Telko.id – Gemerlap industri telko seperti meredup. Gempitanya layanan OTT atau over the top membuatnya ‘harus’ kembali ke khitah nya sebagai penyedia jaringan. Bagi beberapa pemain menjadi sulit untuk tumbuh. Menurut Arief Mustain, Perwakilan ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia) setidaknya ada tujuh poin sebagai modal bagi pelaku industri bagaimana bicara mengenai size dan kekuatan yang bisa disumbangkan oleh industri ini kepada negara. Apa saja?
Poin pertama, adalah masalah pengguna. Jumlah pengguna seluler sangat besar dengan total 322,1 juta yang mana sebagian besar merupakan pelanggan data.
“Ini akan menjadi salah satu modal kita kedepannya yang sangat besar. Dalam konteks nanti ketika kita akan bicara tentang on top dari infrastuktur atau on top network, akan banyak yang bisa kita lakukan, apakah cross-selling, upselling, atau sebagainya,” kata Arief, di Selular Telco Outlook 2020, di Hotel Aston, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Beralih ke persoalan harga, Arief menyebut, bahwa Indonesia menjadi negara terendah nomor tiga di dunia setelah India dan Bangladesh, yang menawarkan harga paket data murah. Walau bagus bagi pelanggan, namun tidak bagi industri. Karena industri harus bertahan dengan menghasilkan pendapatan.
“Bahkan sekarang angkanya (data yield) bukan 0,5 mungkin sudah 0,3. Jadi semakin turun secara angka year per gigabite. Sudah barang tentu bagi operator akan menjadi salah satu hal yang sangat fundamental. Secara volume memang semakin meningkat dan pertumbuhan user juga semakin melambat, tapi dengan Yield yang sangat rendah ini akan menjadi persoalan dalam membangun kesehatan sebuah korporasi,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Director & Chief Innovation and Regulatory Officer di Indosat Ooredoo tersebut.
“Semua itu, menjadi tantangan buat industri telko. Disaat kita harus tetap tumbuh baik untuk investasi beberapa teknologi baru yang juga kita harus lakukan,” ujar Arief menambahkan.
Namun di sisi lain, dengan Yield yang rendah maka akan mendorong terjadinya konsumsi bandwidth yang besar-besaran. Setiap tahun pertumbuhan konsumsi data mencapai 87 persen untuk ukuran pentabite.
Dengan konsumsi bandwidth yang begitu besar, Arief menekankan, seharusnya sektor ini memberikan dampak ekonomi dan sosial untuk meleverage sektor-sektor lainnya seperti pendidikan di seluruh Indonesia.
“Mungkin kita bisa lihat perkembangan sektor di e-commerce dan digital coach baik untuk yang education, entertainment, dan sebagainya juga di-leverage oleh menurunnya harga ini,” katanya.
Terkait dengan teknologi, ATSI juga bersama-sama dengan operator telco telah melakukan beberapa adopsi teknologi. Bahkan, teknologi yang tidak mainstream pun turut dilakukan.
Tak dipungkiri, teknologi 2G GSM masih digunakan karena jumlah pelanggan seluler yang menggunakan feature phone masih banyak. Sedangkan teknologi 3G saat ini masih digunakan pelapis jaringan data 4G.
Selanjutnya isu yang tidak kalah pentingnya yakni mengenai ambisi seluruh operator yang haus spektrum. Tahun depan, pihak operator akan menunggu lelang frekuensi 2,3GHz. Kata Arief, ketersediaan spektrum ini akan menjadi concern selama terus-menerus, karena disinyalir bisa menggairahkan industri kembali.
Layanan Internet of Things berbasis seluler (NB-IoT) diprediksi juga akan terus meningkat. Operator sudah mulai mengadopsi teknologi-teknologi alternatif di IoT, yang dinilai sangat baik untuk menyehatkan industri dari sisi kompetisi.
Lalu poin yang terakhir mengenai pertumbuhan smartphone yang sangat tinggi. Menurut firma riset IDC, dalam dua kurtal terakhir, pengapalan smartphone di Indonesia meningkat pesat. Masing-masing kuartal kedua 2019, mencapai 9,7 juta unit, tertinggi dalam sejarah. Sementara kuartal ketiga 2019, sebesar 8,8 juta unit.
Dengan animo pasar yang terus meningkat, bukan tidak mungkin penjualan smartphone di akhir 2019, bisa melampaui pencapaian 2018 yang mencapai 38 juta unit. (Icha)