Telko.id – Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar selayaknya memberikan perhatian kepada bisnis satelit. Sayangnya, bisnis satelit di Indonesia jarang diperbincangkan dan kurang mendapatkan perhatian.
Padahal, satelit selain menjadi tulang punggung telekomunikasi, juga sebagai wujud kedaulatan di angkasa. Dengan demikian, potensi bisnis satelit di Indonesia sangat besar mengingat besarnya cakupan wilayah kepulauan Indonesia yang harus terkoneksi telekomunikasi.
Saat ini, di Indonesia terdapat satelit Geostationery Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO). Dari sisi jarak, satelit GEO lebih tinggi orbitnya ketimbang LEO.
Satelit GEO menawarkan kestabilan posisi yang unggul dengan kapasitas transponder yang besar yang ideal untuk melayani wilayah geografi Indonesia yang luas.
Baca juga : Telkom Siap Luncurkan Satelit Baru Februari Mendatang
Sementara satelit LEO menawarkan latensi rendah dengan kecepatan tinggi, namun kapasitas transpondernya terbatas.
Satelit inilah yang “booming” dalam 4-5 tahun terakhir, terutama untuk memenuhi kebutuhan broadband yang juga semakin tinggi. Namun umur satelit ini juga pendek hanya sekitar 5 tahun, serta butuh banyak satelit untuk mencakup banyak lokasi.
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto mengatakan, bicara mengenai satelit tak bisa terlepas dari slot orbit karena pertumbuhan jumlah satelit harus mempertimbangkan juga pengelolaan slot orbit.
Slot orbit menjadi krusial lantaran tanpa slot orbit tidak bisa ditempatkan satelit di angkasa. Slot orbit juga menjadi wujud kedaulatan sebuah bangsa di angkasa.
“Sekali kita melepas slot orbit atau tidak memanfaatkan slot orbit, kerugian besar bagi bangsa ini,” kata Doni di acara Diskusi IndoTelko Forum bertema “Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO” di Jakarta, 30 Januari 2024.
Menurut Doni, bisnis satelit di Indonesia jarang diangkat isunya, di luar soal peluncurannya atau jika ada masalah, lantaran saat ini Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) ahli industri satelit. Selain itu, industri lokal atau startup belum banyak memanfaatkan untuk mengembangkan bisnis satelit.
“Karena itu kita harus mulai mengatasi tantangan talenta berkualitas, tantangan teknis, dan memperbesar kolaborasi antarpemain industri agar Indonesia jadi pemain besar di bisnis satelit global,” pungkas Doni.
Peluang bisnis satelit
Dosen ITB, Kelompok Keahlian Telekomunikasi M Ridwan Effendy menyoroti bagaimana pentingnya bisnis satelit terutama untuk menjaga kedaulatan bangsa.
“Kalau kita bicara kedaulatan kuncinya ada pada kendali, apakah kita bisa kendalikan bisnis satelit, kendalikan keamanannya, kendalikan dari serangan-serangan yang mengancam dan sebagainya,” kata dia.
Menurut dia, saat ini ada beberapa satelit nasional yang mengorbit, seperti BRIsat yang akan mengorbit hingga 2031, satelit Nusantara Satu hingga 2034, Telkom 3S hingga 2032 dan satelit Merah Putih hingga 2033. Dengan demikian total kapasitas satelit nasional mencapai 8653 MHz dengan kapasitas ekuivalen 17 Gbps.
Selanjutnya, ada HTS Bakti Ka Band di orbit 146 BT yang sudah diluncurkan dan menyusul HTS Telkomsat yang akan menggantikan Orbit 113 yang semula Palapa D Indosat pada 2024.
“Faktanya, kapasitas selalu habis sebelum satelit meluncur, slot itu penuh,” kata Ridwan.
Untuk itu, perlu kerja sama bagaimana membuat satelit asing berguna bagi kedaulatan Indonesia, terutama dengan cara mengendalikan NMS dan Gatewaynya harus di Indonesia, demi keamanan negara.
Menurut Ridwan, untuk mendorong bisnis satelit di RI, pemerintah perlu melakukan beberapa hal.
Misal pertama, dengan memberikan peluang kepada swasta dan BUMN untuk menyediakan komunikasi satelit geostasioner, karena satelit GEO masih dibutuhkan, Pembanguannya bisa dengan isentif berupa dana universal service obligation (USO) dan APBN.
Kemudian, dengan membentuk satelit nasional milik Indonesia dan asing dengan akses ke NMS (monitoring). Selanjutnya, gateway berada dalam yuridiksi Indonesia.
Ini untuk mengantisipasi tingginya satelit LEO yang cakupannya adalah global. “Di sini peran Satelit Bakti bukanlah sebagai kompetitor operator tapi jadi pelengkap,” katanya.
“Hal ini penting untuk memastikan agar Negara memiliki kendali atas infrastruktur siber serta kebijakan internet seperti trust positive yang dijalankan oleh Kominfo dan kebijakan lawful intercept dapat dilaksanakan,” lanjut Ridwan.
