Telko.id – Dolar meroket ke Rp17.000, pasar lesu, dan daya beli masyarakat menurun. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu ini, ASUS mengambil langkah strategis dengan menghadirkan seri laptop gaming yang lebih terjangkau. Bagaimana brand teknologi global ini beradaptasi dengan gejolak pasar Indonesia?
Kenaikan kurs dolar telah memukul industri teknologi Tanah Air. Harga laptop impor melambung, sementara daya beli konsumen justru menurun.
Situasi ini memaksa pelaku industri untuk berpikir ulang tentang strategi produk mereka di pasar Indonesia.
ASUS, sebagai salah satu pemain utama di segmen laptop gaming, memilih pendekatan berbeda. Alih-alih memaksakan produk premium mereka, perusahaan ini justru mengedepankan seri K16 dan P16 yang lebih terjangkau. Keputusan ini bukan tanpa alasan.
Strategi ASUS Hadapi Pasar Lesu
Menurut Muhammad Firman, Head of Public Relations ASUS Indonesia, permintaan laptop gaming sebenarnya tetap tinggi. Namun, ketika harga produk melambung akibat kenaikan kurs dolar, minat konsumen otomatis berkurang.
“Kami memilih menghadirkan seri yang lebih terjangkau agar tetap bisa memenuhi kebutuhan gaming dan content creation,” jelas Firman.
Faktor eksternal turut memperparah situasi. Kenaikan tarif di Amerika Serikat dan China sebagai pusat teknologi dunia berdampak langsung pada harga produk di Indonesia. Belum lagi biaya pengiriman yang juga mengalami kenaikan signifikan.
ASUS Gaming Series vs ROG: Mana yang Lebih Cocok?
Di tengah ketidakpastian ekonomi, ASUS melihat potensi besar pada seri Gaming Series mereka untuk pasar Indonesia.
“Untuk segmen ROG, mungkin konsumen akan memilih wait-and-see dulu. Tapi ASUS Gaming Series ini sangat cocok untuk kondisi saat ini,” ungkap Firman menambahkan.
Perusahaan telah menyiapkan line-up produk hingga 2025, dengan penyesuaian fokus di tiap negara. Untuk Indonesia, ASUS memprioritaskan produk dengan harga lebih terjangkau terlebih dahulu, menyesuaikan dengan daya beli masyarakat.
Dilema TKDN dan Dampaknya pada Industri Lokal
Wacana fleksibilitas atau bahkan penghapusan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) menjadi pembahasan menarik. Bagi ASUS sebagai brand, kebijakan ini justru menguntungkan karena mempermudah proses impor produk jadi.
“Kita tinggal impor saja, tidak perlu repot kerja sama dengan pabrikan lokal,” tutur Firman.
Namun, kebijakan ini berpotensi memukul industri manufaktur lokal. Saat ini, ASUS telah mencapai 40% TKDN untuk produk laptop, desktop, dan smartphone mereka. Jika regulasi diubah, investasi mereka di Indonesia kemungkinan akan berkurang.
“Di Batam saja ada sekitar 500 tenaga kerja yang memproduksi produk ASUS. Jika TKDN diturunkan, pasti akan ada pengurangan,” papar Firman dengan nada prihatin. Kerja sama dengan produsen lokal seperti pembuat tas laptop dan charger juga terancam terganggu.
Dari sisi biaya, impor langsung dari China memang jauh lebih murah. Produk seperti tas laptop ASUS yang diproduksi di Jepang pun kesulitan bersaing harga dengan produk China. Namun, ASUS menyatakan akan tetap mengikuti kebijakan pemerintah apapun keputusannya nanti.
Langkah ASUS ini menjadi contoh nyata bagaimana brand global beradaptasi dengan kondisi ekonomi Indonesia. Di satu sisi, mereka berusaha mempertahankan pasar dengan produk terjangkau.
Di sisi lain, mereka harus menimbang dampak kebijakan pemerintah terhadap operasional mereka di Tanah Air. (Icha)