spot_img
Latest Phone

Huawei Watch D2, Bisa Pantau Tekanan Darah 24 Jam

Telko.id - Huawei resmi menghadirkan Huawei Watch D2 di...

Yuk Bikin Galaxy Z Flip6 Jadi Stand Out dengan Flipsuit Case

Telko.id - Huawei resmi memperkenalkan Huawei MatePad Pro 12.2-inch,...

Oppo Pad Air2

Oppo Reno11 Pro (China)

Tecno Spark 20

ARTIKEL TERKAIT

Rudiantara: Kominfo Kini Lebih Menjadi Fasilitator dan Akselerator

Telko.id – Kondisi industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 kurang menggembirakan. Pasalnya, menurut Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah industri telekomunikasi Indonesia hanya mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018.

Dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp 158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp 148 triliun alias minus 6,4 persen.

Lalu, bagaimana pendapat Rudiantara, Menteri Komunikasi Informatika agar tahun ini pertumbuhan industri telekomunikasi semakin baik? Kemudian, bagaimana Kominfo menyikapi berbagai issue yang berkembang akhir-akhir ini?

Ikuti, wawancara khusus Telko.id dengan Rudaintara, Menteri Komunikasi dan Informatika yang dilakukan beberapa waktu lalu di kantor nya di kawasan Medan Merdeka Barat.

Bagaimana pendapat bapak terkait kondisi industri telekomunikasi pada 2018 lalu yang kurang menggembirakan dengan pertumbuhan minus 6,4 persen?

Iya, growth nya industri sekitar -7%. Tapi itu masih berada diatas pertumbuhan nasional.

Bukan negative, kalau negative itukan, tahun sebelumnya 7%, sekarang menjadi minus berapa persen.

Jadi, sebenarnya, industri masih mengalami pertumbuhan atau peningkatan, hanya saja, peningkatannya tidak secepat tahun lalu.

Yang perlu dilihat, dari mana tahun-tahun sebelumnya terjadi percepatan pertumbuhan? Ya, pertama dari data, dari jumlah pelanggan, dari penjualan SIMCARD. Lalu, tahun 2018, ada fenomena yang tidak terjadi pada tahun sebelumnya, yakni registrasi prabayar. Jadi, terjadi pembersihan dari sisi pendapatan.

Jika dulu dibukukan, setiap penjualan simcard, kemudian menjadi pendapatan, walaupun dibawahnya, dikompensasi sebagai biaya, sejak adanya registrasi tidak serta merta lagi.

Demikian juga pada tahun 2019, tidak akan lagi. Namun, seharusnya, tahun ini secara top line nya akan menjadi lebih bagus. Dan, kalau kita lihat pendapatan itu dari mana? Dari jualan simcard, jadi pendapatan yang sangat real itu adalah fungsi jumlah pelanggan dikali harga jual. Ini yang terus saya ingatkan pada teman-teman operator, bahwa kompetisi diharga jual harus ada. Tapi, kompetisinya juga harus rasional.

Sempat beberapa saat ini, industri telekomunikasi memasuki area irrational compettion, dari sisi harga, karena orientasinya adalah jumlah pelanggan. Itukan sama hal nya dengan kita punya pelanggan, tetapi tidak menghasilkan. Bahkan yang ada jor-joran paket. Bukan harga nya harus dinaikan, tetapi harus ada rasionalitas dalam berkompetisi. Karena yang harus dijaga adalah sustainability dari industri.

Kenapa? Kalau industrinya untung dalam arti suistainable, bukan untung semena-mena, berarti mereka memiliki kemampuan untuk memelihara jaringannya. Jadi, jika bisa memelihara jaringannya, maka diharapkan layanannya terjaga. Lebih dari itu, diharapkan juga bisa membangun jaringan yang baru.

Ini harus kita lihat dari Capital Expenditure nya. Berapa besar tahun 2018 CAPEX nya dibandingkan dengan 2017. Capex tahun 2018 itu, capex nya lebih keci dibandingkan dengan 2017.

