Telko.id – Pemerintah Indonesia baru akan membuka lelang pita fekuensi 5G pada tahun 2022. Langkah-langkah strategis kearah itu sudah di petakan.
Seperti yang diungkapkan Direktur Penataan Sumber Daya, Ditjen SDPPI Kemkominfo, Denny Setiawan, rencana implementasi 5G sudah disiapkan sejak 2017 dengan menggelar uji coba indoor pita frekuensi 15GHz oleh XL Axiata dan 72GHz oleh Telkomsel.
Kemudian, pada tahun ini kembali digelar uji coba oleh operator seluler yakni Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo. Uji coba indoor dan outdoor pita frekuensi 28GHz digelar oleh Telkomsel saat Asian Games XVII.
Kemudian, XL menggelar uji coba outdoor pada pita frekuensi yang sama. Indosaat Ooredoo melakukan pengujian yang sama pada Kamis (22/11/2018) melalui 3D Augmented Reality (AR).
“Pada tahun depan direncanakan akan dilakukan kembali uji coba pada pita frekuensi 26GHz dan pita lainnya yakni 3,5GHz,” kata Denny dalam acara uji coba 5G di kantor Indosat Ooredoo.
Tahun depan juga pemerintah akan menyusun dan mensosialisasikan draft kebijakan 5G, dengan fokus mendukung revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital.
Finalisasi kebijakan dan regulasi untuk 5G, termasuk spektrum, model bisnis, dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) diharapkan terjadi pada periode 2020-2021. Kemudian, juga akan dilakukan uji coba 5G menggunakan perangkat komersial dan mencoba use case berkaitan dengan manufaktur terkait revolusi industri 4.0.
“Kami akan menentukan pita frekuensi yang akan digunakan, harganya berapa, membangun small cell, serta bisnis model juga penting. Ini semua harus disiapkan dari spektrum hingga regulasinya,” ungkap Denny.
Setelah semua proses tersebut berlangsung, baru pemerintah bisa membuka lelang pita frekuensi 5G. Sejauh ini, ada tiga kandidat pita frekuensi yang kerap disebut akan menjadi pilihan Indonesia, yakni 3,5GHz, 26GHZ, dan 28GHz.
Peluncuran layanan broadband berbasis 5G, yakni mobile dan fixed broadband, diprediksi akan dilakukan pada 2022. Namun, Denny tidak menutup kemungkinan waktu peluncuran bisa lebih cepat.
“2022 mungkin baru bisa dirilis, tapi kalau harmonisasi berjalan baik mungkin bisa lebih cepat,” tuturnya.
Menurut Denny, untuk memberikan layanan 5G pada masyarakat Indonesia ini, bukan sekedar frekuensi saja yang harus dipersiapkan. Tetapi juga membangun ekosistem. Baik Device, Network dan Aplikasi.
Frekuensi 5G Masih Jadi PR Pemerintah
Sejauh ini, memang ada tiga kandidat pita frekuensi yang kerap disebut akan menjadi pilihan Indonesia, yakni 3,5GHz, 26GHZ, dan 28GHz.
Namun, frekuensi yang ideal untuk 5G itu, di Indonesia masih jadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Misalnya, untuk frekuensi 3,5 GHz saat ini sudah ditempati untuk layanan satelit, tidak akan digunakan untuk layanan akses pita lebar atau broadband wireless access (BWA).
Satelit yang memiliki pita frekuensi C-Band dianggap paling cocok untuk dipancarkan ke seluruh wilayah Indonesia. C-Band memiliki besaran 3.7 GHz hingga 4.2 GHz untuk downlink dan 5.925 GHz hingga 6.425 GHz untuk uplink.
“Kami masih berdiskusi untuk pemanfaatan frekuensi tersebut agar tak menimbulkan masalah,” ujar Denny.
Denny juga menyebutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan satelit karena wilayahnya yang terbagi menjadi pulau-pulau. Hal itulah yang masih menjadi pertimbangan penggunaan frekuensi menengah untuk 5G.
“Mid frekuensi 3,5 band kandidat utama yang sedang menjadi pembahasan utama.
Indonesia juga sangat membutuhkan satelit karena negara kepulauan untuk terrestrial network,” ujarnya.
