Telko.id – Beberapa waktu lalu, pemerintah mendorong untuk financial technology (fintech) agar mendukung ekonomi kerakyatan, terutama pendanaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bisnisnya berpotensi. Pasalnya, banyak UMKM yang belum tersentuh perbankan. Tapi kalau bunga pinjamannya 200%, siapa sanggup?
“Saat ini, sebanyak 70 persen UMKM di Indonesia masih belum punya akses ke pembiayaan. Padahal, pembiayaan ini sangat dibutuhkan UMKM. Karena itu kami dorong fintech itu ke sana,” ujar Nurhaida , Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Ditambah lagi, sebaran dari UMKM ini sangat luas. Sehingga akan sangat memakan dana besar jika harus dilayani oleh perbankan. Itu sebabnya, Fintech menjadi sarana yang sangat memungkinkan untuk mencapai UMKM tersebut.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini ada 62.922.617 (99,99%) UMKM dan hanya ada 5.460 (0,01%) usaha besar di Indonesia. Data yang sama juga menunjukkan bahwa UMKM telah menghasilkan 116.673.416 (97,02%) tenaga kerja, sementara usaha besar menghasilkan 3.586.769 (2,98%) tenaga kerja.
Jadi wajarkan, kalau pemerintah ingin UMKM di Indonesia tumbuh untuk turut menopang perekonomian Indonesia.
Jumlah fintech di Indonesia pun kini sudah semakin banyak. Tercatat di OJK sudah ada 258 fintech yang yang terdata.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 113 berupa fintech peer to peer lending, dan dari jumlah ini sebanyak 108 berstatus terdaftar dan 5 berstatus berizin.
Sisa fintech yang terdata di OJK berjenis sistem pembayaran, wealth management, hingga crowd funding.
Namun diakui saat ini bunga pinjaman dari fintech cukup tinggi, di atas suku bunga pinjaman dari bank.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memiliki kesepakatan di antara anggotanya, bahwa bunga pinjaman fintech maksimal 0,8% per hari. Itu berarti sekitar 24% per bulan, dan di atas 200% per tahun. Jauh di atas bunga kredit bank untuk UMKM yang kisarannya 20%-30%.
Untung, saat ini OJK sedang berupaya untuk mendorong penurunan bunga fintech tanpa ada regulasi khusus. Karena secara global tidak ada regulator yang mengatur bunga pinjaman fintech. Lantas bagaimana cara OJK mendorong penurunan bunga pinjaman fintech?
OJK sendiri beralasan bahwa bunga pinjaman fintech lebih tinggi dibandingkan dengan bank karena fintech ini tidak menggunakan agunan. Bunga tinggi itu merupakan kompensasi dari resiko. Itu sebabnya, OJK akan mendorong agar lender (pemberi dana ke fintech) nyaman memberi pinjaman dengan cara transparansi data dari debitur yang diberikan oleh fintech yang bersangkutan
Seperti diketahui, fintech peer to peer lending mendapatkan dana dari lender atau investor dan disalurkan ke debitur atau peminjam yang datanya dimiliki oleh fintech tersebut. Bila data ini dibuka dan diberikan ke lender, maka transparansi terbentuk, dan lender bisa mempertimbangkan penurunan bunga pinjamannya.
Sebagai informasi, hingga Maret 2019, P2P lending telah menyalurkan pinjaman senilai Rp 33,2 triliun. Nilai ini tumbuh 46,48% bila dibandingkan posisi Desember 2018 senilai Rp 22,66 triliun.
Trend peminjaman dana melalui fintech ini memang terus meningkat. Namun, melihat karakteristik bunga yang tinggi, masyarakat harus hati-hati, bahkan kalau bisa, mengambil pinjaman online sebagai alternatif terakhir ketika melakukan usaha pinjaman ke keluarga dan teman gagal diperoleh.
Bukan apa-apa, dengan bunga yang tinggi itu, jika tidak digunakan untuk kebutuhan yang produktif, pasti akan sangat menyulitkan ketika harus membayar cicilan. Jadi, harus sangat ketat pengelolaan keuangannya agar tidak terbelit hutang dari pinjaman online ini. (Icha)