Tapi, saya sudah bicara, dengan operator, rencananya pada tahun 2019 ini akan genjot CAPEX lagi. Karena tanpa investasi, niscaya tidak aka nada penambahan coverage yang baru. Pemeliharaan kan harus tetap jalan. Jadi, harapannya, 2019 ini akan lebih baik dari 2018.

Apakah perlu untuk mengatur tarif dasar agar industry telekomunikasi menjadi lebih baik?

Saya tidak akan pernah mengeluarkan peraturan atau kebijakan tarif dasar seperti tarif dasar penerbangan. Karena apa? Di penerbangan harus ada tarif minumim, karena berkenaan dengan keselamatan atau safety. Ban itu, tidak boleh dipakai lebih dari jumlah take off dengan jumlah landing.

Sedangkan di telekomunikasi tidak ada. Industri telekomunikasi saat ini belum masuk dalam tahap rugi sebenarnya. Tapi jangan sampai nanti nya rugi. Karena kalau rugi, yang rugi adalah masyarakat.

Tapi, jangan juga kita sampai jor-joran hanya untuk mendapatkan jumlah pelanggan, akibatnya EBITDA nya negative terus atau pertumbuhan EBITDA nya tidak bagus –karena perusahaan yang bagus itu dilihat dari EBITDAnya bukan profitablitas, karena kalau profitablitas ada interest yang dibayar dan pendapatan lain-lain. Kalau begitu, nanti jual asset masuk dalam profitabilitas. Padahal hanya sewaktu-waktu saja jual asset.

Sustaionability ini dilihatnya dari kualitas dari EBITDA Margin, maupun EBITDA absolutnya.

Jadi faktor apa yang bisa mengangkat industri telekomunikasi di tahun ini?

Yang pertama rasionalitas kompetisi. Kedua, adalah cara belanja yang efisien. CAPEX, Network Sharing,

Network sharing, tidak perlu harus menunggu aturan. Saya juga tahu dilapangan ada yang melakukan network sharing. Tidak sesuai aturan, tapi kalau menguntungkan bagi operator yang bersangkutan dan menguntungkan bagi masyarakat. Ya tidak ada masalah.

Tujuan adanya aturan itu kan agar tidak terjadi asimetric bargaining power. Ijin, misalkan, kapan kita keluarkan ijin, apakah kita harus mengeluarkan ijin? Belum tentu.

Ijin dari Undang-undang telekomunikasi merupakan produk dari rezim lama. Kalau ditelaah lebih lanjut, isinya itu lebih banyak mengatur tentang tata acara perijinan. Sekarang sudah tidak jaman lagi.

Ijin itu, bagi saya filosifinya adalah apabila diperkirakan akan terjadi asimetric bargaining power antara produsen dengan konsumen. Itu baru perlu ijin. Kenapa? Pemerintah atau negara hadir. Contoh di seluler, coba kenapa harus ada ijin karena pasti akan terjadi asimetric bargaining power antara produsen, operator, dengan masyarakat pengguna. Makanya perlu ijin. Ijin itu untuk melindungi pengguna, agar tidak di abusse. Kalau tidak ijin, maka yang terjadi adalah melakukan pembangunan dan dijual suka-suka.

Itu sebabnya, pemerintah membuat aturan, buat ijin, agar ada yang namanya service level kepada masyarakat. Jika yang terjadi simetric, antara produsen dan konsumen ya happy happu saja. Contoh, interkoneksi. Apa semua operator menggunakan tarif menit untuk interkoneksi? Ada juga kok yang bulk, gelondongan.  Dan itu simetric yang satu tidak merasa tertekan dengan yang lain.

Kita, di Kominfo menghindari pekerjaan yang tidak memberikan nilai tambah. Kalau sama-sama happy ya sudah.  Jadi, interkoneksi diatur, hanya saja diaturnya tidak heavy handled regulation, tapi lite touch regulation. Memproteksi dari bargaining power, supaya tidak di abuse posisinya. Karena merasa paling besar lalu meng-abuse suka-suka. Itu tidak boleh terjadi, makanya keluar regulasi, keluar ijin.

