Telko.id – Internet of Things, diprediksikan bakal menjadi ‘lahan’ baru buat operator untuk menangguk untung. Di sisi lain, juga akan berkembang ekosistem baru yang memberikan dampak terhadap ekonomi digital Indonesia. Namun, dibalik itu semua, Indonesia masih membuthkan keberadaan laboratorium yang fokus mengembangkan produk terkait dengan IoT diperlukan untuk meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri dan mempercepat komersialisasi solusi IoT di tanah air.
Kesimpulan tersebut diperoleh dari hasil riset online yang diselenggarakan oleh Indonesia IoT Forum yang dilaksanakan pada bulan November 2017 melibatkan 112 responden dari berbagai latar belakang, seperti pegawai perusahaan, pengusaha, mahasiswa, dosen, peneliti, dan regulator yang bergerak di industri TIK.
“Dalam rangka mewujudkan upaya menggapai pasar IOT yang diperkirakan akan tumbuh sebesar Rp 444 Trilyun di tahun 2022 dengan kebutuhan perangkat/sensor sebesar 400 juta di tahun 2022, hasil riset terhadap keberadaan Laboratorium khusus IOT menunjukkan adanya ekspektasi dan minat yang cukup tinggi bahwa hal tersebut akan dengan mudah membuka akses mereka ke pasar yang potensial,” kata Teguh Prasetya, Founder Indonesia IoT Forum.
Teguh menambahkan “Mayoritas mereka ingin bergabung dengan Lab IoT untuk belajar dan merasakan pengalaman mengembangkan produk IoT sembari membangun jejaring dengan stakeholders dalam industri ini. Sebanyak 72,3% responden bahkan sudah memiliki ide dan berniat mengembangkan produk mereka sendiri”.
Lab IoT ini bertujuan untuk menawarkan ekosistem yang mengumpulkan para pengembang, pengguna akhir, dan inovator untuk bekerja sama dan menghadapi tantangan nyata dengan menggabungkan komunitas IoT menuju dunia komersial sesungguhnya.
Indonesia IoT Forum melakukan survei ini untuk melihat kebutuhan dan ekspektasi terhadap keberadaan Lab IoT di Indonesia. Di berbagai negara, Lab IoT menjadi salah satu sarana terbaik bagi developer untuk masuk pasar komersial.
“Regulator bisa memberikan proteksi maupun insentif, salah satunya dengan menerapkan kebijakan regulasi Sandbox khususnya untuk perkembangan IOT yang fleksibel sehingga memberikan ruang bagi para developer untuk berkembang mulai dari ide, perencanaan, pengembangan, hingga komersialisasinya. Kami harapkan hal ini dapat tertuang dalam Peta Jalan IoT di Indonesia yang sedang disusun oleh regulator,” ujar Teguh.
“Pada prinsipnya pihaknya sangat mendukung adanya Lab IoT untuk digunakan oleh pada developer/makers baik yang berawal dari hobi maupun sudah berkembang menjadi Start-up,” kata DR. Ismail, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan.
Ismail menambahkan “Tahap awal kita bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh regulator di Malaysia, dimana mereka menyediakan Lab IoT yang bisa digunakan oleh semua pihak secara gratis, syaratnya proyeknya harus selesai”.
Hal ini diharapkan bisa mendorong munculnya beragam produk IoT yang menjadi solusi atas kebutuhan masyarakat. “Kami masih mengkaji skema kepemilikan Lab IoT, apakah private owned atau government initiative. Begitu juga dengan skema insentif yang bisa diberikan oleh regulator,” ujar Ismail.
“Lab IoT akan meningkatkan pertumbuhan ekosistem IoT di Indonesia, dimana pemangku kepentingan mulai dari produsen perangkat, penyedia jaringan, hingga pengembang platform dan aplikasi memiliki kemungkinan untuk bekerjasama bersama,” kata Toto Suharto, Senior Project Manager Manufacturing Robert Bosch Indonesia.
Toto juga menambahkan bahwa “Kunci dalam bisnis IoT adalah kolaborasi karena tidak ada pemain tunggal yang bisa memberikan segalanya. Lab IoT juga merupakan pintu pembuka untuk pasar yang dapat diakses dan protektif di Indonesia dengan solusi lokal dan model bisnis yang disesuaikan”.
Hasil survei mencatat mayoritas responden memilih Lab IoT yang dimiliki murni oleh swasta atau pemerintah yang diikuti kemudian prioritas selanjutnya dengan laboratorium independen dan pilihan prioritas terakhir adalah milik institusi pendidikan.
Laboratorium milik swasta, pemerintah ataupun independen dirasa bisa memberikan manfaat lebih, khususnya terhadap akses ke pasar komersial dan kesempatan bekerjasama dengan multi-stakeholder. Prioritas dukungan berikutnya yang diharapkan adalah adanya kesempatan memperoleh pendanaan hingga dukungan legal atau kemudahan regulasi dari pemerintah.
Adapun bentuk Lab IoT yang menjadi pilihan pertama adalah laboratorium yang lengkap mulai dari pengembangan konten dan aplikasi, platform, perangkat (devices), dan jaringan (network). Prioritas berikutnya adalah laboratorium yang fokus terhadap pengembangan konten dan aplikasi sedangkan laboratorium yang fokus pada perangkat atau jaringan saja ada pada prioritas ketiga.
“Sebagai maker, Lab IoT sebaiknya tidak hanya fokus pada riset dan pengembangan, namun juga bisa membantu produksi dalam volume terbatas,” ujar Andri Yadi ,Founder & CEO of DyCode and DycodeX berharap.
Andri menambahkan bahwa “Perlu ada fasilitas untuk melakukan produksi dalam jumlah terbatas untuk memproduksi perangkat IoT seperti sensor atau actuators, guna memenuhi kebutuhan piloting atau trial atau Proof of Concept. Hal ini sangat mahal kalau dilakukan di luar negeri”. Bahkan Andri menyayangkan bahwa kondisi di Indonesia saat ini, layanan tersebut tidak murah atau belum dikelola secara professional.
Mayoritas responden juga sangat tertarik untuk melakukan bagi hasil dengan pengelola Lab IOT guna komersialisasi produk yang dihasilkan. “Pastinya mayoritas responden memilih lokasi di tengah kota atau memiliki akses ke transportasi publik dan mudah memperoleh transportasi online,” tutup Teguh. (Icha)