Telko.id – Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) merupakan salah satu Proyek Strategis nasional (PSN) pemerintah Indonesia sesuai dengan Perpres No. 3/2016. Infrastrukturnya sudah dibangun dan bahkan pada November 2022 mendatang akan dilakukan uji coba.
“Saat ini progres KCJB terus berjalan dan sudah mencapai 79,90%. Kami akan terus melakukan upaya maksimal untuk mewujudkan trial run di akhir tahun 2022,” tutur Presiden Direktur KCJB, Dwiyana Slamet Riyadi, dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/1/2022).
Namun, dibalik itu semua, masih ada hal yang mengganjal dan sampai saat ini masih belum diketok palu juga. Ya, permasalahan frekuensi yang akan digunakan oleh Kereta Cepat Jakarta–Bandung tersebut.
Pada sistem operasional Kereta Cepat Jakarta–Bandung ini direncanakan akan menggunakan sistem GSM-R atau Global System for Mobile Communications – Railway dan menggunakan frekuensi 900 Mhz. Dimana sistem itu sudah banyak digunakan oleh banyak negara di Eropa dan negara lain. Sehingga menjadi pilihan yang terbaik bahkan direkomendasikan juga oleh UIC atau International Union of Railway.
Sayangnya, jika di negara lain, frekuensi 900 Mhz itu didecated untuk kereta api cepat, di Indonesia, frekuensi tersebut sejak tahun 1990-an, pita frekuensi radio 900 MHz digunakan untuk keperluan seluler, hingga saat ini melayani ratusan juta masyarakat pelanggan seluler di seluruh Indonesia.
Tapi tetap saja, KCIC berharap pengoperasial kereta apai cepat itu menggunakan GSM-R di frekuensi 900 Mhz. Sempat di Januari 2020, Menkominfo menyampaikan 2 opsi frekuensi alternatif, yaitu 450 MHz (LTE-R) dan frekuensi untuk teknologi 5G. Tapi belum juga mencapai kesepakatan. Bahkan, pada Desember 2021 lalu, Kemkominfo sempat mendukung usul KCIC untuk beralih dari GSM-R ke TETRA.
Jika menilik kondisi pita frekuensi 900 Mhz (869-915 & 925 -960 MHz) yang sekarang ada, sudah terisi penuh oleh mobile operator seluler (smartfren, Telkomsel, Indosat, dan XL) untuk menggelar layanan 2G, 3G, ataupun 4G.
Ada dua alternative yang sempat diusulkan, pertama yang menggunakan 876 – 880 MHz (Uplink) berpasangan dengan 921 – 925 MHz (Downlink). Namun, di sisi Uplink GSM-R bentrok (co-channel) dengan frekuensi Downlink Smartfren yang dipancarkan dengan daya relatif lebih tinggi (BTS). Lalu sisi Downlink GSM-R bentrok (co-channel) dengan frekuensi IoT yang dapat digunakan secara bebas oleh masyarakat, berbasis izin kelas seperti WiFi.
“Alternatif kedua adalah pada 885 – 889 MHz (Uplink) berpasangan dengan 930 – 934MHz (Downlink). Di mana, pada sisi Uplink GSM-R bentrok (co-channel) dengan frekuensi Uplink Telkomsel dan sisi Downlink GSM-R bentrok (co-channel) dengan frekuensi Downlink Telkomsel.
“Nah, dikarenakan Kereta Cepat Jakarta–Bandung ini merupakan PSN, maka Telkomsel pun merupakan anak perusahaan dari BUMN, maka diharapkan ini jadi lebih mudah,” ungkap Adis Alifiawan, Koordinator Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo dalam Webinar Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan “Pemanfaatan GSM-R Ditinjau dari Aspek Keselamatan Kereta Api” pada Rabu (26/01/2022).
“Telkomsel mendukung pemerintah dalam menyukseskan proyek strategis nasional Kereta Cepat Jakarta–Bandung,” ungkap Indra Mardiatna, VP Technology Strategy Telkomsel.
Itu sebabnya, Telkomsel bersama KCIC, Kominfo sudah melakukan Pengukuran Jarak Aman. Dimana pada tahap pertama Halim 8 & 9 Juni 2021 dan Karawang 16 & 17 Juni 2021. Lalu untuk tahap II Halim 28Juli 2021 dan Kopo 30 Juli 2021.
Dengan metodologi 2G GSM Telkomsel akan dinon- aktifkan bertahap dalam radius 5 – 60 km dari titik pengukuran dan mencari Jarak aman hingga ditemukan level interference sinyal dibawah -105 dBm. Pengukuran tersebut dilakukan di maintenance window (23.00 – 04.00).
Hasil nya Jarak aman (interference sinyal <-105dbm) di area Halim / Jakarta diperoleh ketika 2G BTS GSM Telkomsel dinon-aktifkan hingga radius 60 Km sedangkan Kopo / Bandung 40 Km.