Apakah dengan konsolidasi nya akan mempercantik industri telekomunikasi? Mengingat para operator sekarang ini menunggu aturan dari pemerintah, teutama tentang frekuensi?

Begini, masalah konsolidadi sudah saya bilang sejak 2015. Dan, masalah konsolidasi ini bukan masalah manager matters. Konsolidasi, merger, akuisisi, sejauh mengubah pemegang saham, bukan urusannya managemen, urusan nya pemegang saham. Pemegang saham yang harus ditanya.

Saya sendiri sudah melakukan komunikasi dengan pemegang saham. Dengan managemen, tidak seintensif dengan pemegang saham. Saya malah punya group WA sendiri dengan pemegang saham.

Hasil dari komunikasi intensif dengan para pemegang saham apa?

Konsolidasi tidak bisa dihindarkan. Sekarang tinggal siapa yang memulai, bagaimana memulainya, dengan aspek komersial seperti apa. Itu saja. Dan, para pemegang saham sudah mengerti.

Yang jadi pertanyaan adalah masalah frekuensi. Bagaimana menurut Bapak?

Balik lagi, ini bukan masalah managemen matters, its owner matters.

Saya sudah menyampaikan pada owner, tapi kalau owner tidak menyampaikan pada manajemen, bukan urusan saya.

Jadi, ke pemegang saham, saya sudah kasih gambaran arah regulasinya akan seperti apa. Sekarang BRTI sedang menyiapkan regulasinya.

Lalu, kalau merger, frekuensi nya akan ikut?

Begini, fair treatment harus diberikan pada semua nya. Baik yang mau melakukan konsolidasi, maupun yang tidak melakukan konsolidasi. Ini contoh, kalau ada dua operator bergabung, lalu, ternyata frekuensinya banyak sekali, kita akan hitung, berapa banyak sebenarnya kebutuhan frekuensinya.

Jangan sampai nanti misalkan, operator kekurangan frekuensinya. Nah, kalau operator punya frekuensi banyak sekali, tapi pelanggannya sedikit, tentu juga menjadi beban. Fairness ini yang akan kita buat aturan nya.

Tapi, saya juga sudah menyampaikan semua rumusannya kepada semua pemegang saham. Lalu, mereka tidak menyampaikn pada managamennya ya bukan urusan saya lagi.

Sebenarnya, merger ini sudah mulai terjadi lho. XL dengan AXIS, lalu Telkom mengambil Felxi dan Indosat dengan Satelindo. Undang-undang mengenai PT memungkinkan untuk melakukan itu. Yang kita buat ini hanya peraturan teknis saja.

Jadi sebenarnya, sekarang juga sudah bisa pada merger. Hanya saja, sekarang akan dibuatkan dengan skema yang lebih rapih. Bukan case by case, tetapi kita atur supaya lebih rapih.

Kalau saya bicara dengan pemegang saham, masalah frekuensi tidak pernah dibicarakan lagi.

Padahal, operator yang punya frekuensi tapi pelanggannya sedikit, dia beban. Beban mebayar BHP.

Lalu, operator banyak yang khawatir akan seperti AXIS, karena frekuensi nya diambil. Saya jamin tidak.

Jadi mulailah bicara para pemegang saham itu. Ada juga sebenarnya yang sudah. Saya pun ikut memfasilitasi. Ini diperlukan karena masalah ego lah, masalah macam-macam lainnya bercampur baur. Strateginya macam-macam.

Saya punya group WA yang isinya adalah principle share holders. Jadi dilevel itu. Saya intensif melakukan komunikasi dengan mereka.

Saya berharap tahun ini bisa terjadi konsolidasinya. Semakin cepat, semakin bagus. Dan, menurut saya, yang paling ideal adalah dua, maksimal tiga dari lima. Kalau yang BWA bentar lagi juga sudah tidak ada.

Pemerintah, melihat nya adalah bagaimana industry ini sustainable. Ini yang penting.

