Telko.id, Jakarta – Ketika Neil Armstrong berhasil menginjakkan kaki di bulan pada 20 Juli 1969, masa depan misi penjelajahan berawak tampak menemui titik cerah. Namun, bulan tak lagi didarati manusia sejak Apollo 17 meledak pada Desember 1972.
Lima puluh tahun setelah kemenangan Apollo 11, perlombaan menuju ruang angkasa kian masif. Negara berlomba-lomba ingin menempatkan manusia kembali ke bulan. Bahkan, NASA merencakan misi pendaratan di bulan pada 2024 mendatang.
{Baca juga: Tahun 2024, Astronot NASA akan Tinggal di Bulan}
“Namun, saya ragu apakah misi pada 2024 bisa terealisasi,” kata Vahe Peroomian, profesor fisika dan astronomi di University of Southern California. Meski demikian, Amerika Serikat (AS) kini harus menghadapi persaingan lebih ketat dibanding 1960-an.
Pada tahun itu, praktis AS hanya bersaing dengan Uni Soviet. Akan tetapi, sekarang, Jepang menjadi ancaman. Awal tahun ini, Jepang menandatangani kontrak dengan Toyota untuk mengembangkan baling-baling enam roda guna misi berawak ke bulan.
Dilansir New York Post, Badan Antariksa Israel yang didanai oleh swasta dan bekerja sama dengan NASA juga berusaha untuk mendaratkan robot di bulan pada April 2019. Namun, robot tersebut mendarat di permukaan bulan ketika giroskop gagal.
Baru-baru ini, tepatnya pada 15 Juli 2019, India siap untuk meluncurkan misi tak berawak kedua ke bulan. Bahkan, misi itu sudah dilakukan pada Selasa (23/7/2019) waktu setempat. Namun, ancaman terbesar bagi AS tetaplah misi ke bulan oleh China.
{Baca juga: Edan! China akan Bikin Bulan Buatan Sendiri}
“Mereka mengalokasikan uang ke program luar angkasa,” kata Peroomian. Ia mencatat bahwa China baru-baru ini menyelesaikan pembangunan teleskop radio terbesar di dunia. Dikutip Telko.id, ia menyatakan, China mungkin benar-benar mengalahkan AS. [SN/HBS]
Sumber: NY Post