Telko.id – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) berkomitmen mendukung langkah pemerintah untuk mengejar kewajiban pajak dari PT Google Indonesia.
“Kewajiban pajak dari perusahaan yang besar dari layanan mesin pencari Google ini, bukan karena statusnya sebagai perusahaan asing, tapi demi menciptakan kesetaraan dan keadilan merata terhadap seluruh pelaku industri teknologi informasi,” ujar Henri Kasyfi, Sekretaris Jenderal APJII menyatakan dalam keterangan pers nya, Selasa (20/9)
Henri juga menambahkan bahwa “Persoalan Google ini adalah persoalan untuk menciptakan level playing field sama dan fair bagi seluruh pemain konten.
Seperti diketahui, masalah pajak Google Indonesia ini menyeruak ke publik, ketika perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut menolak diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Google Indonesia yang berkantor di Sentral Senayan II, Jakarta Pusat, ini berdalih belum berbentuk badan usaha tetap (BUT), hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, sehingga Google enggan dipotong pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) terhadap transaksinya di Indonesia.
Padahal catatan Ditjen Pajak, Google Indonesia terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III, dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan “dependent agent” dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.
Henry menambahkan, jika Google dibiarkan tidak membayar pajak, akan terjadi ketidakadilan dalam dunia usaha. Sebab perusahaan nasional yang bergerak di jasa tekologi informasi telah dikenai kewajiban pajak. Jika ketidakadilan ini dibiarkan berlarut – larut, maka berpotensi merusak tatanan industri teknologi informasi nasional.
Selain soal perpajakan, APJII juga mengimbau agar keadilan dan kesetaraan di kalangan pelaku industri juga berlaku di sektor lainnya. Contohnya, pemerintah harus menjamin kesehatan industri di bidang akses ke infrastruktur dengan ketersedian dan harga yang sama.
“Misalnya, jika level of playing field dibuat fair dan sama bagi semua operator akses, maka seluruh penyelenggara ISP punya akses yang digelar oleh network provider dengan ongkos yang fair,” tambahnya.
Sebelum kasus ini muncul ke permukaan, APJII sebenarnya pernah mengingatkan pemerintah soal pajak perusahaan over the top (OTT) seperti Google.
Ketua Umum APJII Jamalul Izza menyatakan potensi pajak dari iklan digital yang lepas di dalam negeri bisa mencapai Rp 15 triliun. Potensi pajak tersebut dihitung dengan menghitung pendapatan OTT global, seperti Facebook, Google, Twitter, dan lain – lain.
Padahal, jika potensi pajak yang hilang ini bisa dikumpulkan, pemerintah akan memiliki dana jumbo untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di penjuru negeri.
Jamal mencontohkan pendapatan kuartalan Facebook mencapai US$ 2 per user atau menjadi US$ 8 per user per tahun. Jika pengguna Facebok di Indonesia mencapai 100 juta, maka pendapatan Facebook di Tanah Air bisa mencapai US$ 800 juta atau sekitar Rp 10 triliun per tahun. Jika digabungkan dengan OTT lain yang beroperasi di Indonesia, APJII memperkirakan jumlahnya bisa mencapai Rp 100 triliun. Dengan memungut PPN dan PPh, maka potensi pajak yang bisa ditarik negara mencapai Rp 15 triliun.
Dengan potensi pajak besar itulah, APJII mengimbau agar seluruh pemangku kepentingan menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini. Pajak Google tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak, tapi juga pemerintah secara keseluruhan termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika. (Icha)