Telko.id, Jakarta – Huawei nampaknya tak tinggal diam mendapat tekanan bertubi-tubi dari Amerika Serikat (AS). Bukannya ciut, Huawei malah merapat ke Rusia. Perusahaan teknologi asal China itu baru saja menandatangani perjanjian kerjasama pengembangan teknologi 5G di negara yang menjadi musuh bebuyutan AS tersebut.
Di saat pemerintah AS memperingatkan sekutunya agar tidak menggunakan teknologi Huawei di jaringan 5G mereka, raksasa China itu telah menandatangani perjanjian dengan perusahaan telekomunikasi Rusia MTS untuk mengembangkan jaringan nirkabel generasi kelima di negara itu.
Kedua perusahaan menandatangani kesepakatan di sela-sela pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam lawatannya selama tiga hari ke Rusia.
{Baca juga: Terkait Embargo Huawei, China Bakal Serang Balik AS}
MTS sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Rusia, memegang 31 persen pangsa pasar dan memiliki 78,3 juta pelanggan. Tak hanya menguasai pasar Rusia, MTS juga beroperasi di Ukraina, Armenia dan Belarus.
Perusahaan itu mengatakan bahwa dengan adanya perjanjian kerjasama itu, mereka akan mengizinkan Huawei mengembangkan jaringan 5G di Rusia. Kedua perusahaan akan melakukan uji coba jaringan seluler generasi kelima itu pada 2019-2020.
Guo Ping, salah satu Chairman Huawei mengatakan dia sangat senang dengan perjanjian di bidang yang sangat strategis seperti 5G.
Sebelumnya, AS telah memperingatkan sekutunya, termasuk Inggris dan Jerman, untuk menjauhi Huawei. Pihak Washington bahkan mengancam akan memutuskan hubungan intelijen dengan negara-negara sekutunya itu jika mereka menggunakan teknologi 5G Huawei dalam jaringan mereka.
{Baca juga: Amerika Serikat Serukan “Anti Huawei” ke Negara Sekutu}
Inggris telah mengindikasikan akan patuh pada “majikannya”, dengan meminta Huawei untuk menyediakan perangkat untuk infrastruktur “non-inti”, meskipun belum ada keputusan akhir yang dibuat.
Seperti diketahui, pemerintah AS menganggap Huawei sebagai ancaman keamanan nasional. Dengan alasan itu, pemerintah Donald Trump telah mengeluarkan larangan bagi perusahaan AS untuk berhubungan dengan perusahaan asal China tersebut.
Dengan masuknya Huawei dalam daftar “perusahaan terlarang” bagi perusahaan-perusahaan AS, tidak mengherankan jika kini melihat perusahaan tersebut memperkuat hubungan dengan Rusia.
Terlebih hubungan AS dan Rusia kini tengah memanas pasca insiden di Krimea dan Suriah. Seperti diketahui hubungan Kremlin dengan Barat memburuk sejak dijatuhkannya sanksi sebagai buntut keterlibatan Rusia dalam konflik Ukraina 2014, dan juga dikritik karena membantu rezim Bashar al-Assad di Suriah.
Selain itu, hubungan kedua negara adidaya itu semakin tak harmonis setelah munculnya tuduhan campur tangan intelijen Rusia dalam pemilihan presiden AS lalu.
{Baca juga: Diblokir Sana-sini, Huawei: Kami Korban “Bully” Amerika}
Sementara relasi China dengan AS mulai memanas sejak Donald Trump naik menjadi presiden di tahun 2017 lalu. Kedua negara kini terlibat dalam perang dagang, yang salah satu imbasnya adalah diberlakukannya embargo bagi produk Huawei.
Tampaknya China ingin mengambil momen perang dagang dengan AS ini untuk lebih merapat ke Rusia. Tanpa sungkan, Xi menyebut Putin sebagai “teman dekat”. Ia bahkan mengaku telah bertemu dengan koleganya itu hampir 30 kali selama enam tahun terakhir.
“Dalam enam tahun terakhir, kami sudah bertemu setidaknya 30 kali. Rusia adalah negara yang sering saya kunjungi. Presiden Putin adalah kolega sekaligus sahabat karib saya,” kata Xi.
Banyak pengamat menilai bahwa buntut dari perang dagang yang semakin memanas ini telah membuat China dan Rusia memiliki perasaan yang sama, yakni sama-sama merasa terpinggirkan oleh dunia Barat.
{Baca juga: Kena Embargo AS, Huawei Tetap Luncurkan Laboratorium 5G}
Kedua negara tersebut bakal makin mesra di berbagai sektor, terutama di sektor ekonomi dan militer. Hal itu tergambar dari pernyataan Xi saat berkunjung ke Rusia. Ia mengatakan kedua negara berjanji akan semakin mempererat kerja sama dalam bidang militer maupun ekonomi di masa depan. Salah satunya di bidang telekomunikasi.
China sendiri tak lagi bisa dianggap remeh. Negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia itu kini telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia. Tak hanya kuat dari sisi ekonomi, Rusia dan China juga menjadi negara maju dari sisi pengembangan teknologi.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika kedua negara itu “semakin akrab”? Akan ada dua kekuatan teknologi dunia bersatu. Apakah ini akan menjadi kabar baik, atau malah jadi kabar buruk bagi perkembangan teknologi di dunia? [HBS]