Telko.id – Bayangkan teknologi yang menjanjikan identitas digital global, tetapi dengan syarat: Anda harus memindai iris mata Anda. Inilah yang ditawarkan Worldcoin, proyek kontroversial besutan Sam Altman, pendiri OpenAI.
Namun, pekan depan, pengembangnya harus berhadapan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Indonesia. Mengapa? Operasinya dianggap bermasalah secara regulasi.
Worldcoin dan WorldID, platform yang mengklaim membangun identitas digital berbasis biometrik, tiba-tiba menjadi sorotan. Komdigi memblokir layanan ini selama sepekan dan akan memanggil penyelenggaranya.
Alasannya? Pemindaian iris mata yang dilakukan di Indonesia ternyata dioperasikan oleh PT. Terang Bulan Abadi, sementara izin Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dimiliki oleh PT Sandina Abadi Nusantara. Ketidaksesuaian ini memicu alarm regulasi.
Baca juga : Kemkomdigi Bekukan Worldcoin: Risiko di Balik Scan Retina untuk Kripto
Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan, pembekuan sementara Tanda Daftar PSE (TDPSE) PT Sandina Abadi Nusantara adalah langkah preventif. “Ini untuk melindungi masyarakat dari risiko layanan digital yang tidak memenuhi syarat,” ujarnya. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di balik layanan Worldcoin di Indonesia?
Operasional Worldcoin di Indonesia: Legal atau Menyimpang?
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021, setiap penyelenggara layanan digital wajib terdaftar secara sah.
Namun, Worldcoin beroperasi dengan nama PT. Terang Bulan Abadi, sementara TDPSE justru atas nama PT Sandina Abadi Nusantara. Komdigi menilai ini sebagai indikasi ketidakpatuhan.
Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, menyatakan, “Penggunaan identitas badan hukum lain untuk menjalankan layanan digital adalah pelanggaran serius.”
Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut keamanan data biometrik warga Indonesia yang dikumpulkan tanpa kepastian hukum.
Pemindaian Iris: Teknologi Canggih atau Ancaman Privasi?
Worldcoin mengklaim pemindaian iris sebagai metode verifikasi identitas yang unik dan aman. Namun, pakar IT memperingatkan risiko seumur hidup. Data biometrik seperti iris bersifat permanen—jika bocor, tidak bisa diubah seperti kata sandi.
Apalagi, Indonesia belum memiliki payung hukum khusus yang mengatur perlindungan data biometrik secara komprehensif.
Pertanyaannya: Sudahkah masyarakat Indonesia yang melakukan scan iris menyadari implikasi jangka panjangnya? Ataukah mereka tergiur insentif finansial yang ditawarkan Worldcoin tanpa memahami risikonya?
Langkah Komdigi dan Kewaspadaan Masyarakat
Komdigi tidak hanya membekukan TDPSE, tetapi juga mengimbau masyarakat untuk melaporkan layanan digital mencurigakan.
“Kami berkomitmen menciptakan ruang digital yang aman,” tegas Alexander. Langkah ini sejalan dengan tren global—beberapa negara seperti Jerman dan Kenya juga membatasi atau memblokir Worldcoin.
Bagi pengguna di Indonesia, penting untuk memverifikasi legalitas platform digital sebelum memberikan data sensitif. Sebab, sekali data biometrik jatuh ke pihak yang salah, dampaknya bisa permanen.
Panggilan Komdigi pekan depan akan menjadi ujian bagi Worldcoin. Apakah mereka bisa memenuhi regulasi Indonesia, atau justru mengundang pemblokiran lebih lama? Satu hal yang pasti: keamanan digital warga negara harus di atas segalanya. (Icha)