Telko.id – Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) optimis bahwa program kecepatan internet mobile broadband 100 Mbps pada 2029 bakal tercapai. Target ambisius ini bukan sekadar angka—ini adalah fondasi untuk lompatan ekonomi digital negeri ini.
Dalam RPJMN 2025-2029, pemerintah memasukkan peningkatan kecepatan internet sebagai prioritas nasional. Arief Tri Hardiyanto, Inspektur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, menjelaskan bahwa pencapaian target ini memerlukan transformasi infrastruktur dan regulasi secara menyeluruh. “Kami tak hanya membangun menara BTS, tapi ekosistem digital yang sehat,” tegasnya.
Lantas, bagaimana strategi konkret untuk mewujudkan mimpi besar ini? Dan apa saja rintangan yang harus dihadapi?
Trifecta Teknologi: Fiber Optic, Microwave, dan Satelit
Pemerintah akan mengadopsi pendekatan multi-teknologi untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Fiber Optic (FO) menjadi tulang punggung utama karena kecepatan transmisi datanya yang superior. “Fiberisasi melalui FO adalah prioritas, terutama untuk backhaul jaringan,” jelas Arief. Teknologi microwave dan satelit akan melengkapi untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau kabel.
Optimalisasi ini sejalan dengan upaya global. Seperti dikutip dalam pengalaman ISP Australia, kombinasi teknologi terbukti efektif mencapai kecepatan tinggi. Namun, tantangan geografis Indonesia jauh lebih kompleks.
Lelang Frekuensi: Membuka Jalur Data Lebih Lebar
Pemerintah pun menyiapkan serangkaian lelang frekuensi untuk memperluas kapasitas jaringan. Spektrum 1,4 GHz akan menjadi pembuka, diikuti 700 MHz, 2,6 GHz, dan puncaknya di 26 GHz. “Setiap pita frekuensi punya karakteristik unik,” ujar Arief. “2,6 GHz ideal untuk urban, sementara 700 MHz menjangkau pedesaan.”
Proses ini tidak tanpa kontroversi. Seperti dibahas dalam analisis lelang frekuensi 1,4 GHz, penetapan harga dan mekanisme lelang sering menjadi perdebatan. Apalagi dengan rencana simultan lelang 700 MHz dan 26 GHz yang sedang disiapkan.
Baca Juga:
Kolaborasi Kunci: Regulator, Operator, dan Masyarakat
“Tak ada satu pihak pun yang bisa bekerja sendiri,” tegas Arief. Pemerintah berperan sebagai regulator yang menciptakan iklim kondusif. Operator seluler bertugas membangun infrastruktur, sementara masyarakat perlu mendukung melalui adopsi teknologi.
Konsep berbagi infrastruktur menjadi solusi efisiensi. Menara BTS yang sudah dibangun suatu operator bisa digunakan bersama jika ada kapasitas menganggur. Praktik ini sudah berjalan di beberapa wilayah dan terbukti menekan biaya operasional.
Regulatory Cost: Durian Berduri Pembangunan Digital
Biaya regulasi memang masih menjadi ganjalan utama. “Ini menyangkut penerimaan negara,” ujar Arief. Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang berdialog intens dengan Kementerian Keuangan dan DPR untuk mencari formula win-win solution.
Masalah ini kompleks karena menyangkut keseimbangan antara investasi operator dan kewajiban fiskal negara. Solusinya mungkin terletak pada insentif jangka pendek untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
Di tengah semua tantangan, pemerintah tetap optimis dengan kombinasi strategi teknologi, alokasi frekuensi, dan kolaborasi multipihak, target 100 Mbps bukanlah mimpi di siang bolong—tapi pijakan menuju Indonesia Digital 2045. (Icha)