Telko.id – Niat pemerintah membuat program USO atau Universal Service Obligation adalah agar wilayah yang tidak layak komersial tetap mendapatkan layanan telekomunikasi. Sesuai dengan amanah UUD 45 Pasal 28C & 28F yang dilaksanakan dengan UU 36 tahun 1999. Dan Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika atau BP3TI menjadi pelaksana yang dibentuk untuk mengelola dana kontribusi USO dari para penyelenggara telekomunikasi dan melaksanakan program USO indonesia.
Namun, dalam perjalanannya, biaya penyediaan jaringan yang dipikul gotong-royong, hanya satu operator pemenang seleksi saja yang dapat menggunakan jaringan USO tersebut. Ditambah lagi, operator dominan memiliki daya subsidi tertinggi sehingga selalu dapat memberikan penawaran terbaik dan terpilih menjadi penyediaan Akses Seluler. Baik Tower, backhaul maupun BTS.
Masalah ini yang dianggap oleh Nonot Harsono, Pengamat Telekomunikasi dari Mastel Institute menjadi kelemahan USO. “USO itu dibayar berkala sesuai kesepakatan tapi hanya operator yang membangun yang dapat menggunakan jaringan akses,” kata Nonot menjelaskan.
Nonot mengusulkan agar BP3TI menjadi pengelola jaringan di seluruh wilayah USO Indonesia. BP3TI juga yang melakukan kerjasama penyediaan jaringan dengan pihak yang memenuhi syarat/kriteria atau penyelenggara jaringan yang ada. Dengan demikian, jaringan USO ini bersifat Open-access bagi semua yang telah memberi kontribusi USO. Dari sisi tarif penggunaan jaringan ditentukan berdasar affordability wilayah. Bahkan bisa saja tarif NOL dan subsidi Opex untuk wilayah pemberdayaan masyarakat.
Dari sisi skema bisnis, USO ini dapat meniru seperti kontrak KPBU Palapa Ring. Di mana, disebutkan skema bisnis nya adalah skema availability payment atau AP dibayarkan oleh BP3TI kepada Badan Usaha penyedia Palapa Ring. Kemudian, dana yang digunakan untuk membayar AP tahunan selama 15 tahun adalah berasal dari kontribusi USO. Di saat yang bersamaan, para Kontributor USO harus membayar sewa kapasitas kepada BP3TI.
Dalam Kerjasama Pemerintah Badan Usaha ini, BP3TI berperan serupa dengan “Operator Jaringan” yang “me-managed-service-kan” penyediaan jaringan kepada BU. Dengan menggunakan skema ini bisa diterapkan pada penyediaan ribuan BTS di wilayah USO, dimana BP3TI berperan sebagai pengelola jaringan di seluruh wilayah USO yang mewakili seluruh kontributor USO.
Agar tatalaksana USO seperti yang diusulkan ini dapat berlangsung, menurut Nonot ada 2 tahap penting yang perlu follow up. Pertama dalam tahap pembangunan. Perlu diatur bagaimana skema kerjasama BP3TI dan Penyedia network di wilayah USO. Apakah Managed-service atau kontrak pengadaan biasa ataukah PPP/KPBU. Kedua perlu diatur juga siapa yang berhak membagun. Apakah existing operator atau kontraktor?
Lalu dalam tahap operasional. Perlu diatur skema kerjasama antara BP3TI dengan operator seluler existing. Apakah sebagai network-capacity provider atau sebagai Service Provider?
Jadi, menurut Nonot perlu ada sedikit Regulasi sisipan untuk USO ini. Yang didalamnya memuat tentang legalisasi pembagian tiga jenis wilayah pembangunan atau penyediaan akses komunikasi dan informasi berupa Peraturan Menteri. Tiga wilayah tersebut adalah Wilayah Komersial yang merupakan wilayah yang operator pasti menggelar jaringan sendiri secara kompetisi. Kemudian, Wilayah Kurang Komersial yang merupakan wilayah yang operator menilai tidak mungkin semua menggelar jaringan sehingga harus dilakukan skema network-sharing sehingga jaringan yang ada dapat digunakan bersama.
Terakhir adalah Wilayah Tidak Komersial. Ini adalah wilayah yang operator pasti tidak membangun karena tidak layak komersial. Inilah wilayah USO yang mesti ditetapkan oleh Pemerintah sebagai justifikasi berlakunya pungutan kontribusi USO. Pada wilayah inilah BP3TI hadir “mewakili” semua kontributor USO dan di wilayah ini juga hanya ada satu infrastruktur bersama.
Pada wilayah USO ini, tidak ada atau tidak dipungut Biaya Hak Penggunaan atau BHP frekuensi. BHP hanya dikenakan pada wilayah selain USO. Dengan demikian BP3TI dapat menggunakan spektrum frekuensi yang mana saja sesuai kebutuhan bersama.
“Dan yang terpenting juga adalah infrastruktur di wilayah USO adalah open-access bagi semua kontributor yang sanggup menyedian jasa telekomunikasi,” ujar Nonot. (Icha)