Telko.id – Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pengakhiran dini proyek satelit HBS atau Hot Backup Satelit (HBS) senilai Rp5,2 triliun dengan alasan masalah anggaran.
Hal ini diakui oleh Direktur Utama BAKTI Kominfo Fadhilah Mathar, di kantornya, Jakarta, Selasa (24/10). “Pemerintah punya resources yang terbatas. Kami akan prioritasi untuk pembangunan ground segment dari Satria-1 yang memerlukan anggaran yang tidak kecil, sangat besar,” ungkap nya.
Terlebih lagi, satelit HBS itu dirancang untuk dua fungsi yakni untuk untuk kapasitas cadangan; dan kedua, menjadi cadangan apabila satelit Satria-1 gagal meluncur.
Nah, Satria-1 sudah berhasil meluncur. “Mudah-mudahan in orbit pada November dan beroperasi di Januari 2024 sehingga urgensi terhadap HBS semakin menurun tetapi RTG nya sendiri untuk remote untuk ground segment-nya yang akan digunakan sekolah, puskesmas, kebutuhan tetap ada,” jelasnya.
Baca juga : Target Satgas BAKTI Kominfo, Akhir Tahun 5000 BTS On Air
Dengan pengakhiran dini proyek satelit HBS ini akan ada pengembalian dana yang sudah dibayarkan oleh pemerintah sebesar Rp3,5 triliun ditambah cost of money oleh konsorsium Kemitraan Nusantara Jaya (KNJ).
Konsorsium Kemitraan Nusantara Jaya (KNJ) yang terdiri dari PT Satelit Nusantara Lima, PT DSST Mas Gemilang, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan PT Palapa Satelit Nusa Sejahtera.
Rencananya, dana tersebut akan dialokasikan untuk pembelian pembelajaran yang terkait dengan ground segment yang tersebar di 37.500 wilayah RI.
“Jadi itu alasan utamanya karena itu tadi, prioritas harus dilakukan BAKTI karena keterbatasan anggaran,” paparnya.
Sedianya, satelit HBS ini akan meluncur tahun ini juga untuk menempati slot orbit 113 derajat Bujur Timur (BT). Di mana, saat ini proses pengerjaan, perakita satelit itu sudah mencapai 80%.
Direktur Infrastruktur Bakti Kominfo, Danny Januar Ismawan menjelaskan skema proyek HBS ini merupakan penyediaan barang dan jasa.
“Konsep HBS itu kan sebenarnya konsep condosat atau satu satelit tapi pemakaiannya berbagi,” ujar Danny di kantor Bakti Kominfo, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Danny menceritakan ketika awal pengadaan satelit HBS, perjanjiannya bahwa pemerintah menyediakan 50% dari kapasitas dari total 160 Gbps yang dimiliki satelit HBS.
“Nah, jatah pemerintah atau Bakti menyediakan sebesar 50%-nya, artinya 80 Gbps. Ketika kita melakukan pengakhiran kontrak, slot orbitnya memang milik konsorsium, bukan pemerintah,” ucapnya.
“Jadi, dengan adanya pengakhiran, konsorsium itu punya rencana bisnis sendiri. Ya, jadi dia tetap melakukan penyelesaian satelit itu,” tutur Danny.
Dapat Review Dari Jamdatun
Indah, panggilan akrab dari Fadhilah Mathar juga menyebutkan bahwa BAKTI mendapatkan masukan atau review dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalankan proyek penyedia layanan 4G di desa yang masuk kategori 3T (Terdepan, Terpencil, dan Terluar).
Pasalnya, Indah pun tidak mau ketika pembangunan BTS 4G ke depan nya itu masih tersangkut dengan kasus Hukum. “Harus clear,” ucapnya.
“Ketika kami melanjutkan itu tentu kami harus melanjutkan dengan proses bisnis dan tata kelola yang comply. Itu yang kami lakukan dengan menungu proses hukum yang berlangsung,” jelas Indah.
“Dan ketika kami memperoleh review Jamdatun kami akan lihat itu, kami sedang analisis bagaimana melakukan dan melanjutkan proses ini tanpa ada persoalan-persoalan hukum yang punya dampak merugikan masyarakat,” imbuhnya.
Alasan lainnya, menurut Indah, adalah karena tidak semua menara BTS 4G dibangun pemerintah. Ia menyebut ada peran pihak swasta.
Tak heran, target BAKTI dalam membangun BTS 4G ini terjadi penurunan. Dari 7.904 menjadi 5.000 BTS saja.
“Kedua, kenapa berukurang? Memang karena pemerintah tidak bangun sendiri, swasta juga melakukan pembangunan di beberapa wilayah yang ternyata berdekatan site, yang waktu itu analisa oleh Kominfo. Prinsip BAKTI, ketika swasta ada disana, kami tidak masuk di sana, itu sebenarnya suatu hal yang positif,” papar Indah.
Sedangkan untuk diwilayah timur, ada sekitar 600 BTS yang masih ditunda pembangunannya. “Perlu ada kajian ulang karena kondisinya khusus, terutama karena masalah keamanan. Kami mengedepankan keamanan orang-orang kita sehingga mungkin belum waktu dekat ini akan dikerjakan. Kalau pun dikerjakan kami akan gandeng pihak TNI,” ungkap Indah.
Satelit Satria-2 dan Palapa Ring Integrasi
Untuk satelit Satria-2 dan Palapa Ring Integrasi, BAKTI sendiri masih akan melakukan evaluasi. “Kami akan lakukan evaluasi proses bisnis dan kami pastikan tidak ada aturan yang dilanggar baik berupa administrasi negara, keuangan negara, dan pidana,” kata Indah.
Walau demikian, karena Satria-2 telah masuk dalam Green Book Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sehingga skema yang dilakukan dimungkinkan melalui direct lending ke pemerintah Indonesia.
Adapun untuk nilai, dipastikan lebih mahal dari Satria-1 yang menghabiskan dana US$540 juta.
Untuk Palapa Ring Integrasi, Indah mengatakan BAKTI akan terus berjuang agar bisa masuk ke Green Book karena permintaan masyarakat terhadap internet yang sangat besar, tidak semuanya dapat diselesaikan dengan jaringan teresterial.
“Palapa Ring Integrasi sedang kami evaluasi kembali. Studi kelayakannya juga sedang kami perbaiki karena kita ingin ini tidak hanya untuk jaringan tulang punggung (backbone) tetapi juga untuk jaringan pengalur (backhaul) sehingga nanti pengalaman pengguna internet Indonesia akan jauh lebih baik,” kata Indah.
Untuk pembiayaan proyek Palapa Ring Integrasi, sambungnya, sudah masuk di PSN. Nanti akan BAKTI tanyakan kembali kepada bappenas. (Icha)