Skema yang akan dibuat lebih rapih itu seperti apa ya Pak?

Konsep nya, bakal ada semacam assurance tidak akan kekurangan maupun kelebihan frekuensi. Artinya begini, nanti akan dihitung kebutuhan frekuensi dari masing-masing operator, jika ada kelebihan, maka akan disimpan dulu oleh pemerintah.

Nanti, jika sudah naik pelanggannya pada periode tertentu maka akan diberikan lagi frekuensinya, tanpa tender tapi harga sesuai pada saat diberikan frekuensi tersebut. Jangan khawatir, yang disimpan tidak bayar.  Jadi lebih fair.

Yang perlu diingat, folosofinya frekuensi itu bukan asset. Itu adalah hak pakai. Jadi jangan dianggap sebagai aset.

Memang seolah-olah, value bagi operator yang memiliki frekuensi banyak memang menjadi tinggi. Tapi jangan lupa, jika tidak diimbangi dengan kemampuan menjaring pelanggan, frekuensi ini pun akan menjadi beban.

Kalau mau fair, buka laporan keuangan operator, lalu banding kan dengan BHP nya. Mana yang efisien mana yang enggak.

Bagi pemerintah yang penting adadalah industri yang sustainable. Kalau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) apakah ini penting juga?

PNBP memang penting juga. Namun, PNBP yang besar itu membuat industri itu sustainable atau tidak? Karena sustainability ini yang lebih penting.

PNBP suatu kebanggan iya, tapi kalau industrinya mampus? Apakah jadi kebanggan?

Contoh, universal service obligation atau USO. USO itu kan dipungut dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi sebesar 1,25 persen. Kita paling dapat, Rp2,9 Triliun, sebut saja Rp.3 Triliun. Ada pertumbuhan 7-8% setiap tahun nya. Tapi kebutuhan nya pemerintah, untuk membangun USO, BAKTI, Internet akses, termasuk satelit, apakah cukup dengan 1,25%? Tidak cukup.

Lalu, apakah kita lalu menaikan USO menjadi 2.5% atau 3%? Kan tidak. Karena kita tidak berpikir untuk membebani industri.  Itu urusannya pemerintah untuk menyediakan dana tersebut.

Kita menghasilkan Rp20 Triliun PNBP. Tapi yang dipakai USO cuma Rp.3 Triliun. Masa sih tidak boleh dialokasikan dari dana itu?  Memang, tidak boleh suka-suka. Harus berdasarkan persetujuan dari Menteri Keuangan atau ada aturannya. Jadi bukan kalau kita kurang lalu membebani industri. Itu pikiran jadul, pikiran sekarang kreatif.

Tahun ini juga akan diberlakukan tentang registrasi EMEI. Bukan kah, nanti menjadi beban baru bagi industri sehingga sulit untuk tumbuh lebih baik?

Registrasi EMEI tidak boleh menjadi beban industry. Ini sudah kita sampaikan pada Kementerian Perindustrian. Karena, nanti yang manage data EMEI nya adalah Kementerian Perindustrian.  Kami mau nya tidak menjadi beban industry.

EMEI ini juga nanti nya diharapkan dapat mengurangi keberadaan black market. Kita nunggu data base dari perindustrian. Lalu, nanti juga perlu ada nya masa transisi. Kalau pun nanti beli diluar negeri, nanti akan disiapkan untuk cara mendaftarkannya. Pendaftarannya juga nanti akan melalui online.

Sekarang, banyak vendor yang sudah menggunakan elecktroik simcard. Bagaimana tanggapan Bapak?

Tidak ada aturannya tentang eSIM ini, tapi tidak perlu ada aturan nya dulu juga kalau mau jalan. Saya melihatnya begini.

Berangkat nya itu dari ijin. Ijin itu untuk apa? Ijin itu agar tidak terjadi asimetric bargaining power antara produsen dan konsumen. Kemudian antara produsen dan konsumen nya tidak berbeda, lalu, apakah eSIM kemudian perlu ijin lagi?

