JAKARTA – Melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat tak bisa dipungkiri telah berimbas pada stabilitas perekonomian Indonesia. Sejumlah sektor industri di tanah air pun terpukul. Tak terkecuali industri Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun, seperti diakui ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI), Alexander Rusli, pegaruhnya lebih bersifat jangka panjang.
Salah satu alasannya, seperti diungkapkan Alex, adalah dikarenakan investasi yang dilakukan di industri telekomunikasi biasanya tidak langsung terasa di tahun yang sama dengan ketika investasi itu baru dimulai, melainkan baru terasa pada tahun-tahun berikutnya.
“Jadi kalau dibilang ada pengaruh jangka pendek, itu memang tidak ada. Namun jangka panjang pasti. Mungkin 1,5 atau 2 tahun ke depan,” katanya dalam acara Focus Group Discussion “Industri Telko di Tengah Turbulensi Mata Uang” yang diadakan di Kementrian Komunikasi dan Informasi, Jakarta hari ini (7/9/2015).
Hal yang tak jauh berbeda diakui Henri Saparini. Ekonom ECONIT ini bahkan menganjurkan pada para pelaku industri telekomunikasi agar menyiapkan diri untuk jangka panjang.
“Jadi berpikirnya jangan jangka pendek lagi, tetapi sebaliknya. Karena industri ini adalah industri dengan pertumbuhan yang sangat tinggi,” ungkapnya.
Henri menyebutkan, dari sisi sektoral saja industri Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia masih tumbuh di atas 9 persen, sementara dari segi investasi termasuk yang pertumbuhannya paling tinggi.
“Dengan adanya pelemahan nilai tukar rupiah ini, revenue di TIK kemungkinan masih naik, namun tidak demikian dengan nett profit,” pungkasnya, seraya menyebut ongkos produksi yang meningkat sebagai alasan. [IF]
iya bagi pengusaha ngak terlalu terpengaruh, tapi bagi kami pekerja telekomunikasi semakin seperti budak, yang tidak di hargai dan di perhatikan dengan resiko pekerjaan kami yang sangat membahayakan..
( Pekerja Telekomunikasi )