Telko.id – Smartfren 5G batal uji coba, seharusnya jika tidak ada pandemic covid-19, bulan April 2020 lalu, operator ini melakukannya. Rencananya, uji coba Smartfren 5G itu untuk aplikasi pada konsumen individu langsung. Beda dengan uji coba tahun lalu yang ditujukan pada industri atau pabrik.
“Kami tunggu hingga Covid-19 mereda. Soalnya, peralatan untuk uji coba juga tidak bisa masuk ke Indonesia,” kata Munir Syahda Prabowo, VP Technology Relations and Special Project Smartfren saat konferensi pers secara virtual, Rabu (17/6).
Baca juga : Smartfren Berharap BHP 5G Tidak Disamakan Dengan 2G, 3G dan 4G
Seperti diketahui, beberapa negara sudah menerapkan teknologi internet generasi kelima (5G). Bahkan, Jepang dan Tiongkok mulai mengkaji 6G. Namun, Smartfren mengatakan, ada empat tantangan dalam mengembangkan 5G di Tanah Air.
Pertama, nilai investasinya besar. Sebab, teknologi 5G tak menggantikan 4G, melainkan sebagai infastruktur pelengkap. Pemerintah pun menyarankan operator seluler untuk berbagi infrastruktur guna menekan biaya. Riset McKinsey menunjukkan, berbagi fasilitas dapat mengurangi biaya investasi 5G hingga 40%.
“Investasi memengaruhi apakah kami bisa gunakan 5G atau tidak. Kami harus cek,” ujar Munir menjelaskan.
Kedua, regulasi. Pemerintah masih mengatur frekuensi yang tepat untuk adopsi 5G di Indonesia. “Kami tunggu dulu. Sebab, tidak mudah mengalokasikan frekuensi 5G dengan yang sedang digunakan saat ini. Butuh kajian mendalam,” katanya.
Lalu, tantangan Ketiga adalah masalah infrastruktur yang kuat dan besar. Tidak seperti 4G dan 3G, teknologi 5G membutuhkan kapasitas data yang besar. Bukan hanya Base Transciever Station (BTS), tetapi juga perangkat pendukung. Oleh karena itu, butuh kolaborasi antarperusahaan telekomunikasi dalam penyediaan infrastruktur.
Terakhir, penyesuaian produk layanan. Jenis produk dan harga untuk pelanggan perorangan harus disesuaikan. Ia mencontohkan, saat ini kuota data seluler yang dijual di kisaran 60 GB. Saat 5G diterapkan, kuota data yang dijual minimal 100 GB.
Namun, Munir tetap menyakini, walaupun terdapat empat tantangan, industri telekomunikasi Indonesia tetap akan mendapat manfaat besar jika menerapkan 5G.
Sebab, teknologi ini membuat proses digitalisasi menjadi lebih cepat. Namun, perusahaan memang harus cermat berhitung dalam menjual layanan berbasis 5G.
“Harga kuota, besaran datanya, dan kelayakan pakai pada konsumennya harus dihitung,” ujar Munir.
Memang untuk masalah 5G ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Seperti masalah frekuensi yang sampai saat ini masih dikaji terus.
Kementerian berencana menggunakan frekuensi 3,5 Ghz, yang juga dipakai untuk satelit.
Harapannya, frekuensi untuk 5G tersebut bisa diuji coba pada awal tahun ini. Tetapi, “terpaksa dibatalkan,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SPPI) Kementerian Kominfo Ismail.
Pandemi virus corona membuat adopsi 5G oleh perusahaan maupun perumusan kebijakannya terganggu. Proses pematangan standar teknis 5G oleh lembaga global seperti The Third Generation Partnership Project (3GPP) dan The ITU Telecommunication Standardization Sector (ITU-T) pun terhambat.
Penyebabnya, pertemuan yang melibatkan banyak orang tidak diperbolehkan akibat pandemi Covid-19. “Dengan dibatalkannya sejumlah pertemuan karena corona, maka pengembangan standar teknisnya dipastikan mengalami delay,” kata Ismail.
Meski demikian, internal Kominfo tetap menyusun kebijakan implementasi 5G. kementerian juga terus mendorong fiberisasi oleh seluruh operator seluler. Selain itu, Kominfo sedang menyiapkan payung hukum pembentukan gugus tugas (task force) adopsi 5G. Gugus tugas akan merumuskan rekomendasi kebijakan terkait penerapan 5G di Indonesia.
“Secara paralel, diskusi-diskusi terus kami jalankan untuk terus menyempurnakan konsep dokumen White Paper Roadmap 5G di Indonesia,” ujar Ismail pada April lalu. (Icha)