spot_img
Latest Phone

Huawei Watch D2, Bisa Pantau Tekanan Darah 24 Jam

Telko.id - Huawei resmi menghadirkan Huawei Watch D2 di...

Yuk Bikin Galaxy Z Flip6 Jadi Stand Out dengan Flipsuit Case

Telko.id - Huawei resmi memperkenalkan Huawei MatePad Pro 12.2-inch,...

Oppo Pad Air2

Oppo Reno11 Pro (China)

Tecno Spark 20

ARTIKEL TERKAIT

Neobank, Potensi nya Besar di Indonesia, Tapi?

Telko.id – Neobank atau bank yang beroperasi 100% digital atau bekerja sama dan mentransformasi bank yang sudah memiliki lisensi menjalankan usaha perbankan memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan di Indonesia.

Namun, Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara mengingatkan bahwa tidak semua neobank di dunia mengalami keberhasilan. Di Australia, neobank bernama Xinja hanya bertahan 3 tahun dan mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 setelah gagal mendapatkan modal tambahan.

“Pelajaran yang bisa kita petik, Xinja tidak mampu bersaing dengan bank konvensional karena tidak memiliki program pengajuan pinjaman (lending) dan program yang fokus kepada UMKM. Pada intinya, neobank juga harus dapat menghasilkan revenue dan efisiensi biaya,” tutur Rudiantara pada acara press briefing, Kamis (14/10).

Neobank lain yang juga kurang berhasil adalah N26 yang berasal dari Jerman. Menurutnya, meski mampu melakukan ekspansi di enam negara Eropa, AS, dan Brazil, N26 harus menutup operasinya di Inggris pada 2020.

“Pasalnya, lisensi yang dimiliki oleh N26 di Eropa tidak dapat digunakan di UK setelah Brexit. Neobank ini juga tidak dapat menarik banyak peminat di UK. Setelah dua tahun beroperasi, hanya ada 418.000 pengguna aktif bulanan,” tambahnya.

Namun, Rudiantara juga menegaskan bahwa Neobank ini sebuah keniscayaan. “Digitalisasi layanan perbankan adalah keniscayaan dan saat ini bank konvensional sudah mulai beranjak ke model operasi secara digital. Data OJK menyatakan sekitar 85-95% transaksi keuangan di bank BUKU III dan IV sudah dilakukan melalui layanan digital dan di luar kantor bank,” ujar nya.

Saat ini, Indonesia telah memiliki tiga regulasi yang mengatur neobank agar dapat beroperasi. Pertama, POJK No.38/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Terbitnya aturan tersebut memberikan peluang kepada bank untuk dapat memiliki acuan bank dalam mengendalikan risiko atas pemanfaatan teknologi informasi sehingga operasional bank dapat berjalan dengan baik.

Di tahun 2018, terbit POJK No.12/POJK.03/2018 Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum sebagai panduan untuk mendukung peningkatan efisiensi operasional bank, meningkatkan kualitas layanan keuangan kepada nasabah dengan lebih cepat, mudah, dan sesuai kebutuhan, serta mendorong inovasi layanan perbankan melalui kolaborasi bank dalam ekosistem digital.

Terakhir, dengan makin berkembangnya perbankan digital di Indonesia, OJK kemudian menerbitkan POJK No.13/POJK.03/2021 Penyelenggaraan Produk Bank Umum dan POJK No.12/POJK.03/2021 Bank Umum. Aturan ini mempertegas pengertian Bank Digital, yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), transformasi atau melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking.

Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan PADG No. 23/2021 tentang Standar Nasional Open API (SNAP) sebagai salah satu framework regulasi yang mendukung aktivitas neobank. Melalui standardisasi tersebut, koneksi antara lembaga perbankan dan penyelenggara pembayaran menjadi lebih efisien sekaligus mengurangi barrier to entry.

Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, menegaskan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Di satu sisi, neobank memiliki fitur-fitur yang lebih inovatif dan customer centric , seperti pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), machine learning, dan fitur keamanan yang lebih mudah diakses (pembekuan rekening melalui aplikasi).

Namun, ada juga beberapa potensi risiko dalam tren neobank di masa depan seperti risiko serangan keamanan siber, risiko terhadap kebocoran data pribadi nasabah, dan juga risiko kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.

“Risiko-risiko tersebut sebetulnya merupakan risiko yang sama dialami oleh perusahaan fintech, di mana OJK sudah mengatur platform penyedia jasa keuangan agar memitigasi kemungkinan risiko yang akan hadir. Namun, regulator juga harus dapat menyeimbangkan peran antara mengeluarkan aturan untuk memitigasi risiko baru, tetapi juga memberi kesempatan bagi neobank untuk berinovasi,” ujar Mirza.

Mirza juga menambahkan besarnya potensi pasar untuk neobank di Indonesia. “Awalnya, dengan pemanfaatan teknologi, neobank akan menyasar kalangan underbanked, terutama kelompok usia muda serta masyarakat di wilayah urban. Namun, pada tahap berikutnya, neobank juga perlu menyasar kalangan unbanked demi mendukung peningkatan inklusi keuangan Indonesia,” kata Mirza.

“Terbitnya aturan SNAP adalah langkah yang sangat baik dari BI untuk mempercepat digitalisasi. Namun, yang tetap harus dijaga adalah proteksi data pribadi untuk menghindari penyalahgunaan data nasabah,” kata Mirza.

Oleh karena itu, IFSoc mendukung langkah Bank Indonesia yang meluncurkan Standardisasi API Standar Nasional Open API (SNAP) melalui PADG No. 23/2021.

“Terbitnya aturan SNAP adalah langkah yang sangat baik dari BI untuk mempercepat digitalisasi. Namun, yang tetap harus dijaga adalah proteksi data pribadi untuk menghindari penyalahgunaan data nasabah,” kata Mirza.

Terlebih, kolaborasi neobank dengan P2P lending akan menjadi sangat krusial yang pada 2020, pertumbuhan pinjaman mencapai Rp21 triliun (CAGR 2017-2020: 43%). Terakhir, upaya untuk memberikan edukasi, baik literasi digital dan keuangan, kepada nasabah neobank perlu terus dilakukan oleh pemerintah dan asosiasi.

“Di tengah maraknya kasus penipuan dan pembobolan bermodus transaksi digital, edukasi merupakan hal esensial mengingat neobank berbasis internet dan rendahnya literasi digital dan keuangan masyarakat pada saat ini. Data dari Kominfo menyebutkan bahwa indeks literasi digital Indonesia saat ini berada pada tingkatan menengah, yaitu 3,47/5. Sementara, tingkat literasi keuangan sebesar 38.03% berdasarkan data dari OJK,” ungkap Mirza menambahka.

Itu sebabnya, perlu Indonesia belajar banyak dari kesuksesan neobank di Korea Selatan dan Tiongkok. Ini perlu menjadi perhatian pemerintah dan sektor perbankan, terutama dalam mendorong kolaborasi antara neobank dengan ekosistem digital lainnya, seperti e-commerce dan fintech.

Kunci keberhasilan KakaoBank di Korea Selatan adalah membangun ekosistem dengan menjangkau 50 juta pengguna aplikasi chatting KakaoTalk, 22 juta pengguna e-wallet KakaoPay, dan 70 juta pengguna media sosial Kakaostory. (Icha)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

ARTIKEL TERBARU