Telko.id – Transaksi digital saat pandemic ini melonjak signifikan. Di sisi lain, litersi keuangan dan digital di Indonesia sendiri masih sangat rendah. Hanya 38.03% saja.
“Transaksi digital menggunakan layanan bank berbasis aplikasi atau mobile banking mencapai 2,4 miliar per hari pada tahun lalu. Jumlahnya meningkat saat pandemi virus corona,” ungkap Anung Herlianto, Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK dalam Serial Webinar Nasional bertajuk Semangat Bulan Inklusi Finansial: Aman dan Nyaman Bertransaksi Online (08/10/2020).
Transaksi digital melalui e-commerce misalnya, naik sampai 400% per bulan.Sebelum pandemi, kata dia, tercatat 2,4 miliar transaksi mobile banking senilai Rp4.000 triliun. Fakta lain bahwa pada 2019 atau sebelum pandemi, sekitar 97% transaksi perbankan sudah dilakukan di luar kantor bank.
Bahkan kalau dilihat saat ini, misalnya Gojek dengan Gopay nya memiliki pengguna aktif sekitar 40 jutaan. Perbankan, sebut saja BCA yang sudah bertahun-tahun main diindustri keuangan, sampai saat ini saja baru memiliki nasabah sekitar 20 jutaan. Tak heran, transaksi digital sekarang ini juga naik signifikan.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), transaksi digital meningkat 37,8% dibandingkan sebelum adanya pandemi Covid-19. Penggunaan uang elektronik naik 65%, sementara ATM, kartu debit dan kredit turun sekitar 18,9%.
Peningkatan itu sejalan dengan inklusi keuangan yang mencapai 76,19%, jauh melebihi literasinya. “Sebanyak 97% transaksi perbankan dilakukan di luar kantor,” ujar nya.
Dia melanjutkan, OJK terus mendorong perbankan meningkatkan layanan digitalnya untuk mendorong inklusi keuangan. Sebab, pemanfaatan teknologi digital mampu menjangkau masyarakat di remote area atau unbankable.
“Kehadiran perbankan melalui kantor fisik itu sangat mahal. Untuk digitalisasi di awal memang investment sangat tinggi, tapi dalam jangka panjang bisa lebih murah dan menjangkau remote area,” katanyamenambahkan.
Namun, isu lain dari keuangan digital yakni aspek cyber security termasuk di sektor keuangan formal. Apalagi, tren kejahatan cyber terus meningkat dan muncul dengan segala cara untuk membobol rekening nasabah.Selama pandemi juga meningkat.
Berdasarkan Global World Digital Competitiveness Index yang dirilis oleh Institute for Management Development (IMD), literasi digital Indonesia menempati urutan 56 dari 63 negara.
Untuk itu, OJK sangat menyoroti risiko keamanan yang mungkin timbul dari melonjaknya transaksi non-tunai di saat literasi keuangan dan digital masyarakatnya rendah.
Berdasrakan data dari Pusat Operasi Kemananan Siber Nasional (Pusopskamsinas) Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, ada 88,4 juta serangan siber selama Januari hingga medio April. Bahkan, kasusnya mencapai 3,34 juta per hari pada 12 Maret.
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri juga menerima 649 laporan terkait penipuan online per September. Kemudian, ada laporan terkait akses ilegal (138 laporan), manipulasi data (71), dan pencurian data pribadi (39).
Untuk itu, OJK memusatkan perhatian pada risiko keamanan siber, salah satunya malware. Ini merupakan perangkat lunak (software) jahat yang mampu menyusup dan mengambil alih perangkat.
Berdasarkan data Toronto Centre 2019, ada 350 ribu malware yang disebar oleh pelaku kejahatan siber setiap harinya. Mayoritas dikirimkan melalui email. Kemudian phising menjadi modus yang paling banyak digunakan oleh pelaku.
Selain itu, kecepatan serangan dari ransomeware juga akan meningkat. Saat ini untuk melakukan penyerangan butuh waktu 14 detik saja. Tahun 2021 akan lebih singkat lagi, hanya 11 detik. Sedangkan untuk perangkat IoT hanya butuh waktu 5 detik saja terserang, sejak terkoneksi dengan internet.
Lalu serangan memakai software Distributed Denial of Service (DDoS) yang bertujuan melumpuhkan server korban. DDoS membanjiri jaringan korban dengan volume lalu lintas data palsu yang sangat tinggi. Dari beragam modus tersebut, pelaku mengincar data pribadi korban agar dapat masuk ke akun keuangan.
“Oleh karena itu, OJK berinisiatif meningkatkan literasi konsumen awareness,” kata nya. Regulator rutin menggelar edukasi, termasuk terkait transaksi digital. “Persenjatai diri agar tidak diserang secara siber,” ujar dia.
Lalu, berdasarkan laporan The International Criminal Police Organization (Interpol) 2020, Asia Tenggara menjadi sasaran penjahat siber yang beroperasi dengan cara menipu dan mengelabui korban, atau phishing. Indonesia menjadi target utama pelaku penipuan.
Salah satu perusahaan yang menyoroti keamanan siber pada sistem yakni Gojek. Head of Corporate Affairs GoPay Winny Triswandhani mengaku terus memitigasi risiko serangan melalui berbagai program. Salah satunya, JAGA yakni program edukasi kepada pengguna melalui kanal media sosial dan aplikasi.
Perusahaan juga mengedukasi mitra pengemudi dan penjual melalui aplikasi dan menggandeng komunitas. Perusahaan menekankan agar konsumen tidak bertransaksi di luar aplikasi. Selain itu, mengamankan data penting seperti kode verifikasi atau One-Time Password (OTP), nomor identifikasi pribadi (PIN), dan lainnya. Gojek juga mengembangkan keamanan sistem dari sisi teknologi.
“Kini pelanggan dapat memilih opsi keamanan biometrik dan verifikasi wajah sebelum bertransaksi menggunakan GoPay,” ujar Winny. Layanan keuangan Gojek, GoPay juga memberikan jaminan uang kembali jika saldo hilang di luar kendali pengguna. (Icha)