Itu sebabnya, Indonesia belum menentukan frekuensi yang akan digunakan untuk teknologi 5G ini. Ditambah lagi, pemerintah juga menanti kesempatan World Radiocommunication Conferences (WRC) di akhir tahun ini. Pada kesempatan itu, Indonesia akan menentukan sikap sesuai dengan keputusan secara global. Alasannya, masalah frekuensi harus disesuaikan dengan kebijakan yang diatur International Telecommunication Union (ITU).
“Kami akan memutuskan frekuensi bersamaan dengan WRC meeting atau pertemuan. Jadi frekuensi secara global itu tidak diputuskan sendiri-sendiri oleh tiap negara tapi ikut bersama-sama kebijakan frekuensi dunia yang diatur oleh ITU,” kata Ismail, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan pada wartawan beberapa waktu lalu.
Sebenarnya, masalah di frekuensi 3.5GHz ini tidak terjadi di Indonesia saja. Hal ini juga terjadi di sebagian besar negara di Asia.
“Beberapa case seperti di Hongkong, Australia, dan India, sekarang mereka lagi menunggu co-exist antara satelit dengan cellular network. Pasti akan dibutuhkan detail studi, Ericsson bisa share misalkan dari segi pengukuran, hingga case study yang pernah kita lakukan di India, Australia, ataupun Hongkong. Tidak menutup kemungkinan juga kita perlu field test 3,5GHz co-exist di Indonesia, kita ada hitung-hitungan jarak dengan stasiun bumi, maka dari itu kita perlu support,” ungkap Ronni Nurmal, VP Network Solutions Ericsson Indonesia pada diskusi 5G di Indosat Ooredoo.
Operator Harus Bahu Membahu Bangun Ekosistem 5G
Ekosistem menjadi kunci bagi suksesnya 5G di Indonesia. Baik dari sisi Device, Network maupun aplikasi. Ditambah lagi, karena 5G ini akan sangat bermanfaat bagi industri ketimbang retail, maka industry pun harus menanggapi kehadiran 5G ini dengan melakukan perubahan menuju digitalisasi industry seperti yang dicanangkan oleh pemerintah yakni Making Indonesia 4.0.
Selain itu, operator pun tidak bisa ‘egois’ dengan membangun jaringan sendiri-sendiri. Diperlukan kerjasama seperti active network sharing. Memang untuk active network sharing ini pemerintah berjanji akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000.
Di mana, Active network sharing adalah mekanisme penggunaan bersama infrastruktur aktif telekomunikasi antaroperator telekomunikasi di suatu negara. Namun, nantinya, revisi aturan network sharing ini tidak bersifat wajib bagi seluruh operator. Sayang, sampai saat ini oturan yang dimaksudkan mesih belim keluar juga.
Pasalnya, 5G membutuhkan kemudahan akses infrastruktur publik. Kondisinya saat ini, menurut Indra Gunakan, seorang pengamat telekomunkasi menyebutkan bahwa dengan naiknya trafik data di Indonesia, ternyata tidak membuat pendapatan atau revenue operator meningkat.
“Ada dua alasan, pertama adalah harga yang diterapkan lebih rendah dibandingkan dengan cost produksinya, kedua, industri sudah tidak sehat karena terjadi perang harga,” ujar Indra ketika ditemu di kantornya dibilangan Thamrin, Jakarta (23/11).
Kalau hal ini terjadi terus, Indra pesismis operator memiliki dana untuk membangun jaringan 5G. Apalagi, untuk membangun jaringan 5G ini harus ‘bongkar’ peralatan yang ada sekarang ini.
Ditambah lagi, untuk membangun site baru sangat sulit dan mahal akuisisi lahannya. Jika operator mau bekerja sama, tentu hal ini akan lebih memuluskan lagi upaya Indonesia untuk membangun jaringan 5G di Indonesia.
Ada nya palapa ring memang sudah sangat membantu operator untuk bangun jaringan. Paling tidak, operator tidak perlu membangun backbone. Tapi ternyata, Indra mengkhawatirkan kalau backbone ini tidak banyak dimanfaatkan oleh operator karena memang operator tidak punya dana besar untuk bangun jaringan.
Pasalnya, dari backbone yang dibangun pemerintah pun, masih cukup jauh untuk sampai ke wilayah yang secara ekonomi menguntungkan bagi operator. “Operator belum tentu punya dana yang cukup untuk narik kabel dari backbone ke wilayah yang strategis,” ungkap Indra.
Jadi memang, network sharing menjadi penting di era 5G ini. (icha)