Telko.id – Fenomena ad blocking atau pemblokiran iklan terjadi dengan cepat dan dampaknya sama besar dengan fenomena video streaming. Para pelaku industri di Asia Pasifik berpendapat bahwa, meskipun jumlah pengguna yang menginstal ad blocker terus meningkat, pemasar dan pengiklan tidak terlalu khawatir tentang hal ini. Benarkah pemasar tidak perlu khawatir dengan fenomena ini?
Industri periklanan tengah menghadapi krisis akibat kemunculan ad blocking.
Banyak dari kita mungkin masih ingat tentang Netflix yang kemunculannya tidak dianggap serius oleh kompetitornya. Namun, kita bisa lihat betapa sukses Netflix sekarang. Di Indonesia ada iFlix, perusahaan yang memposisikan dirinya sebagai “Netflix-nya Asia Tenggara”, kehadirannya bisa jadi akan mengguncang dunia industri. Intinya, industri periklanan perlu menanganggapi ad blocking dengan serius dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang akan hilang begitu saja.
Beberapa orang berpendapat “kalau tidak rusak, mengapa diperbaiki?”. Seperti kita tahu, saat ini konsumen banyak mengkonsumsi konten digital melalui mobile (khususnya aplikasi mobile) dimana software ad blocking tidak berfungsi, sehingga publisher tidak akan terpengaruh. Namun, ini adalah pemikiran jangka pendek dan logika di balik pendapat ini masih dipertanyakan. Manusia tidak akan pernah puas, dan teknologi terus berkembang. Pengguna tentu akan mencari pengalaman yang berbeda dari cara-cara yang gencar dilakukan publisher yang terus berusaha mengambil keuntungan dari ad inventory.
Mengedukasi konsumen/pengguna bisa menjadi solusi untuk masalah tersebut. Jika pengguna mengerti sisi ekonomis dari web dan melihat iklan sebagai bagian dari transaksi yang mendukung terciptanya konten, mereka akan berhenti menginstal ad blocker. Meskipun hal ini terlihat baik secara teori, namun pada kenyataannya hal ini tidak bekerja sebaik yang diharapkan. Banyak orang, termasuk istri saya (yang menjadi konsumen reguler) merasa seolah-olah mereka membayar untuk konten web. Sulit untuk membuat pengguna menaruh simpati pada publisher, terutama ketika mereka diserbu iklan secara terus-menerus.
Bagaimanapun, fenomena ad blocking ini nyata dan kita harus bisa menanganinya sebaik mungkin. Dan semoga kita bisa memberikan pengalaman yang lebih baik kepada para konsumen.
Seiring dengan meningkatnya popularitas fenomena ad blocking, akan muncul pemenang dan juga pecundang. Publisher yang paling rentan adalah mereka yang memiliki konten komoditas(hardsell), kurang bermakna, berkualitas rendah dan konteksnya tidak relevan.
Mereka yang ingin menang harus lebih berfokus pada pengalaman pengguna. Walaupun sebenarnya hal ini tidak serta merta membuat masalah ad blocking menghilang. Mereka yang cukup beruntung karena memiliki konten bernilai dan relevan bahkan bisa konsumen rela membayar untuk bisa mengakses konten tersebut. Kita bisa lihat dari jumlah publisher yang memasang iklan pada konten berbayar. Sedangkan, mereka yang kurang beruntung terpaksa merelakan sebagian pendapatan mereka untuk memberikan user experience yang lebih baik.
Roopal Julka, Head of Accuen Malaysia, divisi programatik Omnicom, baru-baru ini mengatakan bahwa ad blocking bisa menjadi kesempatan bagi pasar untuk memahami nilai tambah yang sebenarnya dari iklan native. Pada akhirnya, bentuk iklan nantinya tidak akan terlalu mengganggu dan akan ada lebih banyak publisher yang mengadopsi iklan native. Hal ini penting untuk dilakukan dengan konten yang relevan. Misalnya, ada konten tentang perangkat mobile, disponsori oleh brand teknologi dan disajikan secara programatik, maka konten ini tidak akan menciptakan respon yang baik dari audience yang sedang mengumpulkan informasi soal liburan. Contoh-contoh semacam ini banyak dijumpai di web.
Iklan yang tidak tersaring serta retargeting yang sistematik adalah salah satu kunci kenapa sejumlah audience menggunakan ad blocker. Meski “retargeting” untuk mengirimkan pesan berurutan itu masuk akal, kita perlu berpikir tentang bagaimana membuatnya lebih relevan dan tidak berulang-ulang. Contohnya, menyajikan konten yang sama kepada audience yang berada dalam platform e-commerce tanpa membedakan di situs mana mereka berada, adalahpenggunaan teknologi yang kurang optimal dan cenderung menganggu.
Bagaimanapun juga, dengan kemunculan ad-tech, kemampuan untuk menyasar audience yang spesifik berdasarkan atribut dan ketertarikan mereka menjadi lebih penting daripada konteks yang Anda ingin tuju ke audience. Kita harus mengoreksi hal itu. Fokus pada konteks, yang sempat menjadi hal terpenting di bisnis periklanan, telah hilang.
Jadi, meski kemunculan ad blocking menjadi ancaman yang sangat serius dan menyita banyak perhatian dari industri kita, hal ini juga menjadi kesempatan besar untuk mengkoreksi adanya ketidakseimbangan. Konteks dan pola pikir orang saat mereka datang ke situs Anda memiliki arti yang sama besarnya denganjati diri mereka. Publisher yang mampu mencapai keseimbangan ini akan berhasil meraih kesuksesan.