Telko.id –Berdasarkan hasil riset dari Telstra sebagai induk perusahaan dari Telkomtelsra yang bekerjasama dengan Economist Intelligence Unit (EIU) dengan tajuk Connecting Commerce, Jakarta menjadi Kota Digital diurutan ke delapan dari 45 kota di Dunia yang sangat antusias melakukan transformasi digital. Dari 1-10 tingkat keyakinan eksekutif Jakarta mencapai 7.25.
Dari 10 kota teratas untuk tingkat kapabilitas keseluruhan, tujuh berasal dari Negara berkembang di Asia termasuk Bangalore, Mumbai, New Delhi, Beijing, Manila dan Sangnhai. Sebaliknya, tingkat kapabilitas yang rendag malah ditemukan pada kota yang sudah maju seperti Hongkong dan Tokyo.
“Hal tersebut dapat disebabkan oleh kota yang sudah maju tidak berani untuk terlalu agresif melakukan transformasi digital. Sudah sangat percaya diri dengan kondisi nya saat ini. Sedangkan untuk Negara berkembang, transformasi digital masih berpeluang besar,” kata Erik Meijer, President Director telkomtelstra.
Di Jakarta sebagai kota yang maju dalam digitalisasi ternyata masih memiliki banyak tantangan. Setidaknya, Erik menyebutkan ada tiga tantangan besar. Pertama, Change Management, di mana manajemen perusahaan maupun pemilik perusahaan masih takut terhadap perubahan. Takut tidak berhasil padahal sudah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk melakukan transformasi digital.
Kedua, Alokasi Anggaran. Seringkali, para pengusaha diawal sudah menanyakan dahulu tentang Return of investment. Akhirnya, anggaran transformasi digital tidak dialokasikan dulu. Lebih memilih metode lain untuk bisa menumbuhkan bisnisnya.
Ketiga, Excecutive Sponsor. Di mana, banyak pemilik perusahaan masih belum percaya terhadap dampak positif dari digital transformasi.
Adapun industry yang memiliki potensi untuk melakukan trasnformasi digital dalam waktu dekat adalah perusahaan Non Banking seperti asuransi. Trend perusahaan asuransi masuk ke digital ini sudah kuat, sehingga untuk dapat tumbuh harus sudah mulai melakukan transformasi jika tidak akan dilibas oleh pesaingnya.
Sedangkan pada industry Manufaktur, kebanyakan kebijakan diambil oleh kantor pusat yang biasanya masih di Negara maju.
Yang unik adalah transportasi. Di mana, Gojek yang menjadi contoh di Indonesia bahkan di banyak Negara lain membuat industry ini terdorong untuk pindah ke digital. Sedangkan, yang sangat lambat perkembangan digitalnya adalah di healthcare.
Untuk industry resources atau migas, banyak yang sudah melakukan trasnformasi digital karena desakan dari pusat. Tapi di lokal sendiri masih terdapat tantangan, terutama dari sisi aturan di indutsri. Nah, yang paling cepat itu adalah Retail.
Khusus di Indonesia, ternyata tantangan terbesar adalah tenaga kerja. Dari hasil riset EIU ini menggambarkan bahwa SDM berkualitas sangat sulit dicari. Jakarta baru menyerap 36% saja tenaga kerja yang memiliki keterampilan digital.
“Masih ada kesenjangan antara lulusan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan oleh industry,” kata Erik menyesalkan.
Berdasarkan hasil riset telkomtelstra, permintaan tenaga kerja kompeten yang dibutuhkan oleh perusahaan adalah Keamanan Digital sebesar 41%, Jaringan Bisnis 22%, Penawaran Produk Layanan 24%, Pengolahan data besar atau Big Data 22% dan perubahan bisnis 25%.
Telkomtelstra sendiri banyak menjaring fresh graduate. Setidaknya, langkah ini ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kapabilitas para tenaga kerja di Indonesia dalam hal IT. Selain tentu saja bekerjasama Cisco, Huawei dan Microsoft untuk bekerjasma dengan perguruan tinggi.
Langkah ini diambil karena telkomtelstra melihat bahwa jika menggunakan tenaga kerja asing tidak bisa awet. Hanya bisa dalam jangka waktu tertentu saja dan itu pun untuk melakukan transfer knowledge. Di tambah lagi, untuk mengganti karyawan lama dengan yang muda pun tidak mudah. Jadi yang perlu dilakukan oleh perusahaan yang ingin melakukan transformasi digital adalah melakukan retraining karyawan lama agar mampu mengikuti perubahan perusahaan menuju digital. (Icha)