Telko.id – Saat ini, beberapa negara besar sudah memberlakukan aturan IMEI ini yang artinya, ponsel BM akan sulit masuk. Dan, yang menyedihkan, Indonesia bakal menjadi target utama ‘muntahan’ ponsel BM tersebut. Itu sebabnya, aturan IMEI ini sudah sangat mendesar di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh salah satu komisaris dari distributor besar ponsel di Indonesia. “Di India, aturan IMEI ini sudah diberlakukan. Jika tidak secepatnya melakukan aturan terhadap IMEI ini maka ponsel BM akan semakin membanjiri Indonesia. Ini merugikan Indonesia”.
Saat ini saja, Menurut data dari APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia), sebanyak 20% dari total penjualan ponsel yang beredar di Indonesia adalah ilegal.
Ketua APSI Hasan Aula menyebutkan, 45 – 50 juta ponsel terjual setiap tahunnya di Indonesia. Jika 20% di antaranya adalah ilegal, maka jumlahnya sekitar 9 juta unit per tahun. Bila rata-rata harga ponsel itu sekitar Rp 2,5 juta, maka nilai total mencapai Rp22,5 Triliun.
Akibat dari maraknya ponsel ilegal tersebut, negara menjadi kehilangan potensi pemasukan. Karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dari ponsel ilegal tersebut plus PPh 2.5 persen. “Jadi potensi pajak yang hilang adalah 12.5% x 22.5T sama dengan Rp. 2.8T per tahun”.
Bukan hanya pemerintah, fenomena maraknya ponsel black market ini juga merugikan banyak pihak termasuk pengembang teknologi, operator seluler, dan konsumen. Salah satu cara untuk memonitor keberadaan ponsel ilegal adalah dengan melalui IMEI (International Mobile Equipment Identification).
Memang saat ini, tiga kementerian Indonesia yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi sedang bekerja keras untuk merumuskan aturan IMEI ini. Pasalnya, ketiga kementerian tersebut punya target bahwa 17 Agustus mendatang, aturan tersebut sudah selesai dan akan melakukan penandatanganan bersama terkait regulasi aturan IMEI. Mudah-mudahan, tidak meleset dari rencana. (Icha)