Telko.id – Indonesia sedang berada di persimpangan penting. Dengan populasi lebih dari 279 juta jiwa dan penetrasi internet mencapai 74,6% pada awal 2025, negeri ini tak punya pilihan selain mempercepat transformasi digital.
Tapi, tahukah Anda bahwa di balik layar, ada satu teknologi yang menjadi penopang utama semua kemajuan ini? Ya, serat optik—infrastruktur tak kasatmata yang menjadi urat nadi konektivitas modern.
Permintaan akan layanan cloud, AI, konten digital, dan 5G melonjak drastis. Tanpa jaringan serat optik yang andal, semua itu hanyalah mimpi siang bolong. Teknologi ini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mutlak. Bayangkan: kapasitas besar, kecepatan tinggi, dan latensi rendah.
Inilah alasan mengapa Alita, APJATEL, dan Viavi Solutions baru-baru ini menggelar seminar khusus untuk membahas masa depan serat optik di Indonesia.
Baca juga : Alita, Uji Coba Smart Pole Untuk Pengembangan Smart City di Sumedang
Lantas, apa saja tantangan nyata yang dihadapi, dan bagaimana solusinya? Mari kita telusuri lebih dalam.
Serat Optik: Bukan Lagi Sekadar Infrastruktur, Tapi Strategi Nasional
Dr. Denny Setiawan, Direktur Strategi & Kebijakan Infrastruktur Digital KOMDIGI, dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan arsitektur digital yang holistik.
“Data center, backbone, SKKL, dan jaringan serat optik hingga ke rumah-rumah—semuanya harus terintegrasi,” ujarnya.
Ini bukan sekadar wacana. Laporan Telecom Review Asia memproyeksikan pertumbuhan pasar serat optik Asia Pasifik sebesar 15,9% per tahun hingga 2028. Angka yang tak bisa dianggap remeh.
Alita, salah satu pemain kunci di industri ini, sudah mengambil langkah nyata. Sejak 2020, mereka mengimplementasikan Optical Network Management System integrated (ONMSi).
Hasilnya? Denda layanan turun 98%, efisiensi perawatan preventif naik 22%, dan perawatan korektif lebih efisien 56%. “Kami tak ingin hanya jadi penonton dalam transformasi digital ini,” tegas Teguh Prasetya, Direktur Utama Alita.
Tantangan di Lapangan: Dari Regulasi hingga Estetika Kota
Jerry Siregar, Ketua Umum APJATEL, mengungkapkan masalah klasik: harmonisasi regulasi. “Rencana tata ruang seringkali tak terinformasikan ke pemilik jaringan utilitas. Akibatnya, penataan jaringan jadi kacau,” keluhnya.
Namun, ada angin segar. Kini, penataan serat optik mulai memperhatikan estetika dan keamanan kota—sebuah kemajuan yang patut diapresiasi.
Viavi Solutions, mitra teknologi dalam seminar ini, menawarkan solusi pengujian dan penjaminan kualitas. “Kami membantu percepat konektivitas dan pastikan keandalan jaringan,” ujar Rajesh Rao, Vice President Sales Viavi.
Kolaborasi semacam inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia digital yang maju.
Transformasi digital bukanlah perlombaan sprint, melainkan maraton. Dengan serat optik sebagai tulang punggungnya, Indonesia setidaknya sudah berada di jalur yang tepat. Pertanyaannya sekarang: seberapa cepat kita bisa berlari? (Icha)