Telko.id – Operator telekomunikasi diminta untuk tidak ‘malas’ dalam membangun jaringan tanpa harus menunggu keluarnya aturan soal berbagi jaringan aktif (Network Sharing).
“Pembangunan jaringan oleh operator melekat dalam kewajiban modern lisensi. Seandainya ada network sharing tak boleh melupakan khitah operator penyelenggara jaringan untuk tetap membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia,” tegas Wakil Ketua Desk Ketahaan dan Keamanan Cyber Nasional, Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Marsekal Pertama Ir Prakoso.
Ia menambahkan, selama ini operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai investor asing hanya mau membangun di daerah yang mempunyai nilai ekonomis saja. Padahal, Indonesia bukan hanya di Jakarta atau di Pulau Jawa saja. “Jangan sampai network sharing hanya dijadikan alasan bagi operator telekomunikasi untuk tak membangun jaringan telekomunikasi di daerah terpencil,” lanjutnya.
Sampai dengan saat ini, pada industri telekomunikasi seluler terdapat beberapa pemain seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren telecom, serta tak ketingalan Hutchison Tri Indonesia. Diantara deretan pemain ini, memang Telkomsel yang paling giat dalam membangun jaringan hingga ke pelosok. Hal ini juga dikarenakan Telkomsel memiliki mayoritas saham yang dikuasai pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai asing juga seharusnya ikut terlibat dalam membangun jaringan telekomunikasi yang terintegrasi dengan pemerintah hingga tempat terpencil dan daerah perbatasan. Sehingga tak hanya satu jaringan telekomunikasi saja yang ada di daerah perbatasan atau di daerah terpencil. Tujuannya adalah jika terjadi kegagalan dalam satu jalur jaringan tidak akan menyebabkan kegagalan jaringan dalam waktu yang lama (system redundansi).
“Meskipun mereka adalah perusahaan asing, namun mereka juga harus memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan nasional khususnya dalam ketahanan nasional di bidang telekomunikasi dan Cyber. Karena mereka telah melakukan kegiatan usaha dan memakai sumber daya terbatas (frekuensi) yang dimiliki oleh Indonesia ,” ujar Marsekal Pertama.
Hal senada juga diutarakan oleh Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas) Garuda Sugardo. Ia menambahkan, jika network sharing tidak diikuti dengan komitmen pembangunan infrastuktur, pihak yang paling diuntungkan adalah operator telekomunikasi asing. Sebab Operator telekomunikasi asing tak perlu capek-capek membangun jaringan di wilayah terpencil atau kurang menguntungkan. Mereka cukup mendompleng operator penyelenggara jaringan yang sudah ada.
“Menurut saya konsep berbagi jaringan itu saling berbagi bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian. Itu tidak adil dan bertendensi berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah ‘menggadaikan’ jaringan kepada vendor secara managed service,” ujarnya.
“Pemerintah harus mewaspadai operator ‘pemalas’ yang engan membangun infrastruktur telekomunikasi. Padahal mereka telah mengantungi ijin penyelenggaraan Operator Jaringan dan Operator Layanan,” lanjut Garuda.
Sekadar informasi, pintu masuk network sharing di Indonesia tengah berusaha dibuka dengan direvisinya Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang spektrum sharing.
Revisi PP No 52 rencananya akan mengubah perihal modern licensing bagi penyelenggara telekomunikasi dengan tidak lagi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur tetapi di service level agreement (SLA). Sedangkan Revisi PP No 53 rencananya akan membuka peluang penggunaan frekuensi secara bersama oleh operator.
Sementara itu, Network sharing dianggap sebagai salah satu cara untuk mencapai tingkat efisiensi dalam industri telekomunikasi. Dan ini diakui betul oleh sejumlah operator, tak terkecuali di Indonesia. Tak heran, jika beberapa diantaranya pun telah mencoba mengimplementasikannya. Network Sharing sendiri, pada dasarnya merupakan mekanisme penggunaan bersama infrastruktur aktif telekomunikasi antar operator telekomunikasi di suatu negara.
“Kita harus melihatnya bukan dari scoop operator, melainkan scoop Nasional,” ungkap Merza Fachys, selaku pengamat telekomunikasi yang juga menjabat sebagai ketua ATSI.
“Sebut saja ada sebuah kota kecil di Indonesia dengan penduduk 300 ribu jiwa dan hanya setengahnya yang menggunakan layanan telepon dan dilayani oleh lima operator di Indonesia sendiri-sendiri. Padahal kapasitas dari jaringan yang dibangun untuk masing-masing operator melebihi dari jumlah pengguna di wilayah tersebut. Untuk apa devisa negara dihamburkan untuk membeli lima network di wilayah tersebut, kebayang gak pemborosan negara kita ini,” ujarnya seraya memberi contoh kasus.