Telko.id – Pertumbuhan startup fintech yang bergerak dalam bidang peer to peer (P2P) lending di Indonesia disebut masih memiliki lahan yang luas untuk bergerak. Data Otoritas Jasa Keungan (OJK) mengungkap bahwa kebutuhan kredit nasional mencapai Rp1.700 triliun per tahun. Namun, hanya Rp700 triliun investasi terpenuhi.
Di sisi lain, ada opini yang menyatakan bahwa financial techonology ini merupakan bentuk lain dari rentenir digital.
Menurut, Freenyan Liwang, Komisaris perusahaan startup lokal P2P untuk properti Gradana, Menurutnya, baik Gradana maupun perusahaan fintech lainnya yang bergerak dalam bidang pembayaran atau pembiayaan UMKM justru menjadi bagian dari solusi untuk merealisasikan program pemerintah tentang inklusi keuangan.
“Dengan adanya model bisnis seperti ini, maka seluruh lapisan masyarakat bisa mengakses lembaga keuangan dengan lebih mudah melalui saluran-saluran pembiayaan khusus yang saat ini belum dapat difasilitasi oleh institusi keuangan konvesional,” kata Freenyan menjelaskan.
“Dengan adanya fungsi teknologi, segala bentuk persyaratan administrasi atau pelengkap bisa dilakukan secara online dan bisa diakses kapan pun, bahkan tidak hanya pada jam kerja kantor saja. Untuk Gradana sendiri, kami juga tetap melakukan due diligence dan pengecekan terhadap calon debitur atau peminjam mengingat para konsumen kami nanti juga akan melanjutkan KPR ke bank-bank umum setelah cicilan DP mereka selesai,” tuturnya.
Mantan Direktur Bank Sinarmas ini juga menegaskan bahwa saat ini inklusi keuangan belum optimal di Indonesia sehingga pemerintah menggalakkannya dengan lebih giat lagi terutama saat kunjungan Ratu Maxima beberapa waktu yang lalu. Tujuan inklusi keuangan agar setiap orang bisa mengakses sektor keuangan secara sederhana dan cepat, salah satunya melalui industri fintek. Hal yang serupa juga kembali diutarakan oleh Menteri Kominfo Bapak Rudiantara dalam pembukaan acara NextIcorn pada hari Rabu, (7/3)
Menurut Freenyan, istilah rentenir digital yang akhir-akhir ini marak mengacu kepada beberapa fintech yang menawarkan payday loans di mana calon peminjam bisa mendapatkan uang secara cepat tanpa banyak persyaratan maupun verifikasi. Bunga yang dikenakan jauh lebih tinggi daripada perbankan karena sesuai dengan besaran resikonya.
“Semakin tinggi resiko tentu saja bunga yang diterapkan lebih tinggi. Contohnya adalah Kredit Tanpa Anggunan atau KTA. Tanpa jaminan sama sekali, namun resikonya besar bagi pemberi pinjaman. Tidak heran kalau bunganya mencapai 30 hingga 51 persen per tahun,” ujar Freenyan menjelaskan.
Nah, untuk jenis payday loan tentunya akan dikenakan bunga lebih tinggi lagi karena kecepatan proses verifikasi diminimalisir. Bandingkan dengan produk GraSewa yang hanya 16 persen. Malah kalau menggunakan GraDP hanya sekitar 10-12 persen dan nilai ini sudah masuk ke nilai cicilan DP di pengembang rekanan kami. Nilai tersebut sudah fixed tanpa harus mengkhawatirkan perubahan suku bunga yang mendadak atau tiba-tiba. Ini mirip dengan sistem syariah.”
Setelah selesai menyicil DP, nantinya konsumen dapat melanjutkan melalui proses KPR dengan mengikut standar yang berlaku di bank yang menawarkan KPR tersebut. Saat ini kisaran bunga KPR ada di sekitar 13 persen pertahun.
Apa yang membedakan Gradana dengan jenis produk “payday loans” adalah adanya jaminan dalam bentuk sertifikat ataupun kesepakatan buyback atau refund dengan pengembang apabila terjadi kegagalan pembayaran.
Untuk Fintech P2P lending sendiri sudah diatur dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 di mana salah satu aspek yang ditonjolkan adalah para penyelenggara P2P tidak boleh melakukan “balance-sheet” lending di mana uang yang dipinjamkan berasal dari dana penyelanggara P2P itu sendiri. Dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa tugas penyelenggara hanya sebagai platform yang mempertemukan calon pemberi pinjaman / pendana dengan calon peminjam.
Tentunya sebagai platform, terutama para platform yang telah terdaftar di OJK, bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi sebenar-benarnya. Sebagai industri yang baru berkembang di Indonesia, teknologi finansial masih membutuhkan edukasi yang lebih massif lagi ke target konsumen. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan sendiri telah mengeluarkan izin kepada beberapa fintek untuk beroperasi di Indonesia.
“Pernyataan dari Ketua OJK mengenai rentenir tersebut harus disikapi dengan bijak. Tentu bukan berarti OJK sebagai lembaga ingin menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Justru OJK ingin agar masyarakat terlindungi dari pembiayaan yang merugikan. Buktinya Gradana sendiri mendapatkan izin dan sejauh ini berjalan lancar. Kita siap untuk mengadopsi apapun regulasi yang dikeluarkan OJK agar masyarakat teredukasi dan tetap bisa mengambil manfaat dari keberadaan kami,” tegasnya.