Telko.id – Fixed Mobile Convergence atau FMC kini kembali sedang digarap habis-habisan oleh operator selular maupun operator fixed broadband. Pasalnya, menurut para operator itu, masyarakat Indonesia sedang membutuhkan koneksi internet yang seamless atau tidak terputus di mana pun.
Hal ini pun semakin ramai diperbincangkan karena IndiHome, anak perusahaan Telkom baru saja diumumkan akan bergabung dengan anak perusahaan Telkom lainnya yakni Telkomsel.
Ya, penggabungan ini diharapkan dapat mempercepat penetrasi internet yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Yang, setelah pandemic covid, ternyata kebiasaan berdigital ini tidak menurun bahkan terus dibutuhkan karena sudah terbiasa.
Nah, dengan menggabungkan antara layanan Fixed broadband dengan selular atau mobile ini atau disering disebut juga dengan Fixed Mobile Convergence (FMC), diharapkan bisa menjadi mesin pertumbuhan keuangan terbaru bagi operator telekomunikasi di tengah tekanan terus menurunnya Average Revenue Per User (ARPU) karena perang harga dan saturasi di layanan seluler.
Baca juga : Konvergensi Layanan Telekomunikasi Tidak Bisa Di Tolak?
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin menyakini FMC bisa menjadi mesin pertumbuhan baru di sisi keuangan bagi operator jika tidak terjebak dengan perang harga layaknya yang terjadi di layanan mobile broadband.
“FMC harus dijadikan sebagai era baru layanan broadband di Indonesia dimana dari sisi kecepatan pelanggan merasakan true broadband, dari sisi harga terjangkau, dan pelayanan purna jual membuat nyaman pelanggan,” kata Doni dalam acara Indotelko bertajuk “Babak Baru Layanan Broadband Bersama Fixed Mobile Convergence” di Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Diingatkannya, jika kembali terjebak ke dalam perang harga ketika menyelenggarakan FMC, maka yang dirugikan tidak hanya operator tetapi masyarakat.
“Indonesia ini secara kecepatan internet tidak pernah bagus rankingnya di Asia Tenggara, kalau FMC ternyata sama saja dengan era 3G, 4G, atau 5G, lama-lama masyarakat bisa apatis dengan teknologi baru dan beranggapan itu hanya bagian dari gimmick pemasaran,” tegasnya.
SVP Corporate Communication & Investor Relation Telkom Ahmad Reza mengakui, FMC adalah bisnis baru bagi perusahaan operator.
Berdasarkan studi top 30 perusahaan telko global berdasarkan revenue pada 2021 oleh Capital IQ, Telkom, Kearney, sepanjang 2011-2021 industri telko tetap tumbuh sebesar 2 persen.
Di sisi lain untuk Indonesia, ada peluang dari sisi fixed broadband lantaran penetrasi layanan ini baru 14 persen hingga 2021, berdasar data McKinsey Analysis Oxford Economic, Analysis Mascon, Telkom.
Sementara itu, masih dalam studi sama, benchmark global menunjukkan korelasi antara GDP per kapita dengan penetrasi fixed broadband.
Di Indonesia sendiri GDP per kapita diperkirakan tumbuh 6 persen CAGR, atau naik dari 51.000 dollar AS ke 70.000 dollar AS pada 2027, yang mana hal itu akan mendorong penetrasi fixed broadband dari 14 persen menjadi 23 persen pada 2023.
“Bagi Telkom, sejalan dengan strategi korporasi Five Bold Moves, harus ada inovasi bisnis yang menguntungkan masyakarat dan juga negara,” ujar SVP Corporate Communication & Investor Relation Telkom Ahmad Reza dalam acara sama.
Reza menambahkan bahwa Telkom melihat besarnya peluang pasar di fixed broadband karena penetrasinya baru 14 persen dibanding mobile broadband (wireless).
“Kalau dengan FMC ini kita bisa dapat next 5 juta pelanggan dalam 5 tahun pertama. Bayangkan kalau kita gabungkan Indihome dengan Orbit nanti yang kick of pemasarannya akan dilakukan pada Agustus mendatang,” kata Reza menambahkan.
