Telko.id – Bank Indonesia mengaku sedang mengkaji penggunaan teknologi pencatatan transaksi terintegrasi modern (blockchain), termasuk mengkaji untuk menerbitkan mata uang digital bank sentral (central bank digital currency/CBDC) untuk sistem pembayaran domestik.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko seperti dikutip dari Antara, Senin (29/1), mengatakan kajian itu masih dalam tahap awal.
Sejauh ini, kata Onny, bank sentral masih mengkalkulasi dampak dan upaya mitigasi risikonya jika kebijakan tersebut diterapkan. BI belum memiliki peta waktu untuk menguji coba penerapan mata uang digital bank sentral.
“Belum ada rencana mau uji coba atau menerapkan. Kajian harus matang dahulu tentunya,” kata Onny.
Bank Sentral negara-negara lain pun saat ini sedang mengkaji penggunaan blockchain dan mata uang digital bank sentral.
Onny mengatakan kajian yang dilakukan BI juga akan melingkupi sektor-sektor tertentu yang akan difasilitasi penggunaan blockchain dan mata uang digital tersebut.
“Kita masih mendalami kelebihan dan kekurangannya, dan bila diterapkan yang paling aman dan efisien ditransaksi di sektor apa? Ini sedang didalami,” ujar dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menegaskan untuk melarang pemrosesan transaksi menggunakan salah satu uang virtual bitcoin.
Sesuai Undang-undang mata uang, alat pembayaran yang sah adalah rupiah. BI selaku otoritas sistem pembayaran mengaku, tidak bertanggung jawab dengan fluktuasi harga yang terjadi jika Bitcoin masih digunakan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyarankan masyarakat Indonesia untuk tidak berinvestasi bitcoin. Direktur Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sujanto mengatakan peredaran uang digital ini tidak diatur di Indonesia.
Namun, teknologi blockchain yang merupakan teknologi dasar untuk beroperasinya mata uang digital seperti tidak dapat dibendung lagi. Saat ini, mata uang virtual yang diterbitkan swasta seperti Bitcoin, Etherum dan Ripple, juga menggunakan blockchain.
Mulai mencuatnya penggunaan teknologi blockchain, termasuk produknya seperti mata uang digital karena alasan efisiensi dan efektivitas di sistem pembayaran.
Gubernur Bank Sentral Afrika Selatan Lesetja Kganyago yang juga Ketua Komite Moneter dan Keuangan Internasional Dana Moneter Internasional (IMFC) termasuk pimpinan bank sentral yang berpandangan untuk membuka peluang diterbitkannya mata uang digital bank sentral.
Kganyago mengatakan ketika dulu orang percaya pada catatan fisik perbankan, maka saat ini tidak ada alasan bagi bank sentral untuk tidak dapat berpikir terkait menerbitkan mata uang digital.
“Tidak ada alasan kenala bank sentral tidak mulai memikirkan tentang mata uang digital. Sama ketika dulu mereka percaya saat bank sentral membuat catatan fisik keuangan,” kata Kganyago seperti dilansir di laman resmi Dana Moneter Internasional (IMF).
Komisi Sekuritas dan Bursa Saham Filipina pun kini tengah menggodok kebijakan yang akan mengatur transaksi cryptocurrency seperti Bitcoin, untuk melindungi investor dan mengurangi risiko penipuan.
Dikutip dari New York Times, Selasa (30/1/2018), regulasi yang akan mencakup penerbitan dan pendaftaran mata uang virtual ini diharapkan rampung tahun ini.
“Kami perlu bertindak, karena initial coin offering (ICO) terus tumbuh terutama pada 2017. Ini harus ditangani dengan sederet regulasi kami,” kata anggota Komisi Sekuritas dan Bursa Saham Filipina Emilio Aquino yang menangani perlindungan nasabah dan investor.
“Telah terjadi banyak kasus di mana para promotor ICO menghilang entah ke mana. Kami tidak ingin hal itu terjadi di sini,” sebutnya lagi.
Seperti diketahui, para pembuat kebijakan di seluruh dunia berupaya mengendalikan ledakan global perdagangan Bitcoin dan mata uang virtual lainnya.
China misalnya, melarang ICO dan menutup platform perdagangan mata uang virtual setempat. Sementara Korea Selatan, berencana menutup operator pertukaran cryptocurrency.
Jepang baru-baru ini memberikan sanksi kepada Coincheck, bursa mata uang virtual ala Bitcoin Jepang, setelah kebobolan yang menimpanya. Coincheck kehilangan 523 juta koin NEM (mata uang virtual Jepang) senilai 58 miliar yen atau sekitar Rp 7,1 triliun. Pembobolan ini mengungkap adanya kerentanan dalam perdagangan aset. (Icha)