spot_img
Latest Phone

Huawei Watch D2, Bisa Pantau Tekanan Darah 24 Jam

Telko.id - Huawei resmi menghadirkan Huawei Watch D2 di...

Yuk Bikin Galaxy Z Flip6 Jadi Stand Out dengan Flipsuit Case

Telko.id - Huawei resmi memperkenalkan Huawei MatePad Pro 12.2-inch,...

Oppo Pad Air2

Oppo Reno11 Pro (China)

Oppo Reno11 (China)

ARTIKEL TERKAIT

Laporan Fortinet: 90% Organisasi Teknologi Operasional Jadi Target Serangan Siber

Telko.id – Fortinet hari ini merilis Laporan Kondisi Teknologi Operasional dan Keamanan Siber 2022 global. Dalam laporan tersebut, jaringan kendali industri terus menjadi sasaran tindak kriminal siber. Setidaknya, ada 93% secara global dan Indonesia sebesar 90% mengalami gangguan selama 12 bulan terakhir

“Studi kami menemukan bahwa 9 dari 10 organisasi OT yang disurvei di Indonesia mengalami dampak pada operasi di lingkungan industri karena intrusi siber. 63% organisasi OT Indonesia juga mengalami pemadaman operasional yang memengaruhi produktivitas dan kehilangan data penting bisnis (57%) sementara 60% organisasi memiliki tingkat kekhawatiran yang tinggi mengenai ransomware di lingkungan OT, dibandingkan dengan gangguan lainnya,” kata Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia di Jakarta pada Selasa (13/09).

Ia pun menambahkan bahwa dengan meningkatnya pelanggaran data di negara ini, organisasi lokal di Indonesia menyadari bahwa keamanan siber adalah masalah boardroom yang serius, dengan CEO sebagai pemberi pengaruh utama dalam keputusan keamanan siber.

Apalagi, terdapat kebutuhan mendesak bagi tim IT (teknologi informasi) dan OT dalam organisasi untuk bekerja sama secara holistik untuk meningkatkan visibilitas pusat dari operasi keamanan siber mereka yang pada akhirnya meningkatkan perlindungan organisasi mereka.

Pada kesempatan yang sama, John Maddison, EVP of Products and CMO, Fortinet juga menyebutkan bahwa dalam Laporan Kondisi Teknologi Operasional (OT) dan Keamanan Siber global tahun ini menunjukkan walau keamanan OT telah menjadi perhatian bagi pimpinan organisasi, masih terdapat celah berbahaya pada sistem keamanan.

Seperti, PLC yang dirancang tanpa sistem keamanan serta gangguan bertubi-tubi, kurangnya visibilitas tersentralisasi pada aktivitas OT, dan meningkatnya konektivitas pada TO adalah beberapa tantangan besar yang harus ditanggapi organisasi.

Sistem keamanan terpusat pada infrastruktur jaringan OT, termasuk penghubung, titik akses, dan tembok api pun, memegang peranan penting dalam segmentasi jaringan. Ini harus dikombinasikan dengan platform yang mencakup OT, OT/IT terpadu, dan TI yang menyediakan visibilitas dan kendali dari hulu ke hilir.”

Selain itu, dalam laporan Fortinet itu juga ditemukan bahwa terdapat kurangnya visibilitas tersentralisasi pada aktivitas Teknologi Operasional, sehingga meningkatkan risiko keamanan. Laporan Fortinet mendapati hanya 13% (Indonesia: 26%) responden telah mencapai visibilitas tersentralisasi pada semua aktivitas OT.

Hanya 52% organisasi mampu memantau semua kegiatan OT dari pusat operasi keamanan (Security Operations Center/SOC). Pada saat bersamaan, 97% organisasi global menganggap OT sebagai faktor yang cukup atau sangat penting dalam risiko keamanan mereka secara keseluruhan.

Temuan laporan mengindikasikan kurangnya visibilitas tersentralisasi berkontribusi kepada risiko keamanan OT dan melemahnya status keamanan organisasi.

Gangguan pada sistem keamanan OT pun berdampak signifikan kepada produktivitas dan pendapatan bersih organisasi. Laporan Fortinet mendapati 93% (Indonesia: 90%) perusahaan OT mengalami paling sedikit sekali gangguan selama 12 bulan terakhir. 

Ketiga jenis intrusi teratas yang dialami organisasi Indonesia adalah phishing emailmalware, dan ransomware.

