Telko.id – Diantara banyaknya negara yang masih berfokus untuk membangun pisah data berpendingin udara di daratan, China justru mengambil langkah berani dengan menenggelamkannya kedasar laut.
Mengutip dari Kompas Tekno, langkah ambisius ini bukan hanya soal efisiensi energi, tetapi juga menunjukkan dominasi baru China dalam inovasi infrastruktur digital global.
Melalui proyek data center bawah laut pertamanya, Negeri Tirai Bambu itu kini remsi menyalip Microsoft, perusahaan yang lebih dulu memelopori konsep serupa lewat eksperimen Project Natick.
China kini resmi mengoperasikan data center bawah laut komersial pertama di dunia, yang berlokasi di kawasan Lin-gang, Shanghai.
Fasilitas ini menjadi tonggak penting dalam transformasi energi dan teknologi, sekaligus pembuktian bahwa konsep pusat data di bawah laut lagi sekedar eksperimen.
Baca juga:
- Chip Analog China Diklaim 1.000x Lebih Cepat dari GPU Terkini
- AS-China Sepakat Turunkan Tarif, Apple Lega
Proyek ini dikembangkan oleh Shanghai Hicloud bersama perusahaan besar seperti China Telecom, Shenergy, dan CCCC Third Harbor Engineering, dengan total investasi mencapai 226 juta dollar AS (sekitar Rp 3,5 triliun)
Microsoft sendiri sebelumnya telah menenggelamkan 855 server di lepas pantai Skotlandia pada 208 untuk menguji sistem pendinginan alami laut.
Namun pada 2024, perusahaan tersebut menghentikan proyeknya setelah dinilai berhasil sebagai proof of concept, tanpa melanjutkan ke tahap komersial.
Lebih efisien, ramah lingkungan, tapi menantang secara teknis
Data center bawah laun milik China disimpan didalam kapsul bertekanan tinggi dengan lapisan anti-korosi, ditempatkan di kedalaman sekitar 35 meter dibawah laut.
Dengan pendinginan alami dari air laut dan pasokan energi 95 persen dari angin lepas pantai, pusat data ini mencapai Power Usage Effectiveness (PUE) dibawah 1,15, jauh lebih efisien dibandingkan pusat data didarat yang umumnya berada di kisaran 1,50-1,60.
Pada tahap awal, fasilitas ini sudah menghasilkan daya 2,3 megawatt, dengan target pengembangan hingga 24 megawatt. Pengembang memastikan bahwa dampak termal dan maritim masih dalam batas aman, meskipun masih menunggu hasil verifikasi independen.
Namun, di balik efisiensinya, proyek ini menyimpan tantangan besar pada aspek pemeliharaan dan penggantian komponen, yang jauh lebih rumit dibandingkan fasilitas darat.
Kendati demikian, langkah China ini menegaskan arah baru evolusi infrastruktur digital dunia yaitu memindahkan pusat komputasi dari daratan ke lautan demi efisiensi energi dan keberlanjutan lingkungan.


