Telko.id – Sebuah ;embaga riset di Kanada, CIGI (Centre for International Governance and Innovation) belum lama ini menggelar sebuah survei terkait pengasawan dalam berinternet. Menurut lembaga ini, warga biasa lebih nyaman dengan pengawasan pemerintah.
Dalam sebuah survei internasional, yang mengikutsertakan 24.000 responden di 24 negara), CIGI mengklaim lebih dari 70 persen ingin “dark net” ditutup (yang bertumpu pada asumsi bahwa 70 persen dari orang-orang paham dengan apa yang disebut “dark net”).
Sekadar informasi, dark net sendiri merupakan sebuah jaringan overlay yang hanya dapat diakses dengan perangkat lunak, konfigurasi, atau otorisasi khusus, sering menggunakan protokol komunikasi non-standar dan port. Perbedaan besar antara internet biasa dan rarknet adalah, darknet bergerak secara lokal dan benar-benar anonim.
Kekesalan terbesar terhadap darknet ada di Indonesia, India dan Meksiko, dimana 80 persen dari semuanya mengatakan itu harus dihilangkan. Sementara AS dan Australia menyusul di barisan berikut dengan 72 persen.
Pada saat yang sama, rata-rata lebih dari 26 persen pengguna tidak percaya dengan pemerintahnya dalam memantau keseluruhan komunikasi mereka tanpa sepengetahuan mereka.
Di antara penggambaran menakutkan dari dark-web – “gambar pelecehan anak, pembelian narkotika ilegal atau merencanakan pembunuhan”, misalnya – peneliti CIGI, Eric Jardine mengakui bahwa “menutup jaringan anonimitas bukan solusi jangka panjang yang layak, karena mungkin akan terbukti tidak efektif.”
Seperti dilaporkan The Register, Rabu (30/3), hanya 8.47 persen responden, rata-rata, mengatakan bahwa mereka percaya sepenuhnya pada pemerintah mereka. Warga paling yang percaya pada pemerintah mereka berada di Tunisia, dengan angka 27 persen, dan Pakistan, pada angka 21 persen.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memahami bahwa enkripsi yang tidak bisa dipecahkan melindungi hal-hal seperti perbankan dan belanja online mereka, serta melindungi dari kejahatan: 60 persen orang Amerika dan 63 persen dari total sampel menilai “perusahaan tidak harus mengembangkan teknologi yang melindungi penegak hukum mengakses isi data online pengguna.”
Mengenai akses ke data warga, survei mengatakan 70 persen lebih pengguna berpikir bahwa lembaga harus memiliki akses ke konten warga untuk “alasan keamanan nasional yang sah,” sementara 30 persen-nya tidak setuju.
Meski tentu saja, pemahaman warga tentang apa yang dimaksud alasan “valid”bisa saja sangat bervariasi, dalam daftar negara-negara yang termasuk Australia, Brazil, Kanada, Cina, Mesir, Perancis, Jerman, Inggris, Hong Kong, India, Indonesia , Italia, Jepang, Kenya, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Polandia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Swedia, Tunisia, Turki dan Amerika Serikat.
Tidak mengherankan jika warga Turki (45 persen tidak setuju dengan akses pemerintah) dan Brazil (41 persen menolak), misalnya, kurang mempercayai pemerintah mereka ketimbang mereka yang berada di Amerika (31 persen tidak setuju), Prancis (29 persen tidak setuju) atau Australia (25 persen tidak setuju). Pasalnya, responden dari Turki dan Brazil saat ini memang tengah mengalami oposisi yang menggemparkan terhadap pemerintah mereka.
Yang menarik justru apa yang terjadi di negara-negara seperti Korea Selatan, Jerman, Hong Kong dan Jepang, dimana semuanya mencatat lebih dari 40 persen responden menentang akses badan keamanan nasional untuk komunikasi mereka.