Telko.id – Belum lama ini, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi mendorong agar operator di Indonesia melakukan konsolidasi. Alasannya agar industri telekomunikasi pun jauh lebih efektif dan efisien. Yang santer dibicarakan adalah merger antara XL Axiata dan Smartfren.
Isu ini sudah lama sekali beredar di masyarakat, namun hingga sekarang kedua operator ini masih belum juga melakukan merger.
Menurut Dian Siswarini, Presiden Direktur & CEO XL Axiata yang ditemui Syukuran Anniversary XL Axiata 27th, di Jakarta, Senin (9/10/2023), sebenarnya perbincangan diantara kedua nya itu sudah lama dilakukan. Hanya saja sampai sekarang masih belum ada kata sepakat. “Diskusi nya masih alot,” kata Dian.
Menurut Dia, diantara kedua operator ini masing-masing ingin memiliki posisi yang kuat dan masing-masing ingin memiliki kendali di perusahaan hasil merger itu, sayang nya, jalan tengahnya masih belum ketemu.
Baca juga : 365 Hari Paska Merger, Kemana IOH Akan Melangkah?
“Ini bedanya dengan merger Indosat Ooredoo dan Hutchison beberapa lalu, di mana, pihak Hutchison mau chip in untuk menyamakan posisi dengan pihak Indosat Ooredoo. Sedangkan antara XL Axiata dan Smartfren masih belum ada kesepakatan kearah itu,” ujar Dian buka-bukaan.
Walaupun menurut Dian, sebenarnya, dirinya sebagai jajaran manajemen tidak ambil pusing siapa yang akan menjadi pemegang saham, karena tetap saja, sebagai manajemen harus memberikan yang terbaik bagi perusahaan.
Dan, sebagai manajemen tidak banyak terlibat dalam diskusi itu. “Perbicangan itu lebih pada pemilik dengan pemilik”, sahut Dian menambahkan.
Walaupun secara diplomatis, Dian menjelaskan bahwa konsolidasi memang baik untuk industri. Termasuk bisa membuat industri menjadi lebih sehat.
“Kan konsolidasi sebetulnya baik untuk industri. Pak menteri katakan idealnya tiga operator, jadi memang konsolidasi baik untuk industri dan bisa buat industri lebih sehat,” kata Dian.
Sebenarnya, jika harus chip in, Smartfren yang memiliki value lebih rendah ketimbang XL Axiata, terutama dilihat dari EBIDA nya, tidak masalah. Pasalnya, dibalik Smartfren ada Group Sinar Mas. Selain itu, operator ini juga merupakan ‘hobi’ dari putra pendiri Sinar Mas, yaitu Franky Widjaja.
Sehingga agak berat, untuk melepaskan Smartfren tanpa memiliki kendali di perusahaan hasil merger dengan XL Axiata itu. Demikian juga dengan XL Axiata yang ingin memiliki kendali.
Sebelumnya, Budi Arie mendorong terjadinya konsolidasi. Dia menargetkan untuk industri hanya memiliki tiga operator seluler demi industri telekomunikasi yang lebih efisien dan sehat.
Konsolidasi akan membuat peningkatan kualitas pada pelanggan. Termasuk jaringan lebih kuat dan efisiensi biaya.
“Konsolidasi harus tercipta untuk menjadi 3 operator sehingga terjadi peningkatan kualitas pelanggan, jaringan yang lebih kuat serta efisiensi biaya,” kata Budi Arie.
Budi Arie mendorong Smartfren, bisa dengan XL Axiata atau Indosat maupun Telkomsel. Dia juga menjanjikan pemerintah akan memfasilitasi proses merger Smartfren dengan operator lain.
Bukan Merger Pertama XL Axiata
Jika XL jadi dengan Smarftren, ini bukan ‘perkawinan’ pertama bagi XL Axiata. Pada 2014, XL resmi merger dengan Axis.
Dilansir dari Detik.com, XL meminang Axis dengan harga US$865 juta. Saat itu juga diatur XL dapat menggunakan frekuensi 15 Mhz yang dimiliki Axis di spektrum 1.800 Mhz.
Selain itu spektrum 10 Mhz yang dimiliki Axis pada 2.100 Mhz direncanakan untuk dilelang 3G.
Tahun lalu, XL Axiata dan Axiata Group Berhad juga telah mengakuisisi bersama 66,03% saham Linknet. Harganya sekitar RM 2,63 miliar atau Rp 8,72 trilin.
Setelah akuisisi selesai, Axiata Investments (Indonesia) Sdn Bhd (AII), anak perusahaan yang secara tidak langsung dimiliki Axiata, dan XL Axiata memegang 46,03% dan 20% dari gabungan seluruh saham 66,03%. Saham itu tadinya dimiliki Asia Link Dewa Pte. Ltd. (36,99%) dan PT First Media Tbk (29,04%), entitas Grup Lippo. (Icha)