Sebagai akibat gangguan tersebut, hampir 50% (Indonesia: 90%) organisasi mengalami kemacetan operasional yang memengaruhi produktivitas, dengan 90% dari gangguan tersebut memerlukan upaya pemulihan yang memakan waktu berjam-jam atau lebih lama, sementara 83% organisasi OT di Indonesia membutuhkan waktu hingga beberapa jam untuk kembali ke layanan dan sisanya dari 12% dapat memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. 

Selain itu, sepertiga responden mengalami kerugian dari segi pendapatan, hilangnya data, kepatuhan, dan nilai merek sebagai dampak gangguan keamanan.

Ditemukan juga bahwa kepemilikan sistem keamanan OT yang tidak konsisten dalam organisasi. Menurut laporan Fortinet, pengelolaan keamanan berada dalam lingkup peranan direktur atau manajer, seperti Direktur Operasional Pabrik hingga Manajer Operasional Manufaktur.

Hanya 15% (Indonesia: 10%) responden survei menyebut Manajer Keamanan Informasi (Chief Information Security Officer/CISO) sebagai pemegang tanggung jawab keamanan OT di organisasi mereka.

Nah, walaupun keamanan OT telah meningkat secara bertahap, tetapi masih terdapat celah keamanan pada banyak organisasi. Saat ditanyakan mengenai tingkat kematangan status keamanan OT, hanya 21% organisasi yang sudah mencapai level 4, meliputi kemampuan memanfaatkan orkestrasi dan pengelolaan. 

Perlu dicatat, sebagian besar responden Amerika Latin dan APAC telah mencapai level 4 dibandingkan dengan wilayah lain. Laporan tersebut menemukan bahwa sebagian besar organisasi menggunakan antara dua dan delapan vendor yang berbeda untuk perangkat industri mereka dan memiliki antara 100 dan 10.000 perangkat yang beroperasi, menambah kompleksitas.

Untuk Indonesia, laporan tersebut menemukan bahwa 12% organisasi OT Indonesia memiliki antara 1.000 – 10.000 perangkat OT berkemampuan IP yang beroperasi. Organisasi lokal menghadapi tantangan dengan menggunakan beberapa alat keamanan OT, yang selanjutnya menciptakan kesenjangan dalam postur keamanan mereka.

Apa Solusinya?

Laporan Kondisi Teknologi Operasional dan Keamanan Siber 2022 global oleh Fortinex menunjukkan jalan bagi organisasi untuk mengatasi kerentanan sistem OT dan menguatkan status keamanan mereka secara keseluruhan.

Organisasi dapat menanggapi tantangan keamanan OT dengan menerapkan Zero Trust Access untuk mencegah kebocoran.

Dengan makin banyaknya sistem industri yang terhubung ke jaringan, solusi Zero Trust Access memastikan bahwa tiap pengguna, perangkat, atau aplikasi tanpa kredensial dan izin yang semestinya akan diblokir dari akses ke aset penting.

Untuk meningkatkan upaya keamanan OT, solusi Zero Trust Access dapat memberi perlindungan lebih lanjut terhadap ancaman internal maupun eksternal. 

Selain itu juga dengan menerapkan solusi yang memberi visibilitas tersentralisasi pada aktivitas OT. Visibilitas tersentralisasi dari hulu ke hilir bagi semua aktivitas OT adalah kunci dalam memastikan organisasi menguatkan status keamanan mereka.

Berdasarkan laporan Fortinet, organisasi papan atas – yang mewakili 6% dari responden yang melaporkan tidak adanya gangguan pada setahun terakhir – memiliki kemungkinan tiga kali lipat lebih besar dalam mencapai visibilitas tersentralisasi dibandingkan organisasi lainnya yang mengalami gangguan.

Konsolidasi perangkat keamanan dan rekanan untuk integrasi dalam seluruh lingkungan sistem pun perlu dilakukan. Untuk menghilangkan keruwetan dan membantu tercapainya visibilitas tersentralisasi pada semua perangkat, organisasi harus mempertimbangkan integrasi teknologi OT dan IT mereka dengan jumlah rekanan yang lebih sedikit.

Dengan menerapkan solusi keamanan terintegrasi, organisasi dapat mengurangi area kerentanan dan meningkatkan status keamanan mereka.

Organisasi juga diharapkan dapat menerapkan teknologi kontrol akses jaringan (Network Access Control/NAC). Organisasi yang menghindari gangguan pada setahun terakhir cenderung sudah menerapkan NAC, yang memastikan hanya individual berwenang yang bisa mengakses sistem khusus yang penting dalam mengamankan aset digital. (Icha)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

ARTIKEL TERBARU