.
Bantuan dari pemerintah daerah tentunya akan sangat berguna bagi perjalanan dari proyek Palapa Ring ini. Pasalnya, mulai dari perizinan hingga birokrasi, tentunya akan menjadi lebih mudah, jika ada andil dari pemimpin di wilayah yang bersangkutan.
Telko.id – Operator asal Cina yakni China Telecom telah memiliki basis pelanggan 4G hingga 75 juta user. Hasil ini juga tentunya meningkatkan pendapatan dan kenaikan laba bersih di Q1.
China Telecom berhasil menambahkan 5.810.000 pelanggan 4G pada bulan Maret, angka tersebut juga merupakan sebuah peningkatan dari bulan sebelumnya. Operator Tionkok ini mengumumkan pada hari Kamis lalu bersama denga satu set hasil keuangan yang solid untuk kuartal pertama tahun ini.
Dilaporkan TotalTelecom (29/4), Pendapatan bersih untuk 4G dari perusahaan telko ini hadir di angka 16, 45 juta pada Q1, angka tersebut tentunya mneingkatkan pendapatan keseluruhan dari 4G Base menjadi 74, 91 juta. Basis pelanggan secara keseluruhan tumbuh sebesar 4,74 juta selama tiga bulan pertama tahun ini untuk menjadi 202,64 juta.
“Untuk kuartal pertama 2016, perusahaan tegas merebut peluang pengembangan 4G dan mencapai pertumbuhan yang cepat pada pengguna 4G serta pendapatan layanan seluler,” kata China Telecom, dalam sebuah pernyataan.
Operator tidak membagi pendapatan layanan mobile untuk kuartal ini, melainkan pendapatan layanan secara keseluruhan – termasuk bisnis wireline – yang menghasilkan 76,36 miliar yuan atau setara dengan € 10,4 miliar, atau naik 5% dari kuartal yang sama pada tahun lalu.
Pendapatan operasi tumbuh sebesar 6,1% menjadi CNY86.43 miliar. Sementara untuk EBITDA turun sebesar 2,9% menjadi CNY23.81 miliar, namun laba bersih tumbuh sebesar 1,4% menjadi CNY 5.12 miliar atau setara dengan € 696.000.000.
Selain dari segi mobile, China Telecom juga memiliki bisnis fixed-line yang kuat.
“Fundamental layanan wireline kami secara keseluruhan tetap stabil dan pendapatan dari layanan wireline juga meningkat terus,” ucap, laporan tersebut.
Namun, untuk Fixed-line, dalam pelayanan turun sekitar 1,46 juta pada kuartal pertama 132.86 juta tetapi mencatat 3,11 juta penambahan di bisnis fixed broadband, sehingga total untuk keseluruhan menjadi 116,17 juta.
Telko.id – Setelah lama tidak terlihat gerakannya di pasar, Bakrie Telecom hari ini mengumumkan, telah melakukan RUPSLB dan menyetujui pengangkatan direktur baru perseroan yakni Mark Robson dan Andi Pravidia.
Tugas dari direktur baru ini antara lain adalah mempersiapkan pengembangan bisnis telekomunikasi seluler berbasis 4G LTE pada saat yang tepat. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari diperolehnya lisensi seluler jasa teleponi dasar dan selanjutnya BTEL secara bertahap mengurangi layanan bisnis Fixed Wireless Access (FWA) CDMA.
“Kami melihat ada kebutuhan besar dalam mensinergikan telekomunikasi, internet, dan media. Oleh karena itu, dengan lisensi MVNO, jaringan Fiber Optik milik BTEL yang jumlahnya mencapai 100,000 homepass, kemampuan dan pengalaman bertransformasi, serta adanya bisnis aplikasi dengan EsiaTalk yang semakin berkembang, beserta potensi LTE kedepan kami merencanakan untuk turut memberikan sumbangsih kepada kemajuan bangsa dengan melalui solusi triple play”, ujar Taufan E. Rotorasiko, “Wakil Direktur Utama dan CEO BTEL menjelaskan.
Taufan juga menambahkan bahwa layanan triple play adalah salah satu dari langkah ekspansi Bakrie Telecom kedepan dan akan menjadi pilar pengembangan bisnis digital Bakrie Telecom. Rencananya, beberapa bulan ke depan, layanan triple play ini akan soft launching dan BTEL juga berjanji sudah mendapatkan lebih dari 3000 pelanggan.
Selain itu, Bakrie Telecom juga akan melakukan pengembangan aplikasi Esia Talk yang diikuti dengan beberapa pengembangan lainnya. Sebagai tambahan informasi, EsiaTalk merupakan aplikasi untuk melakukan dan menerima panggilan suara dan pesan ke dan dari manapun. Langkah ini diharapkan dapat menjadi dorongan ekspansi operator ini ke depannya. Saat ini, Esia Talk sudah memiliki lebih dari 300 ribu pengguna.
Bakrie Telecom dalam mendorong ekspansinya ini akan melakukan bekerjasama dengan berbagai perusahaan penyedia layanan teknologi, telekomunikasi dan media dalam memberikan nilai lebih kepada pelanggan, pemegang saham, karyawan, para mitra serta seluruh stakeholder BTEL. “Dengan bergabungnya Mark Robson yang sudah berkecimpung lama dalam bisnis triple play di manca negara dan Indonesia serta kehadiran Andi Pravidia dalam tim manajemen, kami yakin visi kami tersebut bisa tercapai” ungkap Taufan.
Pada RUPSLB tersebut juga disetujui untuk melakukan penerbitan saham baru di harga Rp.200 melalui Obligasi Wajib Konversi (OWK) dengan mekanisme Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD). Hasil dari penerbitan saham tersebut digunakan untuk pembayaran hutang sebesar Rp7,6 T. Hal ini merupakan implementasi Perjanjian Perdamaian antara BTEL dan para krediturnya yang disepakati pada tanggal 8 Desember 2014 lalu.
BTEL meyakini dapat memperbaiki struktur permodalan serta kinerjanya dengan merambah lini bisnis baru triple play selain mengembangkan bisnis digital dengan esiatalknya serta layanan MVNO 4G LTE. (Icha)