Telko.id – Di tengah geliat ekonomi digital, pekerja migran Indonesia (PMI) seringkali menjadi pihak yang terpinggirkan. Bagaimana tidak? Mereka yang berjasa sebagai pahlawan devisa justru kerap kesulitan mengakses layanan keuangan modern.
Namun, kabar baik datang dari kolaborasi strategis antara Finpay—anak usaha PT Telkom Indonesia—dan Koperasi Migran Indonesia Makmur Sejahtera (MIMS). Kerja sama ini bukan sekadar formalitas, melainkan langkah nyata membangun kemandirian finansial bagi para pejuang di negeri orang.
MIMS: Koperasi Pertama yang Memihak Pekerja Migran
Didirikan di bawah naungan Yayasan Pertakina Indonesia Sejahtera Abadi, Koperasi MIMS hadir sebagai pionir bagi pekerja migran—baik yang masih aktif maupun yang telah kembali ke tanah air.
Dengan prinsip gotong royong dan sistem digital, MIMS menjawab tiga tantangan utama: akses keuangan, perlindungan dari praktik merugikan, dan persiapan masa depan yang lebih sejahtera.
“Banyak PMI punya semangat wirausaha, tetapi terkendala akses dan pendanaan,” tegas Anang Zunaedi, Ketua Koperasi MIMS, dalam peluncuran yang dihadiri Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono.
Baca Juga:
Solusi Finpay: Dari Payment Gateway hingga Co-Brand E-Money
Sebagai mitra teknologi, Finpay tidak setengah-setengah. Mereka menghadirkan paket lengkap: Payment Gateway untuk transaksi online, Transfer Dana antar-rekening, Co-Brand uang elektronik, hingga sistem kasir dan PPOB (Payment Point Online Bank).
“Kami ingin memberikan pengalaman paling nyaman bagi PMI,” ujar Aziz Sidqi, Direktur Business & Marketing Finnet.
Dengan infrastruktur Telkom sebagai tulang punggung, solusi ini dijamin andal—bahkan di daerah dengan konektivitas terbatas sekalipun.
Kolaborasi ini juga selaras dengan tren digitalisasi koperasi yang sedang naik daun. Seperti halnya tren belanja online yang mendorong UMKM go digital, Finpay dan MIMS membuktikan bahwa transformasi teknologi bisa dimulai dari level akar rumput.
Dampak Jangka Panjang: Dari Devisa hingga Kesejahteraan Keluarga
Bayangkan: Seorang PMI di Taiwan kini bisa membayar tagihan listrik orang tuanya di Jawa Timur langsung melalui aplikasi koperasi. Atau seorang mantan pekerja migran yang membuka warung kelontong dengan modal dari simpanan di MIMS. Inilah masa depan yang ingin diwujudkan.
“Ini bukan sekadar urusan transfer uang, melainkan membangun ekosistem,” tambah Aziz.
Langkah ini sejalan dengan inisiatif lain seperti program pembelian reksa dana oleh fintech lain yang juga menyasar segmen kurang terlayani.
Peluncuran kerja sama di De Javasche Bank, Surabaya, bukan tanpa alasan. Gedung bersejarah itu menjadi simbol transformasi—dari ekonomi kolonial menuju kemandirian finansial yang inklusif.
Kini, pertanyaannya bukan lagi “bisakah”, melainkan “seberapa cepat” dampak ini bisa dirasakan oleh 4,9 juta PMI di seluruh dunia. (Icha)