Telko.id – Layanan 5G baru bisa dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Setidaknya yang bisa merasakan adalah para pelanggan Telkomsel. Itu pun hanya bagian kecil saja karena memang jaringan 5G yang digelar oleh operator ini juga belum luas.
Lalu, disusul oleh Pelanggan Indosat Ooredoo. Soalnya, operator ini baru saja mendapatkan Surat Keterangan Laik Operasi atau SKLO untuk komersialisasi layanan 5G ini dan meresmikan layanan nya di 5 kota.
Alokasi dari masing-masing operator pun masih sangat jauh dari optimal bagi layanan 5G ini. Pasalnya, untuk memberikan layanan 5G ini, setidak nya operator memiliki 100 Mhz difrekuensi yang digunakannya. Sedangkan saat ini, Telkomsel yang menggunakan frekuensi teknologi 5G ini menggunakan pita frekuensi radio 2,3 GHz untuk data plane dan pita frekuensi radio 1800 MHz untuk control plane.
Operator ini sendiri memiliki frekuensi 2300 Mhz atau 2,3 GHz sebanyak 20 MHz dari hasil lelang beberapa waktu lalu sehingga secara totoal Telkomsel memiliki alokasi sebesar 50 MHz. Lalu untuk frekuensi 1800 Mhz, operator ini memiliki pita sebesar 22,5 MHz.
Sedangkan indosat Ooredoo menggunakan pita frekuensi 1800 MHz atau 1,8 GHz dengan lebar pita 20 MHz dalam rentang 1837,5 MHz sampai 1857,5 MHz.
Dengan penggunaan lebar pita yang tidak besar itu, layanan 5G belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Namun, masalah frekuensi ini, pemerintah memiliki solusi dengan membagi alokasi frekuensi untuk jaringan telekomunikasi seluler 5G ke dalam tiga lapisan (layer) telekomunikasi, yaitu Low Band, Middle Band, dan High Band. Pembagian itu dilakukan untuk pemerataan dan efisiensi layanan.
“Ketiga layer ini berada di frekuensi yang berbeda. Untuk pita bawah (Low Band), frekuensinya di bawah 1 Ghz, cocok untuk pemerataan coverage karena sangat efisien, jangkauan sangat luas dan untuk perkotaan sangat bermanfaat untuk interpenetration,” jelas Adis Alifiawan, Koordinator Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo dalam sebauh diskusi beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pita frekuensi di bawah 1 Ghz juga bisa menjadi solusi apabila sinyal kurang bagus ketika masayarakat masuk ke suatu area publik atau gedung. Kemudian, pada layer kedua (Middle Band) berada diantara frekuensi 1 sampai 6 GHz.
Sedangkan di pita atas (High Band) berada di frekuensi 2,6 Ghz dan 2,8 Ghz. Adis menjelaskan, dibandingkan dua layer yang lain, pita atas frekuensi memiliki beberapa keunggulan seperti jaringan telekomunikasi 5G bisa lebih responsif latensinya 1 milimeter per second dengan pick data rate mencapai 20 Gbps.
Dari semua operator yang ada di Indonesia, memang Telkomsel yang memiliki paling banyak spektrumnya dengan 155 MHz. Yang terdiri dari 30 Mhz pada frekuensi 990 MHz, 45 Mhz pada frekuensi 1,8 Ghz, 30 Mhz pada frekuensi 2,1 Ghz dan 30 Mhz ditambah lagi 20 Mhz hasil lelang terbaru pada frekuensi 2,3 GHz.
Diikuti oleh Indosat yang memiliki total 95 MHz dengan rincian 25 MHz pada frekuensi 900 Mhz, 40 Mhz pada frekuensi 1,8 GHz dan 30 Mhz pada frekuensi 2,1 GHz.
Sedangkan XL Axiata memiliki total spektrum 90MHz . Dengan rincian 15 MHz pada frekuensi 900 Mhz, 45 Mhz pada frekuensi 1,8 GHz dan 30 Mhz pada frekuensi 2,1 GHz.
3 Indonesia hanya memiliki 50 Mhz, dengan rincian 20 MHz pada frekuensi 1,8 GHz dan 30 Mhz pada frekuensi 2,1 GHz. Selanjutnya Smartfren memiliki spectrum 62 MHz. Dengan rincian 22 MHz pada frekuensi 850 Mhz dan 30 Mhz ditambah 20 Mhz pada frekuensi 2,3 GHz. Dan yang paling sedikit memiliki spectrum adalah Net-1 yang hanya memiliki 15 Mhz pada 450 MHz.
Dengan komposisi yang ada, Telkomsel saja belum bisa menyediakan 100 Mhz sebagai syarat agar layanan 5G optimal. Apalahi operator lain yang memiliki lebih sedikit spectrum nya.
Belum lagi syarat utama untuk bisa menjalankan layanan 5G ini adalah fiber optic. Dari sekian banyak operator yang ada di Indonesia hanya Group Telkom melalui Indi Home yang notabene ‘satu keluarga’ dengan Telkomsel yang memiliki jaringan fiber optic terpanjang. Hingga 100 ribu km, sementara Moratel baru 30.000 km.
Itu sebabnya, salah satu cara Smartfren untuk memperkuat kemampuannya untuk mempersiapkan layanan 5G adalah dengan membeli lebih dari 20% saham Moratel.
Penataan frekuensi untuk 5G ini pun masih dalam proses. Apakah untuk refarming atau framing. Masih belum ada kejelasaan dari pemerintah. Setidaknya, pemerintah akan menyelesaikan frekuensi untuk 5G ini adalah 1 sampai dua tahun lagi.
Yang saat ini masih kosong dan belum digunakan adalah pada frekuensi 2,8 GHz dan 2,9 Ghz. Namun, untuk lelang frekuensi ini pun masih belum ditentukan oleh pemerintah. Sayangnya, dengan semakin tinggi frekuensi maka penempatan BTS pun harus semakin pendek jarak nya. Hanya sekitar 200 m saja jarak nya. Tentu ini akan sangat tidak efektif jika ingin menerapkan layanan 5G seperti Automation car atau mobil tanpa pengemudi.
Dan berapa lebar para operator ini akan mendapatkan frekuensi yang kosong itu. Kalau dibagi rata atau setiap operator kebagian, tentu lebar pita yang dibutuhkan untuk 5G pun tidak akan cukup.
Nah, dengan kondisi yang ada, agar layanan 5G dapat optimal atau ideal di Indonesia, perlu ada nya kerjasama, kolaborasi, konsolidasi atau apa pun itu. Seperti yang sudah termaktub dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana para penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru.
Lalu diperkuat lagi dengan ada nya Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar).
Sayang, para operator seluler masih ragu untuk melakukan kolaborasi. Pasalnya, dalam kerja sama yang dimaksud dalam peraturan yang ada masih belum terlalu jelas. Apakah kalau merger atau akuisisi frekuensi dijamin tidak perlu dikembalikan ke pemerintah, atau bagaimana?
Maklum saja, operator sempat trauma, terutama XL yang beberapa waktu lalu berhasil mengakuisisi Axis yang berbuntut adanya kerugian besar. Pasalnya, tidak ada informasi sebelumnya jika operator itu harus mengembalikan 10 MHz di spektrum 2100 MHz kepada pemerintah, yang lalu menjualnya ke operator lain.
Jadi, saat ini, walaupun aturan nya sudah ada, operator tetap saja masih belum berani untuk melakukan kolaborasi atau kerjasama. Semoga, persoalan ini cepat ada kejelasan ke depannya sehingga layanan 5G bisa sempurna dirasakan oleh masyarakat Indonesia. (Icha)