Telko.id – Internet of Things menjanjikan akan saling menghubungkan 20 miliar object pada tahun 2020 mendatang. Dilihat dari angka nya saja, tentu sangat menjanjikan. Namun, keberhasilan dari IoT ini tergantung berbagai aspek. Salah satu yang menjadi kunci sukses dan akan memberikan dampak terhadap ekonomi regional adalah perencanaan yang dipimpin pemerintah. Hal ini akan menjadi kekuatan besar dan dominan dalam perencanaan IoT dalam sebuah negara. Sambil, saat ini IoT pun mencari bentuk.
Hal ini juga didukung oleh berbagai riset yang sudah banyak dilakukan tentang IoT ini. Misalnya, McKinsey & Company, menganalisa bahwa bisnis IOT itu akan mampu memberikan dampak ekonomi tahunan antara $ 4 Triliun hingga $ 11 Triliun pada tahun 2025 mendatang. Dalam penelitinya McKinsey mengurutkan secara vertikal industri yang memberikan nilai paling ekonomi: pabrik, kota, manusia, ritel, transportasi logistik, manajemen proyek, kendaraan, rumah dan kantor.
Markets and Markets menganalisa bahwa kawasan Asia-Pacific akan terus menjadi memimpin, seperti juga pada tahun 2014 lalu. “Hal ini juga diprediksi akan terus terjadi dan akan terlihat pada sektor manufaktur, pertambangan, kesehatan, dan energi dan power. Di kawasan APAC ini, Cina akan memegang peranan penting dalam pengembangan IoT karena pangsa pasar nya besar. Diikuti oleh India yang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan tertinggi,” ujar Analis dari Market and Markets menjelaskan.
Beberapa kelompok yang akan banyak muncul pada era IoT ini adalah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Dan, akan menjadi pemimpin juga diindutsri IoT di kawasan APAC. Perusahaan tersebut diantaranya adalah General Electric, Cisco, Intel, Rockwell Automation, ARM, ABB, Siemens, Honeywell International, Dassault, Huawei, Zebra Technologies, IBM dan Robert Bosch.
Lalu, mengapa Cina akan memimpin IoT? Banyak pengamat industri melihat bahwa program pemerintah ‘Made in China 2025” yang dicanangkan dan dirancang untuk mendorong inovasi menjadi point penting. Diperkirakan, ada 10 manufaktur yang masuk dalam rancangan tersebut. Seperti advanced IT, automated machines and robotics, aerospace, maritime, rail, new energy, power, agriculture, new materials, dan biopharma/medicine.
Program ‘Made in China 2025 ini diresmikan oleh Departemen Perindustrian dan Teknologi Telekomunikasi sejak 2013. “Jika kita tidak bisa membuat produk dengan kualitas yang baik dan merek, Cina tidak akan bisa menjadi lokomotif manufaktur seperti yang kita harapkan,” jelas Sha Nansheng, MIIT Departemen wakil direktur Sains dan Teknologi dalam sebuah wawancara tahun lalu.
Salah satu point dalam program pemerintah Cina tersebut adalah peningkatan konten dalam negeri dalam komponen inti dan bahan barang yang diperoduksi mencapai 40% pada tahun 2020. Dan akan terus ditingkatkan sehingga mampu mencapai 70% pada tahun 2025.
Target pemerintah Cina dari program tersebut, seperti yang dilansir dari The New York Times, adalah untuk mendorong terjadinya transformasi ekonomi. Ada dua bidang yang menjadi fokus dari pemerintah Cina ini. Pertama adalah Internet Plus untuk insentif internet dan e-Commerce yang berhungan bisnis dan Made in China 2025 untuk meningkatkan fasilitas manufaktur Cina. Agar lebih fokus, pada tahun lalu, Cina telah memotong jutaan ton kapasitas produksi berlebih dalam baja, kaca dan aluminium dan tidak efisien industri berat lainnya.
Seperti China di wilayah APAC, Jerman di kawasan Europe, Middle East and Africa atau EMEA juga memiliki posisi terdepan untuk urusan IoT ini, terutama dalam mengotomisasi manufaktur.
Jerman sendiri memiliki Industrie 4.0 Initiative. Program pemerintah yang merencanakan Revolusi Industri ke empat. “Awal, yang menjadi fokus adalah semikonduktor ditingkat sistem elektronik mikro. Kini, Jerman Industrie 4.0 adalah program untuk memanfaatkan basis manufaktur yang ada di negara itu untuk menjadi episentrum produksi “pabrik pintar,” ujar Angela Merkel, Kanselir Jerman menjelaskan.
Jerman, dan Eropa pun pada umumnya juga memiliki jaringan IoT yang kuat. Hal ini terjadi berkat perusahaan Sigfox yang membawa Low power, wide-area network ke Jerman untuk mendukung Industrie 4.0. Jaringan Sigfox ini sendiri aktif dan akan dikembangkan lagi di 13 negara lain, termasuk Amerika Serikat.
“Jerman merupakan pasar yang sangat penting bagi Sigfox dan komitmen kami untuk menyebarkan jaringan nasional mencerminkan ini,” kata Stuart Lodge, EVP untuk penjualan global dan mitra di Sigfox. “Sigfox adalah membangun ekosistem yang kuat dari mitra di seluruh rantai nilai IOT dan Jerman memiliki banyak perusahaan yang memimpin pasar yang pengaruhnya meluas di seluruh dunia,” sahut Stuart menambahkan.
Dalam laporannya, IDC melihat prospektif lanskap IoT secara global di 2016, menyatakan bahwa APAC akan menguasai 5.4 juta peralatan yang terinstall IoT. Di Amerika Utama akan mencapai 5.2 juta dan di Eropa Barat akan mencapai 4.5 juta.
Tim riset IDC mengindifikasikan bahwa pasar utama yang kini sedang dalam pengembangan berkelanjutan adalah smart cities, smart houses dan smart cars, connectivity infrastructure, connected culture, dan lainnya.
Salah satu yang menjadi kunci agar IoT ini dapat sukses adalah standarisasi global yang sampai saat ini masih belum terbentuk. Untuk penentuan standarisasi ini perlu beberapa poin sehingga akhirnya akan membentu ekosistem. Pertama adalah global scalability, ekosistem untuk pengembangan aplikasi, prioritas dalam mengembangkan daerah bersaing dan masalah keamanan / privasi.
Dari sisi ekosistem itu sendiri, IDC memberikan catatan bahwa ada beberapa kendala yang membuat ekosistem belum terbentuk. Pertama adalah protokol konektifitas standar yang resmi dan dapat diterima oleh semua kalangan. Kedua adalah masalah privasi dan keamanan yang saat ini sangat memprihatinkan.
Di sisi lain, pasar juga sedang mengalami proses pengembangan. Di mana, dulu pasar dikendalikan oleh supply driven sedang kini harus dikembangkan berdasarkan demand driven. Sehingga, apapun yang diproduksi oleh IoT ini memang sesuai dengan kebutuhan pada konsumen. (Icha)