Telko.id – Berdasarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2020, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI dibubarkan selain 9 lembaga lainnya. Lalu, pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga tersebut dialihkan ke kementerian atau lembaga terkait. Khusus untuk BRTI dan BPT, akan dialihkan ke Kementerian Komunikasi dan informatika.
Menindaklanjuti pembubaran BRTI tersebut Kominfo sebagai kementerian yang mendapatkan pelimpahan tugas dan fungsi sedang berkoordinasi untuk menindaklanjuti. Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020. Hal tersebut diterangkan juga dalam pernyataan resmi dari Kominfo untuk menanggapinya.
Lalu, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020, pendanaan, pegawai, aset, dan arsip yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Telekomunikasi dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dialihkan ke Kementerian Kominfo.
Berdasarkan Pasal 4, pengalihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dikoordinasikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melibatkan unsur Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan, Arsip Nasional Republik Indonesia dan/atau kementerian/Lembaga terkait.
Pengalihan tersebut diselesaikan paling lama satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020 ini. Dan, hal-hal yang lebih teknis terkait dengan pembubaran ini sedang dikoordinasikan dan akan diinformasikan kemudian (jika diperlukan).
Namun banyak pihak yang menyangkan keputusan Presiden tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kristiono menyebutkan bahwa langkah pemerintah tersebut tidak tepat. Menurutnya, persaingan industri telekomunikasi yang makin ketat membutuhkan ‘wasit’ yang netral yang persaingan berjalan sehat. Seperti yang dikutip dari bisnis.com.
Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa seharusnya pemerintah memperkuat BRTI, di tengah kompetisi yang makin ketat, bukan membubarkannya. Penguatan yang optimal dapat diwujudkan dengan mengembalikan BRTI ke ide awal yaitu lembaga telekomunikasi yang independen, seperti Federal Communications Commission (FCC) di Amerika Serikat.
Selain itu, penguatan juga dapat dilakukan dengan model tata kelola industri telekomunikasi yang bersifat multi pemangku kepentingan atau multi stakeholders.
Kristiono juga menyebutkan BRTI dibubarkan secara fungsional memang tidak terganggu karena fungsional beralih ke Kominfo. Permasalahannya terdapat pada independensi
“Dengan dibubarkannya BRTI dan dialihkan ke Kominfo, maka aspek independensinya tidak terpenuhi,” kata Kristiono.
Hal senanda juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi yang meminta presiden untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, terutama untuk pembubaran BRTI, seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Menurut Heru, keberadaan BRTI sangat penting di industri telekomunikasi dan dibentuk berdasarkan amanat internasional yakni International Telecommunication Union (ITU) di bawah naungan PBB.
BRTI dibubarkan ini, lanjut Heru, juga akan menjadi catatan dunia internasional dan akan mempengaruhi investasi di sektor telekomunikasi.
Tidak adanya BRTI menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki badan regulasi telekomunikasi “independen”. “Independen” di sini merujuk pada peran untuk menjawab perubahan iklim bisnis telekomunikasi dari monopoli ke kompetisi.
Kompetisi membutuhkan adanya lembaga pengatur, pengawas, dan pengendali telekomunikasi yang bebas dari kepentingan pemerintah yang juga memiliki BUMN dan dari kepentingan pelaku usaha lainnya.
“Karena kembali ke era seperti jaman monopoli dulu, pemain telekomunikasi atau investor internasional ketar-ketir jika kompetisi tidak berjalan secara fair karena ‘wasitnya’ tidak ada lagi,” jelas mantan Komisioner BRTI ini.
Menurut nya, kembalinya fungsi regulator ke pemerintah membuat industri telekomunikasi Indonesia mundur ke 20 tahun belakang ketika industri dikembangkan secara monopolistik. (Icha)