Telko.id – Fakta mengejutkan dari Ookla (Maret 2025) menempatkan Indonesia di peringkat ke-9 kecepatan broadband ASEAN—hanya 40,37 Mbps, kalah dari Vietnam (75,12 Mbps) dan Thailand (93,45 Mbps).
Kondisi ini memaksa pemerintah mengambil langkah strategis: membuka konsultasi publik Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang alokasi frekuensi 2,6 GHz untuk 4G/5G.
Spektrum 2,6 GHz bukan sekadar angka. Pita mid-band ini menyimpan 190 MHz bandwidth—setara jalan tol 10 lajur untuk data—dan mendukung ekosistem perangkat 4G/5G terbanyak kedua global.
Dalam RPJMN 2025-2029, pemerintah menargetkan kecepatan mobile broadband 100 Mbps pada 2029. Tanpa tambahan frekuensi, target itu bisa jadi mimpi di siang bolong.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kini mengajak publik menyempurnakan RPM yang akan menjadi game changer konektivitas digital Indonesia.
Konsultasi terbuka hingga 26 Mei 2025, memberi Anda kesempatan langsung memengaruhi masa lalu internet nasional.
Mengapa Frekuensi 2,6 GHz Penting untuk 5G Indonesia?
Frekuensi 2,6 GHz (2500-2690 MHz) adalah “real estate premium” di dunia telekomunikasi. Dengan moda Time Division Duplex (TDD), pita ini menawarkan tiga keunggulan krusial:
- Kapasitas besar: 190 MHz bandwidth mampu menampung lalu lintas data massal di perkotaan padat.
- Kompatibilitas global: 82% perangkat 5G dunia sudah mendukung band ini, termasuk iPhone 15 series dan Samsung Galaxy S24.
- Efisiensi biaya: Operator bisa meng-upgrade jaringan 4G existing ke 5G tanpa investasi infrastruktur baru.
Analisis Telko.id menunjukkan, alokasi 2,6 GHz bisa meningkatkan kecepatan unduh hingga 2,5x di Jakarta dan Surabaya. “Ini oksigen bagi industri 5G Indonesia,” tegas ahli spektrum frekuensi dari ICT Institute.
Baca Juga:
5 Poin Kunci dalam Rancangan RPM 2,6 GHz
Dokumen setebal 23 halaman ini memuat regulasi teknis dan komersial yang akan menentukan nasib internet cepat Indonesia:
- Alokasi spektrum: 2500-2690 MHz eksklusif untuk mobile broadband dengan teknologi 4G/5G.
- Mekanisme lisensi: Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) berlaku nasional, bukan per wilayah.
- Fleksibilitas teknologi: Operator bebas memilih standar IMT (International Mobile Telecommunications) sesuai kebutuhan.
- Kewajiban operator: Bayar BHP IPFR, gunakan perangkat bersertifikat, dan mitigasi interferensi.
- Penegakan hukum: Sanksi administratif bagi pelanggar, termasuk pencabutan izin.
Poin ketiga menjadi perdebatan sengit. “Dengan membiarkan operator memilih teknologi, kita berisiko membuat fragmentasi spektrum seperti kasus 3G dulu,” kritik pengamat kebijakan telekomunikasi dalam konsultasi publik sebelumnya tentang tarif operator.
Dampak Ekonomi dan Tantangan Implementasi
Studi GSMA memperkirakan, setiap 10 MHz frekuensi 2,6 GHz yang dialokasikan bisa menyuntikkan Rp4,2 triliun ke PDB digital Indonesia. Namun, setidaknya ada tiga tantangan besar:
- Harmonisasi frekuensi: Perlu koordinasi ketat dengan pengguna adjacent band seperti satelit.
- Kesiapan perangkat: 18% smartphone entry-level di Indonesia belum mendukung 2,6 GHz TDD.
- Investasi operator: Biaya refarming frekuensi existing bisa mencapai Rp800 miliar per operator.
Kominfo menjawab kekhawatiran ini dengan mekanisme harmful interference mitigation dan insentif fiskal.
“Kami belajar dari pengalaman konsultasi IoT tahun lalu untuk menyeimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan,” jelas Dirjen SDPPI Kominfo beberapa waktu lalu.
Partisipasi publik dalam konsultasi ini menjadi kunci. Seperti terbukti dalam konsultasi FTP Telekomunikasi Nasional, masukan masyarakat sering kali melahirkan regulasi yang lebih inklusif.
Anda bisa mengirimkan tanggapan resmi melalui email direktorat.sdppi@kominfo.go.id sebelum tenggat waktu.
Ketika negara-negara ASEAN lain sudah berlari dengan 5G, Indonesia tak boleh lagi terjebak dalam persaingan kecepatan internet. Frekuensi 2,6 GHz bisa menjadi peluru emas—asal ditembakkan dengan tepat. (Icha)