Telko.id – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi menetapkan jadwal implementasi registrasi kartu SIM berbasis biometrik pengenalan wajah (face recognition).
Pendaftaran sukarela untuk metode baru ini akan dimulai pada 1 Januari 2026, dengan masa transisi hybrid hingga akhir Juni, sebelum berjalan penuh mulai 1 Juli 2026.
Kebijakan ini merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai kejahatan digital yang kerap menggunakan nomor seluler sebagai pintu masuk.
Pengumuman ini disampaikan dalam talkshow bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Komdigi bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menegaskan urgensi kebijakan ini dengan menyebut kerugian penipuan digital telah mencapai lebih dari Rp7 triliun.
“Setiap bulan ada 30 juta lebih scam call dan setiap orang menerima minimal satu spam call seminggu sekali. Hal tersebut yang membuat Komdigi membuat kebijakan registrasi SIM Card menggunakan face recognition,” jelas Edwin dalam sambutannya.
Pernyataan ini memperkuat langkah Komdigi yang mewajibkan registrasi HP dengan face recognition sebagai upaya sistematis menanggulangi kejahatan siber.
Marwan O. Baasir, Direktur Eksekutif ATSI, menyatakan operator seluler telah siap melaksanakan kebijakan baru ini. Ia merinci jadwal implementasinya.
Untuk tahap awal mulai 1 Januari 2026, akan digunakan sistem hybrid. Calon pelanggan baru dapat memilih dua cara: menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) seperti selama ini, atau langsung dengan verifikasi biometrik wajah.
Kemudian, mulai 1 Juli 2026, registrasi untuk pelanggan baru akan sepenuhnya menggunakan biometrik murni.
“Ini hanya berlaku untuk pelanggan baru, sedangkan pelanggan lama tidak perlu registrasi lagi,” tegas Marwan.
Kebijakan ini sejalan dengan informasi sebelumnya mengenai rencana Komdigi memperkuat registrasi kartu SIM dengan biometrik wajah.
Edwin Hidayat Abdullah menambahkan, aturan ini juga bertujuan membantu operator membersihkan database dari nomor-nomor tidak aktif.
Pasalnya, lebih dari 310 juta nomor seluler beredar, padahal populasi dewasa Indonesia sekitar 220 juta.
“Jadi sinyal frekuensi seluler para operator bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang benar-benar menjadi pelanggan loyal dan bukan digunakan oleh para pelaku tindak kejahatan digital,” jelasnya.
Baca Juga:
Kesiapan Infrastruktur dan Kolaborasi dengan Dukcapil
Kesiapan operator tidak hanya sekadar pernyataan. Marwan memaparkan sejumlah langkah konkret yang telah diambil. Pertama, operator telah mengimplementasikan validasi biometrik untuk proses penggantian kartu SIM di gerai.
Kedua, mereka telah menjalani Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri untuk pemanfaatan data kependudukan, yang diperpanjang setiap dua tahun.
Ketiga, operator mendukung standardisasi sistem keamanan bersertifikasi ISO 27001 dan standardisasi liveness detection (pendeteksian keaslian wajah) minimal bersertifikasi ISO 30107-2 untuk mencegah pemalsuan.
Kolaborasi dengan Dukcapil menjadi fondasi krusial. Dalam talkshow yang sama, dilakukan penandatanganan PKS antara Ditjen Ekosistem Digital Komdigi dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Dirjen Dukcapil Kemendagri, Dr. Teguh Setyabudi, M.Pd, menyatakan kesiapan lembaganya untuk mendukung Komdigi dan ATSI dalam pengawasan.
“Kami terbuka untuk membicarakan solusinya jika ada masalah dalam pengawasan data kependudukan dalam ekosistem digital ini,” ujarnya, seraya menegaskan hal ini berdasar Undang-Undang No 24 Tahun 2013.
Marwan juga menegaskan komitmen keamanan data pelanggan. “Tiga tahun terakhir kebocoran data ini tidak berasal dari operator seluler karena kami selalu upgrade semua sistem hingga data centernya. Operator sudah jalankan AI sejak 2021,” klaimnya.
Dukungan OJK dan Tekanan Tingginya Kasus Penipuan Digital
Dukungan untuk kebijakan registrasi biometrik ini juga datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rudi Agus Purnomo Raharjo dari Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK menyatakan bahwa penipuan mengaku sebagai pihak lain melalui panggilan telepon (fake call) adalah jenis penipuan dengan kerugian tertinggi di Indonesia.
“Selama setahun ini, jumlah kerugian penipuan fake call paling besar yakni Rp1,54 triliun,” ujarnya. Angka ini lebih besar dibanding penipuan investasi atau jual beli online. Rudi berharap adanya sinergi dan kolaborasi lintas sektor antara OJK, Komdigi, ATSI, dan lainnya untuk mencegah penipuan secara lebih efektif.
Data yang diungkap dalam talkshow memperlihatkan betapa seriusnya ancaman ini. Hingga September 2025, jumlah pelanggan seluler yang tervalidasi mencapai lebih dari 332 juta.
Namun, laporan Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat 383.626 rekening terlapor sebagai rekening penipuan dengan total kerugian masyarakat mencapai Rp 4,8 triliun.
Data dari mantan Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih, memperkuat argumen tersebut. Ia menyebut ada 85.908 laporan phishing di Indonesia, tertinggi kedua di ASEAN setelah Thailand.
Sebanyak 66% orang dewasa di Indonesia pernah menerima pesan scam. “Prasyaratan-prasyaratan terkait registrasi SIM Card menggunakan Face Recognition ini harus segera terselesaikan untuk melindungi masyarakat,” tegas Alamsyah.
Dengan jadwal yang telah ditetapkan dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, implementasi registrasi biometrik wajah untuk kartu SIM kini memasuki fase eksekusi.
Langkah ini menempatkan Indonesia dalam daftar negara yang menerapkan registrasi ketat, menyusul langkah serupa di negara lain seperti Bangladesh yang memperketat registrasi SIM untuk mengurangi penipuan.
Kesuksesannya tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi operator, tetapi juga pada sosialisasi kepada masyarakat dan pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan data. (Icha)