Ok, masalah teknis sudah ada jalan keluar nya. Kini masalah yang masih mengganjal adalah regulasi atau peraturan.
Ada kekahawatiran akan terjadi seperti kasus Indosat dan IM3. Ternyata pemerintah pun sudah menyesuaikan dengan menghapus potensi “Double Charging” Biaya Hak Penggunaan (BHP) SFR.
Salah satunya tujuannya agar tidak memberatkan saat melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio antara Pemegang Izin dengan pihak lain (Penyelenggara Jaringan / Telsus).
Apa yang disesuaikan? Ya, Pasal 34 ayat (1) UU 36 Th. 1999 yang isinya tentang Telekomunikasi
“Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi”
Undang-undang itu disesuaikan dengan adanya Pasal 71 angka 6 UU 11 Th. 2020 tentang Cipta Kerja.
“Pemegang Perizinan Berusaha dan persetujuan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi radio”.
Dengan berbekal peraturan itu, Adis yang mewakili kominfo menyebutkan ada dua opsi. Opsi pertama adalah Spectrum Leasing.
Pada opsi ini, dalam masalah Infrastruktur (lahan, Menara, dan shelter perangkan), pihak KCIC Sebagai pihak yang membangun, memelihara, dan memanfaatkan. Pihak Telkomsel hanya sebagai pihak yang memanfaatkan.
Lalu dari sisi Jaringan aktif sistem GSM-R, pihak KCIC sebagai pihak yang memiliki, membangun, dan mengoperasikan jaringan aktif GSM-R. Sedangkan Telkomsel sebagai pihak yang meminjamkan sebagian kanal frekuensi (spectrum leasing) di pita 900 MHz kepada KCIC untuk digunakan pada sistem GSM-R di sepanjang jalur KCJB.
Sedangkan untuk Izin pita frekuensi radio 900 MHz. Pihak KCIC tidak menjadi pemegang izin frekuensi di pita 900 MHz -> tidak bayar BHP Frek. Dan pihak Telkomsel tidak ada perubahan terhadap IPFR di pita 900 MHz -> BHP Frek tetap.
Kemudian untuk Perencanaan pembangunan (network planning) sistem GSM-R, KCIC menjadi pihak yang menentukan frequency planning untuk kebutuhan sistem GSM-R. Lalu Telkomsel berkoordinasi dan bekerjasama dengan KCIC dalam melakukan frequency planning agar terjamin koeksistensi antara sistem GSM-R yang dibangun oleh PT KCIC dengan jaringan seluler publik (2G/3G/4G) milik Telkomsel.
Untuk opsi kedua adalah Managed Service. Pada opsi ini, dalam masalah Infrastruktur (lahan, Menara, dan shelter perangkan), pihak KCIC Sebagai pihak yang membangun, memelihara, dan memanfaatkan. Pihak Telkomsel hanya sebagai pihak yang memanfaatkan.
Lalu dari sisi Jaringan aktif sistem GSM-R, pihak KCIC sebagai pihak yang hanya menggunakan layanan GSM-R (dedicated corporate user). Sedangkan Telkomsel sebagai pihak sebagai pihak yang memiliki, membangun, dan mengoperasikan jaringan aktif GSM-R.
Sedangkan untuk Izin pita frekuensi radio 900 MHz. Pihak KCIC tidak menjadi pemegang izin frekuensi di pita 900 MHz -> tidak bayar BHP Frek. Dan pihak Telkomsel tidak ada perubahan terhadap IPFR di pita 900 MHz -> BHP Frek tetap.
Kemudian untuk Perencanaan pembangunan (network planning) sistem GSM-R, KCIC hanya menyampaikan kebutuhan jumlah kanal untuk sistem GSM-R. Seperti 2 kanal per BTS GSM-R antar section dan 3 kanal per BTS GSM-R untuk posisi di stasiun atau depot EMU. Juga menyampaikan SLA, antara lain: Co-channel C/I value: 12 dB Adjacent-channel C/I value: 6 dB Spasi antar voice channel: 400 kHz Spasi antar control channel: 600 kHz.
Lalu pihak Telkomsel memiliki keleluasaan untuk menentukan frequency planning agar terjamin koeksistensi sistem GSM-R dengan jaringan seluler publik (2G/3G/4G), dengan memperhatikan requirement / SLA yang disampaikan oleh KCIC.
Lalu, opsi mana yang akan diambil pemerintah untuk Kereta Cepat Jakarta–Bandung ini dan ketok palu? Masih ada waktu sampai November 2022, tapi mungkin lebih cepat lebih baik agar Proyek Strategi Nasional ini pun bisa terlaksana dan aspek keselamatan kereta api juga terjamin. (Icha)