Telko.id – China sepertinya tidak menjadi satu-satunya negara yang bersikap tegas pada media sosial. Regulator Komunikasi Turki, buktinya, baru-baru ini telah mengenakan denda yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Twitter karena mengizinkan publikasi konten yang dianggap membenarkan teror.
Dilansir dari Phys.org, Senin (14/12), Otoritas Teknologi Informasi dan Komunikasi setempat telah mendenda Twitter sebesar 150.000 lira (USD 50.700). Denda ini adalah yang pertama kalinya ditujukan kepada perusahaan itu.
Keputusan ini diambil setelah Twitter, yang telah diperingati berulang kali tetap gagal untuk menarik konten yang dinilai memuji terorisme dan menargetkan pasukan keamanan dan menghasut kebencian serta kekerasan.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada rincian lebih lanjut tentang sifat dari konten yang menyinggung itu, tetapi para pejabat Turki telah berulang kali menyatakan kejengkelannya atas materi di media sosial itu, yang mendukung Partai Buruh Kurdistan.
Sebagai informasi, Partai Buruh Kurdistan atau PKK merupakan organisasi militan Kurdistan yang didirikan pada tahun 1970-an. PKK yang dipimpin oleh Abdullah Öcalan ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Kurdi yang merdeka dan sosialis di Kurdistan – terdiri dari Turki tenggara, Irak barat laut, Suriah timur laut dan Iran barat laut – dan sejak lama telah dilarang.
Pihak berwenang telah melancarkan tindakan keras berbulan-bulan pada Partai tersebut, yang pengikutnya telah merespon dengan serangan mematikan pada pasukan keamanan Turki. Pihak berwenang juga telah berulang kali memblokir sementara partai itu di Twitter dan media sosial lainnya selama masa krisis.
Presiden Recep Tayyip Erdogan memiliki hubungan yang tidak menentu dengan Twitter. Sebelumnya ia membandingkan media sosial itu dengan “pisau di tangan pembunuh” dan mengatakan “Saya tidak suka membuat tweet, schmeet.”
Tapi pada bulan Februari ia mulai membuat tweet untuk pertama kalinya dari akun pribadinya @RT_Erdogan, yang kini menjadi salah satu platform komunikasi utamanya.
Kecurigaan Erdogan atas media sosial ini dimulai saat protes massa Juni 2013 terhadap pemerintahannya, yang sebagian besar dimobilisasi oleh posting di Twitter dan Facebook.
Pemerintah memblokir Twitter dan YouTube pada Maret 2014 setelah mereka digunakan untuk menyebarkan rekaman audio torrent yang melibatkan perdana menteri dan lingkaran dalamnya dalam skandal dugaan korupsi.
Larangan terhadap media sosial itu kemudian dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan konstitusi negara.
Pada bulan April tahun ini, Turki juga memblokir akses ke Twitter, Facebook dan YouTube atas penerbitan gambar dari jaksa Turki yang dibunuh oleh militan sayap kiri.