Yang kita jaga adalah jangan sampai ada simcard, tapi tidak ada orang nya. Itu yang kita jaga.

eSIM atau virtual simcard ini bagus untuk operator yang jumlah pelanggan nya tidak terlalu banyak. Dengan adanya eSIM atau virtual simcard ini seperti menambah jumlah pelanggan. Seperti punya distributor baru dengan model cara yang baru. Dan untung, jaringannya ada yang pakai.

Produsen smartphone local yang mengeluh karena pasar turun, sedangkan ada keharusan masalah TKDN, membuat kesulitan produsen. Karena operasional pabrik harus terus jalan dan cukup besar biaya nya? Bagaimana tanggapan Bapak?

Tidak semua nya mengalami hal seperti itu. Terbukti ada produsen yang bisa ekspor. Seperti Satnusa yang ekspor ke Amerika beberapa waktu lalu. Fokus maclun desain dari orang, lalu, dia yang merakit dan semuanya. Lalu dikirim keluar lagi. Itu tumbuh.

Terkait dengan revolusi Industri 4.0. Bagaimana keterlibatan Kominfo?

Kominfo ada keterkaitan dengan Industri 4.0. Terutama dari konteks sumber daya manusia.

Yang kita ketinggalan itu karena teknologi begitu cepat perkembangannya. Teknologi apa saja masuk. IoT, cloud computing, robot dan lain-lain. Untuk itu kominfo mengambil inisiatif. Dari tahun lalu malah.

Semua berawal ketika big tech company seperti Microsoft, Cisco dan lainnya kesulitan cari orang. Susah nya level apa? Level teknisi! Kalau enginerging sebenarnya make sense. Ternyata kesulitannya bukan di engineering, malah di level teknisi.  Kalau diambil dari luar, maka harga produk akan menjadi mahal, karena biaya akan dimasukan dalam harga jual.

Lalu, saya bilang, kalian kan punya academi yang bagus. Kaya Google, Cisco dan lainnya. Silabus nya saja bawa ke Indonesia. Nanti kita cek, bisa diterapkan tidak di Indonesia. Kalau bisa diterapkan bagaimana adjustment dan lain-lainnya, nanti dipikirkan. Sekalian juga nanti bawa trainer nya.

Lalu kominfo bagaimana? Kominfo menyediakan capital 10 juta dolar. Untuk modal. Tempat nya di mana? Diperguruan tinggi. Itu sebabnya, kita bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk kelas-kelasnya.  Untuk pengajarnya, pakai dosen-dosen muda yang ditraining dulu.

Modulnya yang dipakai adalah modul yang berkaitan dengan industri revolusi 4.0.

Tahun lalu ada 5 perguruan negeri yakni ITB, UI, UGM, ITS dan Unpad. Tahun 2019 akan focus di 20 perguruan tinggi.

Siapa yang boleh ikut? Boleh lulusan SMK, D3 atau S1, yang penting umur nya tidak boleh lebih dari 29 tahun. Mereka diajarkan di kelas selama dua bulan. Pada akhir masa pelatihan akan diberikan sertifikasi. Akan ada dua sertifikasi. Pertama sertifikasi untuk pelatihan ini dan sertifikasi SKKNI, sertifikasi yang berlaku juga di negara Asean. Jadi bisa diterima kerja juga di negara Asean.

Tahun lalu sudah diberikan pelatihan pada 1000 tenaga kerja. Yang daftar sampai 46 ribu orang. Yang ikut test sampai akhir sebanyak 21 ribu. Yang diterima 1000 orang. Jadi di Indonesia ini banyak yang mau.

Kita juga buat ekosistem yang lengkap. Ada platform karir. Career. Platform perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga-tenaga IT, Tenaga teknisi. Create digital talent.

Tahun ini target nya ada 20 ribu yang ikut. Itu untuk SDM nya.