Dijelaskannya, pencapaian target 5 juta pelanggan dilakukan dengan cross selling, baik untuk pengguna Indihome dan pengguna Telkomsel. Pemasarannya juga tidak akan massif karena akan menggunakan skema one on one selling. Serta sasaran utamanya adalah pengguna keluarga.
Nantinya akan ada nama produk baru “gabungan” Indihome dan Telkomsel ini. Harga produk baru ini, juga tidak akan di atas ARPU Indihome di Rp 265.000 dan tidak akan di bawah ARPU Orbit Rp 70.000.
Sementara Group Head Indirect Channel Management XL Axiata Junius Koestadi mengklaim, XL Axiata merupakan pionir FMC di Indonesia saat ini dengan menggabungkan layanan Link Net dalam produk XL Satu.
Saat ini XL Satu sudah memiliki 350.000 pelanggan, atau melebihi target 30 persen pelanggan dari sebelumnya. XL Axiata pun kemudian menargetkan mendapatkan 40 persen pelanggan baru di tahun ini.
“FMC ini demandnya ada, dari survei kami pelanggan menyukai layanan XL Satu karena easy to manage, ada single app, single bill, single kuota dan lainnya yang belum ada di layanan operator negara lain,” kata Junius.
Dengan layanan FMC XL Satu ini, XL Axiata berani menargetkan layanan ini akan tersedia di lebih dari 150 kota pada 2025.
Menurut dia, tantangan terbesar layanan FMC ini adalah integrasi jaringan mobile XL Axiata dengan mitra, bagaimana menyatukannya dengan cepat.
“Tantangan lain dari sisi konsumen, yakni bagaimana mengkomunikasikan XL Satu dan benefitnya ke konsumen. Kami selalu bilang ini internet untuk kebutuhan di luar rumah, di rumah dan berbagi ke keluarga,” lanjutnya.
Analis BRI Danareksa Niko Margaronis mengatakan, ada perbedaan anatra layanan 5G dan FMC. Saat ini, kebutuhan penggunaan 5G di Indonesia belum banyak, yakni baru untuk segmen enterprise dan fixed wireless.
Dibandingkan dengan 5G, yang sudah hampir memasuki tahun 3 di Indonesia ini, kemajuannya boleh dibilang stagnan. Apalagi, 5G ini lebih merupakan dorongan dari para manufaktur saja, yang nota bene menjual perangkat. Berbeda dengan layanan FMC ini yang memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Walau pun, Niko menilai, FMC ini baru permulaan.
“Saya lihat ini hal baru karena dulu selalu mobile service, FMC ini baru permulaan. Sementara penetrasi fixed broadband bisa 14 persen juga didorong oleh double play konvergensi layanan TV dan internet. FMC ini bisa jadi next double play yang bisa dorong penetrasi fixed broadband jadi 20-30 persen ke depannya,” kata Niko.
Ia juga menyoroti adanya peluang pendapatan baru operator dengan FMC. Sebab ada estimasi tambahan Rp 200 ribu untuk ARPU. Di layanan mobile, ARPU antara Rp 40.000-Rp 45.000. “Itu very big plus, biaya bisa naik untuk ningkatin ARPU, tapi tetap bisa drive more revenues operator yang sekarang,” lanjutnya.
Selain bisnis baru yang memberikan peluang pendapatan baru, FMC menurut Niko juga mendorong operator fokus bagaimana memberikan offering layanan yang lebih baik ke pelanggan sehingga ARPU pun bisa lebih sehat.
Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Heru Sutadi menambahkan untuk konsumen ada beberapa catatan yang diberikan BPKN terhadap operator yang memberikan layanan FMC.
Pertama, diharapkan jika ada konvergensi Fixed broadband dan mobile broadband, layanan jangan berubah sehingga jangan sampai ada mati HP gara-gara layanan berubah.
Kedua, jangan ada perubahan produk. Karena yang penting pelanggan enggak berubah karena pelanggan punya hak kenyamanan dan hak mendapatkan pelayanan yang baik.
Ketiga, jangan ada yang dibebankan ke pelanggan dan pelanggan jangan dipaksa masuk FMC, misal dengan penambahan alat, karena tanpa dipaksa pun masyarakat butuh layanan internet yang stabil. “Keempat, sosiaslisasi yang baik kepada masyarakat. Jangan Over Promised atau bikin pelanggan harapannya berlebihan dengan layanan ini,” tutupnya. (Icha)