Sementara mantan Ketua ASSI Periode 2005-2011 Tonda Priyanto menyebutkan, Indonesia sudah memiliki satelit sejak 1976 yang berguna sebagai penanda kedaulatan bangsa, pemersatu bangsa serta menjamin keamanan bangsa.
Di Asia Pasifik, pertumbuhan bisnis satelit sangat tinggi terutama di India, didorong oleh penggunaan konektivitas global, meningkatnya peluncuram satelit LEO, serta meningkatnya peluncuran satelit internet untuk pertahanan.
“Untuk Indonesia, satelit menjadi bagian “complimentary solutions” jaringan telekomunikasi, jadi GEO dan LEO bisa saling melengkapi sesuai dengan kebutuhannya, ” kata Tonda.
Apalagi, tak semua wilayah bisa terkoneksi dengan jaringan serat optik.
Menurut Tonda, terdapat beberapa aspek agar bisnis satelit di RI bisa sukses. Antara lain, dinamika pasar dan model bisnis satelit, kemitraan dan kolaborasi, aspek regulasi hingga talenta dalam negeri dan internasional.
“Talenta tidak hanya dari sisi teknis tapi juga kepemimpinan atau leadership yang punya visi jangka panjang dan global,” katanya.
Infrastruktur satelit
Dalam diskusi tersebut, Ketua Bidang Infrastruktur Nasional MASTEL Sigit Puspito Wigati Jarot menyoroti soal kebutuhan infrastruktur satelit terutama untuk kebutuhan telekomunikasi.
Menyitir data Bryce Tech, sepanjang 2022 ekonomi angkasa global mencapai 384 miliar dollar AS, yang mana sebanyak 281 miliar dollar AS atau 73 persen merupakan industri satelit.
Sebanyak 281 miliar dollar AS pendapatan industri satelit sepanjang 2022 terbagi atas industri layanan satelit 113 miliar dollar AS, ground equipment 145 miliar dollar AS, manufaktur satelit 15,8 miliar dollar AS, peluncuran 7 miliar dollar AS.
Sepanjang 2022, investasi publik di angkasa, baik untuk kepentingan sipil maupun militer mencapai 99 miliar Euro menurut Euroconsult, yang mana 60 persennya dari Amerika Serikat (AS), disusul Eropa 14 persen, China 11 perseb, Jepang 5 persen, Rusia 3 persen, India 2 persen dan sisa negara lain 5 persen.
“Hingga 2030 diperkirakan akan ada 60.000-100.000 satelit dibandingkan 11.000 peluncuran satelit dalam 60 tahun. Sementara, pertumbuhan sektor angkasa diperkirakan mencapai 11 persen secara tahunan hingga 2030,” ujar Sigit.
Tantangan menjalankan bisnis satelit HTS
Kepala Divisi Infrastruktur Satelit Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea membeberkan saat ini di Bakti Kominfo, satelit masuk dalam lapis jaringan infrastruktur telekomunikasi nasional.
Indonesia saat ini memiliki satelit multifungsi satria 1 yang merupakan High-Throughput Satellite (HTS) berkapasitas 150 Gbps. Satria 1 diluncurkan pada akhir Juni 2023 dan menggunakan skema KPBU. Sementara commercial operation date-nya pada 2 Januari 2024.
Sementara satelit Satria 2 akan dibangun dalam bentuk twin satellite yakni Satria 2A dan 2B, yang akan memberikan kapasitas 300 Gbps agar layanan internet yang tersedia semakin andal dan cepat.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyebutkan, Indonesia memiliki satelit terbanyak di Asia Tenggara dengan 18 satelit hingga Juni 2023. Disusul Singapura 15 satelit.
Sementara regulasi mengenai satelit di Indonesia termaktub dalam UU Telekomunikasi No.36/1999, serta UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Menurut Heru, saat ini Indonesia baru memiliki beberapa satelit operasional untuk melayani kebutuhan telekomunikasi dan penyiaran, sehingga hal ini menjadi tantangan agar perkembangan satelit RI tak kalah dari satelit asing.
Satelit asing digunakan di Indonesia untuk mendukung penyediaan layanan satelit yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kapasitas satelit nasional.
“Penggunaan Satelit Asing di Indonesia wajib memiliki Hak Labuh Satelit dan wajib memenuhi sejumlah ketentuan tertentu,” katanya. Tentunya ini jadi tantangan dari sisi regulasi agar satelit asing tak memiliki “pangsa pasar” besar pada slot orbit RI.
Heru menyampaikan, teknologi satelit masih dibutuhkan Indonesia untuk mengisi ”sinyal” internet broadband yang tidak terjangkau dan belum terlayani teknologi seluler dan kabel serat optik, serta menjadi backup.
Untuk itu, alokasi slot orbit satelit harus dilakukan secara berhat-hati dan diberikan pada penyelenggara yang memiliki kemampuan finansial cukup dan memaksimalkan penggunaan slot orbit satelit ke depannya.
Tantangan regulasi lain adalab bagaimana menciptakan pasar yang sehat di bisnis satelit. “Bisnis satelit harus dilakukan dalam iklim persaingan usaha yang sehat,” pungkasnya. (Icha)