Untuk Industri revolusi 4.0 nya, kita sudah bicara dengan Menteri Perindustrian, karena revolusi industry 4.0 itu berangkatnya dari industri yang akan memanfaatkan teknologi-teknologi terkini. Untuk itu kita tidak bisa gebyar uyah di mana-mana. Perlu ada nya kawasan ekonomi khusus.

Nanti, dalam kawasan ekonomi khusus ini ada teknologi yang berkaitan dengan Revolusi 4.0. Nanti dari sisi teknologi seluler pun bisa 5G. Contoh, misalkan, kelompok manufaktur dari berbagai macam dari Tiongkok. Ya, nanti dicarikan lahan khusus untuk membangun kawasan ekonomi khusus itu. Teknologi nya dari Tiongkok. Kalau dari Korea, ya mungkin teknologinya dari Samsung misalnya.

Jadi, tidak bisa melakukan pendekatan seperti sekarang.

Di Davos, saya ketemu dengan CEO nya Ericsson, CEO nya Nokia, dan beberapa menteri negara lain, semuanya sepakat, 5G ini belum ada model bisnisnya untuk retail market atau consumer. Yang ada memang untuk enterprise atau bisnis.  Karena akan mahal.

Nanti akan dilihat juga balancing frekuensi nya. Frekuensi ini akan jadi pendapatan pemerintah, atau untuk membuat sustainability industri. Kalau pemerintah berpikir untuk mengeruk sebanyak-banyak nya, BHP frekuensi 3.5 GHz untuk 5G, dari mana operator bisa hidup. Kecepatannya 100 kali dari sekarang yang membutuhkan belum tentu banyak.

Apa pendapat Bapak tentang Undang-undang ITE yang didalamnya ada pasal yang perlu direvisi karena dianggap sebagai pasal karet?

Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau RUU ITE Pasal 27 ayat 3 itu, yang dianggap sebagai pasal karet itu, yang mengusulkan, mengambil inisiatif untuk di revisi pada tahun 2016 itu adalah pemerintah. Dulu, tuntutan hukum maksimal 6 tahunnya dan termasuk hukum pidana itu. Jadi bisa ditangkap dulu baru ditanya.

Sekarang, tidak bisa karena tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dalam ITE merupakan delik aduan, bukan lagi masuk dalam delik umum.

Yang pertama harus ada aduan yang merasa di rugikan. Kedua, tidak bisa langsung ditangkap lalu ditanyakan. Hukuman kurungannya juga lebih rendah, 4 tahun.  Dan denda dari Rp 1 miliar direvisi menjadi Rp 750 juta.

Lalu ada yang minta direvisi? Silahkan saja.

Touch kominfo terhadap masalah yang ada sekarang ini berbeda. Apa yang mendasari perubahan tersebut?

Perubahan peran kominfo yang dulu nya adalah regulator sekarang sudah mengarah pada fasilitator sampai ke akselerator.

Sekarang untuk regulasi, kecuali yang strategis, sudah BRTI yang ngurus. Kominfo lebih pada memfasilitasi. Contoh, yang masih konvensional di Telko adalah konsoslidasi, Tapi kalau yang lain, palapa ring, satelit, yang lainnya sudah dalam fase akselerasi. Kemudian yang sudah masuk tahap akselerasi adalah menambah jumlah Unicorn, menfasilitasi, mengakselerasi dari unicorn menjadi decacorn.

Sudah kesana pola pikirnya. Untuk regulasi pun sudah bukan hard touch regulation, tapi lite touch regulation.

Interkoneksi, saya yakin tidak lagi mengurusi interkoneksi, lah sekarang sudah data.

Yang diurusin interkoneksi nanti yang dibicarakan adalah service level, di mana operator harus menjaga, menyalurkan, memastikan, layanan itu dengan kualitas yang terbaik.

Lalu, tentang masa jabatan bapak akan berakhir. Apa yang akan bapak lakukan pada akhir masa jabatan ini?

Sekarang tinggal delapan bulan 18 hari lagi. Yang akan dilakukan adalah akselerasi –percepatan- untuk industri.  (Icha)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

ARTIKEL TERBARU