Telko.id – Peran strategis e-KYC atau electronic Know Your Customer menurut Indonesia Fintech Society (IFSOC) perlu diperluas untuk dukung perkembangan ekonomi digital Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara.
Pasalnya, Mirza mengemukan bahwa memasuki tahun ketiga pandemi, adopsi teknologi digital di berbagai sektor semakin meningkat, termasuk penggunaan pembayaran serta layanan keuangan digital yang mengarah pada perkembangan ekonomi digital secara meluas.
Perkembangan ini secara khusus membutuhkan dukungan untuk menunjang aktivitas, termasuk transaksi di ruang digital, sehingga perluasan peran dan penguatan ekosistem dan proses electronic Know Your Customer (e-KYC) semakin krusial.
Dari sisi penetrasi internet, hingga tahun 2021, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 72,87%, dan penetrasi pengguna smartphone telah mencapai 72.07%. Di masa pandemi, terdapat 21 juta konsumen digital baru di Indonesia dengan 72% diantaranya berasal dari daerah non-metropolitan.
Terkait dengan kepemilikan identitas, sebanyak 168 juta (63%) penduduk telah memiliki identitas berbasis digital dan sebanyak 96 juta (36%) penduduk telah memiliki identitas akan tetapi belum berbasis digital. Kedua hal ini dapat dipandang sebagai peluang untuk mendorong perluasan peran dan pemanfaatan e-KYC.
Mirza juga memaparkan, pemanfaatan identitas digital dalam e-KYC mampu memfasilitasi berbagai interaksi individu dan institusi, dan menghasilkan manfaat bagi keduanya. e-KYC juga memungkinkan penciptaan nilai ekonomi untuk berbagai kelompok masyarakat di berbagai sektor dengan mendorong akses layanan yang lebih luas, membantu mengurangi penipuan, meningkatkan transparansi, serta mempromosikan digitalisasi yang efisien dan mudah.
Salah satu negara pelopor yang sudah maju dalam pemanfaatan identitas digital dan e-KYC adalah Estonia. Smart-ID di Estonia memungkinkan pelayanan publik berupa pengiriman online yang 99% aman. Sistem identitas digital memungkinkan Estonia untuk menyelesaikan KYC cek lebih cepat, melakukan pemungutan suara secara online hingga membayar pajak secara digital. Pemerintah Estonia memperkirakan sistem ini menyumbang sekitar 2% dari PDB per tahun.
Mirza juga menegaskan bahwa, pemanfaatan e-KYC di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan. Saat ini, hukum perlindungan data pribadi di Indonesia masih diatur secara tersebar di berbagai peraturan. Terdapat sedikitnya 46 undang-undang di berbagai sektor legislasi yang kontennya mencakup materi terkait dengan data pribadi.
Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum perlindungan data di Indonesia. Mirza menambahkan “Oleh karena itu sangat dibutuhkan sistem pengelolaan data yang aman. Lebih jauh, kesadaran masyarakat mengenai perlindungan data pribadi masih rendah, sehingga potensi pelanggaran data masih cukup luas. Metode tick box serta swafoto dengan KTP yang saat ini digunakan, rentan disalahgunakan atau rentan akan terjadinya fraud.” pungkas ekonom senior tersebut.
Dalam hal perluasan peran dan penguatan ekosistem e-KYC guna mengakselerasi ekonomi digital Indonesia di masa pemulihan, IFSoc menyampaikan tiga pandangan sebagai acuan tindak lanjut para pemangku kepentingan.
Kolaborasi yang kuat antar pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk membangun digital trust.
Anggota Steering Committee IFSoc, Hendri Saparini, menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pemerintah yang terus mendorong sistem penegakan hukum yang tegas untuk membentuk ekosistem digital yang terpercaya.
Hal ini dapat diperkuat melalui percepatan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) sebagai payung hukum perlindungan data di dalam ruang digital. “IFSoc juga mendukung upaya pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan kualitas talenta digital yang fokus pada peningkatan digital trust guna memperkuat sistem perlindungan konsumen dan mitigasi risiko penyalahgunaan data” ucap Hendri yang juga dikenal sebagai pendiri think tank CORE Indonesia.
Penguatan pemanfaatan e-KYC di berbagai sektor digital diperlukan untuk dapat menunjang geliat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Pengembangan sistem e-KYC sangat diperlukan, seperti misalnya penambahan data poin atau parameter untuk memperkuat peranan e-KYC serta meminimalisir kerugian akibat eksploitasi data.
Dalam hal ini, IFSoc mendorong penguatan peran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam negeri, baik dalam kewenangan, kapasitas infrastruktur teknologi maupun anggaran dalam membangun ekosistem e-KYC yang ideal untuk industri. IFSoc juga mendorong perluasan ruang diskusi antara pemerintah dan pelaku industri untuk membangun sistem e-KYC dan penggunaan identitas digital yang ideal.
Syahraki Syahrir, Anggota Steering Committee IFSoc juga menambahkan bahwa “Transformasi digital perlu diimbangi dengan kesadaran akan pentingnya perlindungan data. Menurut kami, data e-KYC sebaiknya tidak hanya bertumpu pada KTP, tapi perlu data poin lainnya yang dapat digunakan untuk memvalidasi identitas.”
Untuk menciptakan ruang digital yang lebih kondusif, perlu peningkatan kecakapan digital dan peningkatan kesadaran akan perlindungan data pribadi pada masyarakat luas.
Berikutnya, IFSoc mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan literasi digital kepada masyarakat luas. Kecakapan digital menjadi satu syarat yang mutlak untuk mendukung ekosistem pengembangan ekonomi digital berbasis pemanfaatan identitas digital. Selain itu IFSoc juga mendukung pemerintah memperkenalkan identitas digital serta mendorong sosialisasi kepada masyarakat luas akan pentingnya aspek perlindungan data pribadi dalam ruang digital.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh menyampaikan bahwa Indonesia secara sadar atau tidak sadar sudah masuk pada era digital trust, dimana masyarakat mulai percaya pada layanan digital. Di dalam era digital trust, dibutuhkan perangkat untuk menunjukkan kesahihan data-data diri melalui proses identifikasi, otentikasi, dan otorisasi.
“Biaya e-KYC juga jauh lebih hemat dibandingkan kalau kita masih sepenuhnya manual, biayanya sangat besar. Dalam proses otentikasi, kami mendorong fintech untuk melakukan minimal otentikasi dua arah (two-factor authentication), yaitu dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan foto wajah, dapat juga ditambah dengan tanda tangan digital. Dengan e-KYC biaya yang dikeluarkan akan lebih efisien dan akurat, dengan semakin berkembangnya teknologi,” tutur Zudan. (Icha)